Undang-Undang Pers menganut asas swa regulasi, pemerintah tak bisa campur tangan dalam kehidupan pers. Revisi Pasal 11 dan 18 UU Pers melalui RUU Cipta Kerja merupakan bentuk campur tangan pemerintah.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang merevisi Pasal 11 dan Pasal 18 Undang-Undang Pers berpotensi akan mengancam kemerdekaan pers.
Hingga kini belum jelas apa alasan pemerintah memasukkan revisi Pasal 11 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang bertujuan untuk akselerasi ekonomi ini. Ketua Tim Satuan Tugas Omnibus Law Cipta Kerja Rosan Perkasa Roeslani saat berkunjungan ke kantor redaksi harian Kompas, Kamis (20/2/2020), mengatakan, rencana revisi kedua pasal UU Pers atau Omnibus Law UU Pers ini tidak pernah dikomunikasikan ke tim satgas.
Rosan mengatakan, yang lebih tahu mengenai hal itu adalah kementerian terkait, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Ketika ditanya, Sekretaris Jenderal Kominfo Rosarita Niken Widiastuti hanya mengatakan bahwa revisi dua pasal UU Pers tersebut terkait dengan investasi. Untuk penjelasan lebih lanjut, Kompas diminta ke Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Hingga berita ini diturunkan, Kompas belum berhasil mendapatkan informasi dari Kemenko Perekonomian tentang Omnibus Law UU Pers ini.
Apa pun alasan pemerintah, kalangan pers menilai, rencana revisi dua pasal tersebut bertentangan dengan asas swa regulasi atau self regulation UU Pers. Asas ini memberikan kebebasan kepada masyarakat pers untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Demikian pula dalam hal pembuatan peraturan di bidang pers, menjadi wewenang masyarakat pers yang dikoordinasi oleh Dewan pers.
Kalangan pers menilai rencana revisi kedua pasal UU Pers tersebut merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam mengatur pers. Aturan yang ada dalam UU Pers selama ini berfungsi baik untuk mengatur kehidupan pers. Jika terkait penanaman modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Pers, sejumlah media televisi pernah mendapatkan suntikan modal asing melalui mekanisme pasar modal.
"Tidak ada masalah dalam penanaman modal ini," kata Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun.
Kemudian, pengembangan usaha yang seperti apa pula yang akan dibuka pemerintah untuk perusahaan pers. Jangan sampai pengembangan usaha pers membuat media menjadi semakin liberal dari sisi regulasinya.
Mengacu Pasal 11 UU Pers, meski dimungkinkan, investasi asing di bidang pers tetap dibatasi. "Ada pembatasan dalam hal kepemimpinan. Orang asing hanya boleh (masuk) dalam bidang teknik dan keuangan," kata Ignatius Haryanto, Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan yang juga pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara.
Demikian pula dalam pelaksanaan Pasal 18 UU Pers, kata Hendry, selama ini berjalan sebagaimana mestinya sesuai ketentuan yang ada. Bahkan ketentuan pidana dalam pasal ini tidak pernah digunakan secara maksimal. Karena itu, dia mempertanyakan besaran denda dalam revisi pasal ini di RUU Cipta Kerja. Misalnya, perusahaan pers yang melanggar norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, juga terkait hak jawab (Pasal 5, ayat 1 dan 2 UU Pers) bisa dipidana dengan membayar denda paling banyak Rp 2 miliar. Dalam UU Pers, denda paling banyak Rp 500 juta.
"Ketentuan yang ada (UU Pers) sudah memadai. Denda (menjadi) Rp 2 miliar akan kontraproduktif. Ini tidak perlu. Denda itu kan untuk mengingatkan, bukan untuk mematikan," kata Hendry. Dengan denda yang begitu besar itu, ada kekhawatiran juga bahwa sengketa pers akan cenderung langsung dibawa ke ranah pidana.
Baik Hendry maupun Haryanto menilai tidak ada relevansinya mengubah Pasal 11 dan 18 UU Pers yang selama ini telah berjalan baik. Selain pembahasan revisi UU Pers dalam RUU Cipta Kerja yang tidak melibatkan komunitas pers termasuk Dewan Pers, upaya campur tangan pemerintah/negara dalam mengatur pers ini mengancam kemerdekaan pers yang selama ini semakin baik di Indonesia.
Berkurangnya campur tangan negara dalam kehidupan pers telah meningkatkan indeks kemerdekaan pers di Indonesia empat tahun terakhir, yaitu dari 63,44 pada 2016 menjadi 73,71 pada 2019. Rencana pemerintah untuk turut mengatur pers ini akan semakin menjauhkan upaya mencapai kategori bebas (indeks 90) dalam kemerdekaan pers di Indonesia yang masih dalam kategori cukup bebas ini.