Sejarah panjang Natuna membuktikan, perairan milik Indonesia ini jadi koridor pelayaran dan perniagaan global sejak berabad-abad silam. Di kawasan itu ditemukan aneka jenis keramik abad ke-10 sampai 20.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Perbincangan tentang perairan Natuna akhir-akhir ini memanas setelah beberapa kali kapal penjaga China melintasi kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Mengapa China begitu tertarik dengan Natuna? Sejarah panjang Natuna ternyata membuktikan, perairan milik Indonesia ini menjadi koridor pelayaran dan perniagaan global sejak berabad-abad silam.
Hasil penelitian Pusat Penelitan Arkeologi Nasional sejak tahun 2010 menunjukkan temuan-temuan luar biasa di Natuna berupa aneka jenis keramik peninggalan abad ke-10 sampai ke-20. Berdasarkan hasil identifikasi langgam keramik (ciri-ciri menunjukkan asal dan periode keramik), ternyata asal keramik Natuna sangat beragam dan sebagian besar keramik itu berasal dari China, mulai dari Dinasti Song abad ke-10 hingga Dinasti Qing abad ke-20.
Dalam periode 10 abad itu, para peneliti menemukan keramik-keramik periode lima dinasti China sejak Dinasti Song (abad ke-10 sampai abad ke-13), Dinasti Yuan (abad ke-13 sampai abad ke-14), Dinasti Ming (abad ke-14 sampai ke-16), dan Dinasti Qing (abad ke-16 sampai ke-20). Namun, selain keramik-keramik China, ditemukan pula keramik-keramik Vietnam dan Thailand (abad ke-14 sampai ke-16), Belanda (abad ke-19 sampai ke-20), Jepang (abad ke-20), Singkawang (abad ke-20), dan keramik modern (abad ke-20).
Dari seluruh temuan yang ada, jumlah terbanyak didominasi keramik-keramik periode Dinasti Yuan pada abad ke-13 hingga ke-14. Peneliti menduga, pada periode inilah jalur perdagangan dan pelayaran ke Natuna dan Nusantara mengalami puncak aktivitasnya antara abad ke-12 dan ke-14.
Padatnya keragaman keramik yang ditemukan pada fase ini (abad ke-12 hingga ke-14) menunjukkan Natuna diduga merupakan pelabuhan yang melayani perniagaan jarak jauh. Menurut arkeolog Prof Naniek Harkantiningsih, penemuan keramik periode abad ke-15 hingga ke-16 di Natuna turun drastis. Fenomena ini diperkirakan mengindikasikan surutnya lalu lintas perniagaan ke daerah tersebut. Namun, memasuki abad ke-18 hingga ke-19, jumlah keramik naik lagi seiring masuknya VOC ke Nusantara.
“Kilas balik leluhur kita sejak dulu menguasai hegomoni kemaritiman pada masa itu,” kata Kepal Puslit Arkenas I Made Geria, Minggu (26/1/2020), di Jakarta.
Diskusi tentang Natuna
Berangkat dari sejarah Natuna, Puslit Arkenas akan menggelar diskusi “Ada Apa dengan Natuna?, Kilas Balik Kepulauan Natuna, Arkeologi dari Batas Negeri” di Kantor Puslit Arkenas, Jalan Raya Condet Pejaten, Jakarta, Kamis (30/1/2020) pukul 09.00-12.00 WIB. Menurut Made, diskusi ini diharapkan bisa menjadi rekomendasi kebijakan sekaligus penguatan karakter kebangsaan.
Kilas balik leluhur kita sejak dulu menguasai hegomoni kemaritiman pada masa itu.
Berdasarkan hasil riset Puslit Arkenas di Pulau Bunguran Besar, Natuna, ditemukan banyak artefak keramik abad ke-10 hingga ke-20. Pulau-pulau di Laut Natuna Utara menjadi batu loncatan pelayaran, seperti ke Kepulauan Paracel, Spratley, Anambas, dan Natuna. Saat itu Natuna menjadi pelabuhan singgah karena hasil alam dan letaknya strategis. Sejak dulu, Natuna memiliki kekayaan hutan, ikan, dan batu granit.