Hentikan Kriminalisasi Korban Perdagangan Perempuan
Anggota DPR, Andre Rosiade, bersama polisi menggerebek N (27), perempuan yang dilacurkan, dan AS (24), mucikari, di sebuah hotel di Padang. Sebagian kalangan menilai N sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengungkapan prostitusi dalam jaringan atau daring di Padang, Sumatera Barat, Minggu (26/1/2020), terus mengundang perhatian dari berbagai kalangan. Kepolisian Negara RI diminta memberikan perhatian khusus terhadap N (27), perempuan yang dilacurkan yang merupakan korban tindak pidana perdagangan orang.
”Kepala Polri harus menghentikan perkara N karena dia adalah korban. Pasal-pasal yang disangkakan kepada N sebetulnya tidak tepat karena tidak ada satu perangkat hukum pun yang mengkriminalkan korban perempuan yang dilacurkan. Yang dikriminalkan adalah mucikari,” ujar Valentina Sagala, pengamat hukum yang juga pendiri Institut Perempuan, di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Penggerebekan prostitusi daring (online) di Padang, Minggu lalu, sempat viral di media sosial. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Andre Rosiade, bersama polisi menggerebek N, perempuan yang dilacurkan, dan AS (24), mucikari, di salah satu hotel di Padang.
Selain menghentikan perkara N, menurut Valentina, ke depan justru Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengkriminalkan para pelaku atau laki-laki yang berhubungan dengan perempuan yang dilacurkan.
Senada dengan Valentina, Ninik Rahayu, anggota Ombudsman Republik Indonesia, meminta kepolisian dalam menangani kasus tersebut tidak mengkriminalkan korban, apalagi sampai meloloskan pelaku.
”Sejak awal diungkap, ada indikasi kasus ini adalah tindak pidana perdagangan orang. Maka, perlu dipastikan penegakan hukum terkait pencegahan dan penanganan TPPO (tindak pidana perdagangan orang) sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Pastikan penegak hukum jangan sampai melakukan kriminalisasi kepada korban,” ujar Ninik.
Ninik menegaskan, semua pihak sepakat memberantas perdagangan orang. Akan tetapi, jangan sampai penegakan hukum mengabaikan perlindungan korban, apalagi ada kesewenang-wenangan dalam prosesnya.
Karena itu, dia mengingatkan, jangan sampai ada potensi malaadministrasi dalam penanganan kasus tersebut, yang justru akan meloloskan pihak-pihak yang terlibat kasus perdagangan orang dengan cara prostitusi, serta tidak memulihkan korban.
”Ada kewajiban masyarakat terkait pemberantasan TPPO. Akan tetapi, peran yang dilakukan harus dalam konteks pencegahan, bukan bertindak sebagai penegak hukum,” tegas Ninik.
Dalam kasus N, menurut Ninik, jika penegak hukum akan menggunakan dalil dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 298 yang mengatur tentang prostitusi, seharusnya yang ditahan adalah mucikarinya, bukan korbannya.
Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Veni Siregar menyayangkan tindakan anggota DPR, Andre Rosiade, yang ikut dalam penggerebekan tersebut yang berujung pada penahanan N.
”Tindakan-tindakan penjebakan seperti ini bukan wilayah kerja dan fungsi DPR. Seharusnya sebagai anggota DPR, dia bisa memberikan kontribusi pemikirannya untuk membuat kebijakan yang dapat membuat perempuan seperti N keluar dari lingkar kekerasan. Selain itu membuat kebijakan yang melindungi harkat dan martabat perempuan tanpa membedakan latar belakang apa pun,” tegas Veni.
Karena itu, Veni berharap kehadiran Andre dalam proses penggerebekan tersebut segera diproses oleh Majelis Kehormatan Dewan DPR dan internal Partai Gerindra.
Veni menambahkan, salah satu anggota FPL di Padang mendampingi N dalam menghadapi proses hukum.
Kasus N juga mendapat perhatian dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). ”Kasus N sedang kami diskusikan di paripurna,” kata anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah.