Kebudayaan nasional menjadi puncak kebudayaan daerah sehingga nilai-nilai lokal perlu terus dikembangkan. Di Maluku, misalnya, persatuan dan kesatuan mesti menjadi nilai yang terus ditanamkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kebudayaan nasional menjadi puncak kebudayaan daerah sehingga nilai-nilai lokal perlu terus dikembangkan. Di Maluku, misalnya, persatuan dan kesatuan mesti menjadi nilai yang terus ditanamkan agar konflik yang pernah meletup pada 1999 hingga 2002 tidak terulang lagi.
Dosen Sejarah Universitas Pattimura, Usman Thalib, dalam dialog kebangsaan pada kegiatan Internalisasi Nilai Kebangsaan (Inti Bangsa) 2019 di Ambon, Maluku, Selasa (17/9/2019), mengatakan, konflik yang pernah terjadi di Maluku pada 1999 hingga 2002 akibat ketidakseimbangan dalam berbagai aspek.
Menurut Usman, salah satunya masalah ekonomi yang memicu pertikaian antarkelompok. Ketidakseimbangan tersebut dapat teratasi dengan kesadaran bahwa mereka sama-sama bersaudara.
”Orang Maluku memiliki semangat kebersamaan dan toleransi tinggi yang diturunkan atas dasar rasa kekeluargaan,” kata Usman.
Menurut Usman, beberapa tokoh masyarakat membuat lembaga antar-iman setelah kerusuhan tersebut. Mereka melakukan program pertukaran pemuda yang berbeda agama. Mereka tinggal di keluarga yang berbeda agama selama sebulan agar dapat saling mengenal dan mencintai orang yang berbeda keyakinan.
Hasil program tersebut adalah mereka menjadi saling memahami satu sama lain. Mereka bisa saja fanatik dalam beragama, tetapi mengedepankan toleransi dalam kehidupan sosial sehingga dapat menerima satu sama lain.
Usman mengatakan, masyarakat Maluku dikenal memiliki kecenderungan untuk tinggal sesuai dengan kelompoknya. Namun, mereka memiliki kerinduan ingin bertemu dengan orang di luar kelompoknya karena ada keyakinan bahwa mereka adalah satu keluarga.
Kekuatan budaya dan sejarah masa lalu turut membantu masyarakat Maluku bersatu. Masyarakat Maluku selalu menekankan kekeluargaan yang didasari oleh hubungan darah, teritorial, dan ungkapan persaudaraan.
Alhasil, mereka mengenal budaya pela gandong yang berarti semua bersaudara. Mereka meyakini, setiap warga Maluku memiliki hubungan darah, tetapi mereka dipisahkan pada masa penjajahan. Peristiwa itu terjadi pada 1608 ketika organisasi dagang Belanda (VOC) datang ke Banda Naira demi mengambil rempah-rempah, seperti cengkeh dan pala.
Dengan keyakinan tersebut, segala identitas kesukuan mulai ditanggalkan dan mereka lebih mementingkan menghargai keragaman. Lalu, kesetaraan menjadi prinsip yang terus dijunjung. Sebagai contoh, beberapa desa di Maluku Tenggara yang mengenal budaya derajat kasta mulai ditinggalkan.
Prinsip musyawarah dan gotong royong menjadi nilai yang terus dijunjung masyarakat Maluku. Ketika menyelesaikan suatu persoalan, masyarakat Maluku melakukan rapat yang dikenal dengan saniri negeri yang dipimpin kepala desa. Mereka juga melakukan rapat setahun sekali dengan nama saniri raja patti.
Nilai gotong royong juga dijunjung masyarakat Maluku. Mereka membaginya menjadi tiga, yakni masohi, badati, dan ma’ano. Masohi memiliki arti bekerja bersama-sama untuk kepentingan salah satu keluarga, sedangkan badati berarti bekerja bersama-sama untuk kepentingan bersama. Adapun ma’ano berarti bekerja sama dengan sistem bagi hasil.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku Rusli Manoreh mengatakan, persatuan dan kesatuan di Maluku terus dipupuk hingga sekarang. Salah satu wujudnya dengan melakukan karnaval budaya yang dilakukan oleh sejumlah paguyuban di Maluku dengan puncaknya pada Oktober.
Dalam karnaval tersebut, beragam budaya yang ada di Maluku ditampilkan. ”Melalui karnaval ini, perbedaan agama dan adat istiadat dipersatukan,” kata Rusli.
Sapaan kekeluargaan sehari-hari, seperti mama, kakak, dan adik, meskipun tidak ada hubungan keluarga turut membantu masyarakat Maluku bersatu. Hal tersebut menjadi kearifan lokal yang terus terjaga hingga sekarang.