Rapat Panitia Kerja Komisi VIII DPR mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Senin (26/8/2019), hanya dihadiri tiga anggota panja. Ini menunjukkan DPR tidak sensitif dengan korban kekerasan seksual. Lokais pembahasan RUU juga dipindah ke hotel, bukan di DPR yang merupakan rumah rakyat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor / Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencegah dan memberantas kekerasan seksual, serta melindungi korban kekerasan seksual dipertanyakan organisasi perempuan dan hak asasi manusia. Rapat Panitia Kerja Komisi VIII DPR mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Senin (26/8/2019), yang hanya dihadiri tiga anggota panja menunjukkan DPR tidak sensitif dengan korban kekerasan seksual.
Selain itu, sidang panja yang hanya dibuka sebentar kemudian langsung ditutup, juga dipertanyakan. Apalagi, putusan dari rapat tersebut memindahkan tempat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan di hotel.
“Pimpinan Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR hari ini sangat tidak sensitif dengan kondisi ketidakadilan korban kekerasan seksual. Patut diduga ada indikasi untuk mengulur-ulur waktu pengesahan RUU tersebut,” ujar anggota Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati.
Tim Komnas Perempuan bersama sejumlah aktivis dari Jaringan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Forum Pengada Layanan bagi perempuan korban kekerasan, sejak Senin siang sudah berada di Komisi VIII DPR untuk mengawal proses pembahasan Daftar Invetaris Masalah (DIM) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh tim panja DPR.
Namun, sayangnya sidang yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VIII Iskan Qolba dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) hanya berlangsung sekitar 10 menit, dan tertutup. Dari 26 anggota Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR, hanya empat orang yang menandatangani absen, yakni Iskan Qolba, Lilis Santika (Fraksi PKB) dan Ai Muzzammil Yusuf (FPKS), dan Djafar Shodiq (Partai Nasdem). Namun hanya tiga orang yang hadir di ruang persidangan.
Sementara dari pihak Panja Pemerintah yang dipimpin Vennetia R Dannes, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, hadir lengkap.
Selain mempertanyakan batalnya proses pembahasan DIM RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Nurherwati bersama Ratna Batara Munti (Koordinator JKP3) dan Fatkhurozi (pengurus FPL) mempertanyakan sikap panja yang memindahkan lokasi pembahasan RUU tersebut ke Hotel Sultan Raja Jakarta. Seharusnya pembahasan di DPR yang merupakan rumah rakyat.
Dipertanyakan sikap panja yang memindahkan lokasi pembahasan RUU tersebut ke Hotel Sultan Raja Jakarta. Seharusnya pembahasan di DPR yang merupakan rumah rakyat.
“Komnas Perempuan sangat prihatin, karena pembahasan dipindah ke hotel. DPR merupakan wakil rakyat yang seharusnya mengakomodir aspirasi masyarakat dari kelompok yang paling rentan, korban kekerasan seksual paling banyak adalah kelompok rentan. Maka pembahasan RUU ini seharusnya mendengarkan mereka dengan menyatakan rapat bersifat terbuka.
Ratna juga menyoroti sidang yang dipimpin anggota DPR dari F-PKS yang justru menolak RUU tersebut, serta mempertanyakan komitmen anggota panja lain yang tidak hadir.
“Kami sangat kecewa. Di mana komitmen dari fraksi-fraksi yang sejak awal mendukung RUU ini tapi hari ini tidak kelihatan? Lalu di mana ketua panja?” kata Ratna yang meragukan keseriusan anggota DPR yang selama ini menyatakan dukungan terhadap RUU tersebut tapi justru tidak hadir pada saat hari pertama pembahasan RUU itu.
Fatkhurozi meminta DPR agar tidak ingkar janji yang ketiga kalinya. “Sudah dua kali DPR sudah ingkar janji. Pertama DPR janji mau sahkan RUU ini Desember 2018, kemudian setelah Pemilu 2019. Kami sangat berharap DPR harus menghasilkan kemajuan penting dan berarti bagi korban dan masyarakat Indonesia,” katanya.
Sudah dua kali DPR sudah ingkar janji. Pertama DPR janji mau sahkan RUU ini Desember 2018, kemudian setelah Pemilu 2019.
Karena itu, Komnas Perempuan, JKP3, dan FPL mendorong panja pemerintah dan DPR agar segera membentuk tim perumus dan menghasilkan keputusan yang krusial seperti judul, pengertian kekerasan seksual, sistematika, dan hak-hak korban. “Tanpa ada kemajuan itu, maka semua adalah permainan atau dagelan politik,” kata Fatkhurozi.
Tiga substansi
Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, dari tiga substansi penting di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pembahasan aturan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual masih mandek karena perlu dibicarakan dan disinkronisasikan dengan substansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sedang dibahas di Komisi III DPR.
Dari tiga substansi penting di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pembahasan aturan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual masih mandek karena perlu dibicarakan dan disinkronisasikan dengan substansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Untuk itu, pekan depan, Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan rapat bersama dengan Panja RKUHP untuk menyamakan persepsi terkait aturan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual. Cakupan sembilan jenis kekerasan seksual yang tercantum di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan dapat diadopsi masuk dalam RKUHP.
“Karena yang menjadi acuan dari penegak hukum nanti tetap KUHP sebagai induk undang-undang hukum pidana, maka ini momentum tepat untuk memasukkan jenis-jenis kekerasan seksual dalam RKUHP, termasuk sanksi pidananya,” kata Ace.
Seperti diketahui, unsur kekerasan seksual di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah lebih luas mencakup sembilan tindakan seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksanaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Sementara, di RKUHP, substansi kekerasan seksual hanya diatur melalui pasal tentang pencabulan dan perkosaan. Selain itu, unsur-unsur lingkup kekerasan seksual di RKUHP juga tidak komprehensif. Sebagai contoh, tindakan yang bisa dimaknai pencabulan di RKUHP tidak diperjelas jika ikut mencakup aksi non-fisik, sementara di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, itu termasuk tindakan non-fisik atau verbal.
Di RKUHP, substansi kekerasan seksual hanya diatur melalui pasal tentang pencabulan dan perkosaan.
Ace menjamin, meskipun aturan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual akan disinkronkan dengan RKUHP, definisi dan cakupan jenis kekerasan seksual tidak akan mundur. Oleh karena itu, Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Komisi VIII akan meminta pada Panja RKUHP dari Komisi III agar substansi dan semangat cakupan kekerasan seksual di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat diadopsi di RKUHP.
Menurut Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Dasopang, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tetap akan diupayakan selesai pada periode ini, yaitu sebelum akhir September 2019. Sembari menunggu proses pembahasan terkait pemidanaan dengan Komisi III, substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lain seperti aspek pencegahan dan rehabilitasi untuk korban kekerasan seksual tetap berjalan di internal Komisi VIII.
Sementara itu, Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari pemerintah, Vennetia Danes mengatakan, meskipun aturan pemidanaan terkait kejahatan kekerasan seksual perlu disinkronkan, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak perlu menunggu RKUHP. “Kita mensinkronkan dengan RKUHP. Tetapi, bisa salah satu (disahkan) duluan, tetapi (pembahasannya) berbarengan,” katanya.