Perkembangan pendidikan jarak jauh di Indonesia lambat. Pembatasan sosial yang memaksa semua perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan jarak jauh menjadi pembelajaran pentingnya model pendidikan ini di era 4.0.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Aliman, dosen bahasa Arab di Universitas Muhammadiyah Makassar, sering kali harus keluar rumah untuk ”mencari sinyal” saat akan melaksanakan kuliah jarak jauh dengan mahasiswanya. Bukan itu saja tantangannya, dia juga harus ”kreatif” menyusun dan menyampaikan materi kuliah agar mahasiswanya dapat memahami materi kuliah dengan baik.
”Ini pengalaman baru bagi kami. Dosen harus melakukan improvisasi agar perkuliahan bisa berjalan sesuai target,” kata Aliman yang tinggal di Pattallassang, Kabupaten Gowa, sekitar 15 kilometer dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan, ketika dihubungi Kompas di Jakarta, Kamis (19/3/2020).
Pembatasan sosial (social distancing) untuk mencegah penyebaran Covid-19 membuat lembaga pendidikan mau tak mau menyelenggarakan pendidikan jarak jauh. Banyak yang tidak siap, bahkan di tingkat pendidikan tinggi, karena selama ini pendidikan jarak jauh masih menjadi alternatif ketika mahasiswa tidak dapat menghadiri kelas dengan cara tradisional atau tatap muka.
Di Indonesia memang baru Universitas Terbuka (UT) yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh di semua mata kuliah dan program pendidikan (prodi). Perguruan tinggi lain pun bisa menyelenggarakan prodi jarak jauh, tetapi terbatas. Untuk menjaga kulitas pendidikan, hanya perguruan tinggi berakreditasi A yang bisa menyelenggarakan prodi jarak jauh secara penuh, sedangkan yang berakreditasi B dan C dengan model campuran (blended learning).
Selama ini pendidikan jarak jauh masih menjadi alternatif.
Meskipun demikian, tidak semua perguruan tinggi berakreditasi A pun belum menyelenggarakan pendidikan jarak jauh. Ada banyak faktor yang menjadi kendala, antara lain masalah teknis (teknologi dan infrastruktur jaringan) dan juga kemampuan dosen.
Membuat konten atau modul pembelajaran pendidikan jarak jauh, baik dalam bentuk power point, slide, maupun video, membutuhkan kemampuan tersendiri. Selain harus ada laboratorium proses produksi konten, juga perlu pelatihan bagi dosen.
”Konten online (pembelajaran daring) harus dinamis. Kalau di kelas (tatap muka), dosen yang dinamis,” kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko.
Karena itu, meski ketentuan ini belaku sejak 2012, dari 4.621 perguruan tinggi yang ada saat ini, baru 286 perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh, dan 144 perguruan tinggi lainnya bermitra dengan perguruan tinggi penyelenggara. Jumlah itu meningkat dibandingkan pada 2019 yang sebanyak 255 perguruan tinggi dan pada 2018 yang sebanyak 166 perguruan tinggi, tetapi peningkatan ini terhitung lambat di era massive open online course (MOOC) saat ini.
Kendala lainnya, mengubah pola pembelajaran dari konvensional menjadi jarak jauh. Pemerintah telah membuat panduan proses pembelajaran daring (Spada), pembuatan lebih dari 1.500 modul kuliah yang bisa diakses secara gratis, membangun akses jaringan kolaborasi pembelajaran dan penelitian berbasis daring melalui jaringan Indonesia Research Education Network (IdREN), hingga beasiswa sebesar Rp 7,5 juta per semester bagi mereka yang mengikuti pendidikan jarak jauh.
”Program (beasiswa) ini berlangsung pada 2015 hingga 2019, yang mendaftar 10.000 orang, tetapi yang lulus hanya sekitar 1.000 orang. Belajar mandiri belum menjadi budaya,” kata Paristiyanti Nurwardani, Sekretaris Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Minggu (22/3/2020). Motivasi dan kemandirian belajar peserta didik memang sangat menentukan keberhasilan pendidikan jarak jauh.
Tantangan
Saat ini, siap tidak siap, semua lembaga pendidikan tinggi harus menyelenggarakan pendidikan jarak jauh untuk semua mahasiswanya selama masa pembatasan sosial. Ketidaksiapan konten, teknologi, bahkan infrastruktur jaringan, seperti dialami Aliman, menjadi tantangan. Sebagaimana dikatakan Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Hatma Suryatmojo, kondisi saat ini menjadi momentum sekaligus tantangan dalam menerapkan kuliah daring.
”Kami menyosialisasikan kuliah daring dengan model learning management system sejak 2017, tetapi dengan situasi sekarang justru menjadi tantangan bagi kami bagaimana dosen dan mahasiswa harus terlibat semua,” kata Hatma yang dikutip dari laman UGM, Kamis.
Di UGM, misalnya, meski telah memiliki sistem pendidikan jarak jauh, tetap saja ada kendala di awal pelaksanaan karena harus beradaptasi dengan sistem serta koneksi. Demikian pula di Universitas Indonesia, perlu penyesuaian juga dalam penggunaan sistem pembelajaran daring.
”Mungkin karena diakses secara bersamaan, jadi beban server (peladen) menjadi terlalu besar. Namun saya rasa ke depan akan menjadi semakin baik, segala sesuatu memerlukan pembiasaan,” ujar Sunarso, dosen pengajar mata kuliah pengembangan kepribadian terintegrasi UI, seperti dikutip di laman UI, Rabu (18/3/2020).
Kemendikbud menargetkan pengembangan pendidikan jarak jauh lebih masif tahun ini. Selain terus meningkatkan kapasitas dosen, Kemendikbud juga sedang mengupayakan insentif untuk dosen inovatif untuk mendorong pembelajaran daring. ”Kami akan membuat modelling dulu tahun ini, kalau hasilnya bagus, insentif bagi dosen akan dilakukan,” kata Paristiyanti.
Tak kalah penting, untuk mengakselerasi pendidikan jarak jauh, diperlukan dukungan infrastruktur jaringan yang merata di seluruh negeri. Pengguna internet di Indonesia pada 2019, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, telah mencapai 171,2 juta orang. Meskipun demikian, belum merata, terutama di daerah Indonesia tengah dan timur, seperti dialami Aliman.
Di era Revolusi Industri 4.0 ini, pembelajaran jarak jauh pemang tak terhindarkan lagi. Bukan sekadar mengikuti perkembangan teknologi, tetapi juga untuk memperluas akses pendidikan tinggi. Karakteristik pendidikan jarak jauh yang terbuka dan mandiri membuat siapa pun dapat mengakses pendidikan berkualitas di mana saja. Biaya pendidikannya pun lebih murah hingga 50 persen dibandingkan pendidikan konvensional.
Mohamad Nasir, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi waktu itu, pernah mengatakan bahwa dengan pendidikan secara konvensional peningkatan APK pendidikan tinggi hanya sekitar 0,5 persen per tahun (Kompas, 8/1/1998). Karena itu, dengan pendidikan jarak jauh, APK pendidikan tinggi yang saat ini masih rendah, yaitu 35,69 persen dapat mencapai 50 persen pada 2024.