JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran yang menguatkan siswa untuk berpikir dan bernalar belum juga berkembang. Padahal, Indonesia sudah punya hasil evaluasi rutin dan lama dari hasil ujian nasional maupun tes internasional seperti Programme for International for Students Assesment atau PISA yang menunjukkan capaian hasil belajar siswa Indonesia masih rendah.
Guru Besar Matematika dari Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto di Seminar Perbaikan Pembelajaran Berdasarkan Hasil Penilaian yang digelar Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan (Puspendik, Balitbang), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, Selasa (11/ 12/2018), mengatakan dengan mengevaluasi hasil ujian nasional (UN) Matematika untuk SMP dan SMA, misalnya, terlihat ada proses belajar yang belum tepat di dalam kelas. Para siswa lebih mampu menjawab soal yang sudah ada model matematika dari situasi/masalah nyata dengan memakai rumus yang sudah dihafal.
"Untuk soal Matematika yang sudah berbentuk Matematika atau yang mudah diselesaikan dengan rumus, jawaban benar dari siswa bisa di atas 60 persen. Sebaliknya, ketika harus menerjemahkan dulu situasi/masalah nyata ke dalam model matematika yang berarti butuh penalaran, jawaban benar di bawah 30 persen," kata Iwan.
Menurut Iwan, dengan menganalisa hasil UN Matematika, sekaligus juga melihat pencapaian skor PISA siswa Indonesia, khususnya Matematika sejak tahun 2000, terlihat lambannya perbaikan pembelajaran yang menguatkan kemampuan bernalar siswa. Padahal, kemampuan bernalar jadi modal penting dalam membangun keterampilan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills (HOTS).
"Kelemahan dalam pembelajaran, khususnya Matematika, yang sudah diungkap dari hasil PISA selama 18 tahun ini, tidak digarap dengan serius. Kami yang diminta untuk menganalisa hasil PISA pertama Indonesia, sudah memberi rekomendasi, termasuk pwntingnya menguatkan proses bernalar dan berpikir. Nyaris 20 tahun lalu. Kenyataan sampai saat ini, proses belajar masih seperti yang dulu, sehingga peningkatan hasil belajar tetap rendah.
Karena itu, perlu proses belajar yang berbeda dari praktik sebelumnya. Meskipun kurikulum diubah, guru diberi gaji dan tunjangan tinggi, jika kecakapan guru dalam memgajar tidak meningkat, ya tidsk ada peningkatan dalam hasil belajar. Jadi, apa gunanya ikut PISA jika tidak dipakai dengam serius untuk memperbaiki pembelajaran," ujar Iwan.
Menurut Iwan, rendahnya kemampuan bermatematika siswa yang tergambar di hasil UN maupun PISA karena pembelajaran lebih menghafal rumus matematika. Latihan soal atau ujian matematika yang diberikan langsung dalam model matematika.
"Permasalahan yang dibahas di kelas perlu menyertakan jenis masalah yang belum berbentuk matematika. Matematikanya tersembunyi, jadi harus digali dahulu," ujar Iwan.
Sementara itu, Kepala Balitbang Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan setleah hasil UN semakin kredibel, hasilnya jadi lebih bisa dipakai untuk memotret keadaan belajar yang sesungguhnya. "Hasil UN jadi masukan untuk perbaikan proses belajar yang benar. Termasuk dengan mengenalkan soal HOTS, sebagai cara untuk mulai mendorong perubahan pembelajaran yang menguatkan nalar siswa," ujar Totok.
Namun, Totok menambahkan, para guru juga harus mampu mengembangkan asesmen atau penilaiaian yang baik di kelas. Termasuk mengobservasi para siswa tentang kemajuan belajarnya. "Tantangannya kita butuh guru yang merasa merdeka dalam mengajar, tidak terkukung pada aturan-aturan yang membelenggu dalam mengembangkan kreativitas pembelajaran di kelas," ujar Totok.
Selain UN, ujar Totok, ada juga Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), semacam ujian PISA yang sudah diadaptasi dengan kondisi Indonesia. Hasil AKSI juga bisa jadi refleksi bagi guru, sekolah, pemerintah pusat dan daerah untuk memparbaiki proses belajar di kelas. Termasuk untuk meningkatkan kemampuan mengajar guru sesuai dengan masalah yang dihadapi guru, baik dalam penguasaan materi yang diajarkan maupun dalam metode mengajarnya.
Dalam seminar tersebut, Balitbang juga secara resmi merilis soal-soal UN yang dapat diakses masyarakat. Totok menjelaskansejumlah sampel soal UN dipublikasikan agar publik mengetqhui model-model soal UN dari yang mudah, sedang, dan sulit, serta soal bertipe HOTS.
"Kami juga ingin mendapat masukan dari masyarakat untuk perbaikan. Tiqp sekolah juga ada rapot UN, yang diberi tqnda merah sebagai penanda materi yang masih di bawah standar," kata Totok.
Kesenjangan mutu
Kepala Puspendik M Abduh mengatakan hasil evaluasi UN semakin mudah diakses, terutama guru. Ada informasi detil tentang capaian tiap sekolah maupun daerah yang dapat dipakai sebagai refleksi.
"Kesenjangan mutu hasil belajar secara umum masih lebar. Bahkan, antarsekolah di suatu wilayah saja hasilnya cukup bervariasi. Umumnyaasih rendah," kata Abduh.
Menurut Abduh, dari hasil capaian UN yang bervariasi ini, perlu intervensi yang berbeda untuk tiap sekolah dan guru. "Solusinya, bisa dikembqngkan model belajar di antara sesama guru. Bisa saja guru yang baik membagikan praktik baiknya dalam mengajar suatu materi pada guru lain," ujar Abduh.
Sementara itu, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemdikbud, Supriano, mengatakan ada perbaikan mendasar dalam pelatihan para guru. Pelatihan guru difokuskan dalam upaya peningkatan kompetensi pembelajaran guru yang berorientasi HOTS.
Supriano menambahkan trend pelatihan guru dilakukan dalam kelompok yang kecil yang sesuai demgan kebutuhan mereka. Hal ini diwujudkan dengan mwmperkuat pendidikan dan pelatihan di antara sesama guru dib kelompok kerja guru untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran di tingkat SMP-SMA/SMK berbasis zonasi.