Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja merevisi sejumlah pasal UU Pers. Namun, perumusan itu dinilai tak melibatkan pers. Beberapa revisi pun dipertanyakan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang diusung pemerintah merevisi sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, langkah tak melibatkan kalangan pers dan sejumlah revisi dipertanyakan karena tak selaras dengan UU Pers yang sudah berjalan baik.
Pertanyaan itu disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dalam jumpa wartawan di Dewan Pers di Jakarta, Selasa (18/2/2020). ”Kami pertanyakan sikap tertutup pemerintah dan juga tak mengundang partisipasi komunitas media saat membahas RUU Omnibus Law soal UU Pers. Ini mengundang kecurigaan soal motif pemerintah merevisi UU Pers ini,” kata Ketua Umum AJI Abdul Manan.
Hadir juga Ketua Dewan Pertimbangan IJTI Imam Wahyudi, Kepala Bidang Advokasi LBH Pers Gading Yonggar Ditya, serta dua anggota Dewan Pers, yaitu M Agung Dharmajaya (Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers) dan Agus Sudibyo (Ketua Komisi Hubungan Antar-Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers).
Draf RUU RUU Cipta Karya merevisi sejumlah pasal UU Pers. Salah satunya, Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3). Misalnya, Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan, ”Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta”. Dalam omnibus law, denda Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar.
Pasal 4 Ayat (2) berbunyi, ”Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Ayat (3) berbunyi, ”Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Selain denda dalam tiga ayat diubah, Pasal 18 juga ditambahkan satu ayat lagi yang berbunyi, ”Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.”
Perubahan Pasal 18 dipertanyakan. ”Itu seperti memberi celah kepada pemerintah untuk campur tangan lagi urusan pers, dan itu tidak sesuai UU Pers yang mendorong sistem self regulation,” ucap Abdul Manan.
Kalangan pers mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar, dan menolak tegas dinaikkannya jumlah sanksi bagi perusahaan pers. ”Kalangan pers tidak menolak sanksi atas pelanggaran oleh pers, tetapi sanksi itu hendaknya bersemangat mengoreksi atau mendidik,” ujar Imam.
Peningkatan jumlah denda dikhawatirkan menjadi alat baru negara untuk mengintimidasi pers. Usulan revisi pasal itu perlu dicabut. ”Kalau itu dibiarkan, akan digunakan oleh siapa pun yang tidak suka dengan pers,” kata Imam.
Selain itu, ada dua pasal dalam UU Pers yang akan diubah dalam RUU Cipta Kerja, yakni pasal yang berkaitan dengan modal asing (Pasal 11) dan ketentuan pidana (Pasal 18). Pasal 11 UU Pers menyebutkan, ”Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal”, tetapi pasal itu akan direvisi menjadi ”Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”.
Agus Sudibyo menilai, perumusan kebijakan tentang pers itu semestinya bersifat dari bawah ke atas dan parsipatoris. Pemangku kepentingan pers harus ikut merumuskan. Ini terlewati dalam RUU omnibus law karena mungkin proses perumusannya serba cepat.
”Kami tidak pernah diundang,” kata Agung. Dia berharap pemerintah dan DPR memberikan ruang bagi pers untuk memberikan masukan dalam pembahasan RUU tersebut. Komunitas pers harus terlibat dalam pembahasan revisi UU Pers.