Manfaatkan Sikap Generasi Muda untuk Bangun Karakter
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Pengenalan ragam potensi anak merupakan kunci pendidikan untuk Generasi Z dan Generasi Alpha. Perilaku mereka yang kritis dan menyukai tantangan bisa menjadi nilai plus apabila dimanfaatkan secara benar.
"Potensi anak sering kali tidak dihiraukan karena orangtua dan guru sibuk berusaha mencetak anak sesuai kriteria mereka," kata pakar pendidikan sekaligus Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Arief Rachman di Jakarta, Senin (5/11/2018). Ia menjadi salah satu narasumber dalam acara bedah buku Mempersiapkan Generasi Milenial Ala Psikolog: Kiat-Kiat Pendidikan Anak bagi Orangtua dan Guru karya tim dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Ia menerangkan sikap kaum muda anggota Generasi Milenial dan Generasi Z yang menyukai tantangan, senang berbagi, mudah bosan, dan kritis. Bagi kebanyakan anggita generasi terdahulu, sikap-sikap ini kerap ditanggapi secara negatif. Misalnya melihat Generasi Milenial (lahir tahun 1980 hingga pertengahan 1990-an), Z (lahir di akhir 1990-an hingga 2010), dan Alpha (lahir tahun 2011-sekarang) sebagai sekelompok orang yang tidak sabat, cepat menyerah, selalu menginginkan segala sesuatu terjadi secara instan. Padahal, sikap-sikap ini bisa menjadi hal positif jika bisa diarahkan dengan benar.
"Misalnya sikap senang berbagi menandakan kemurah-hatian, bisa diarahkan dengan mendidik anak mengenai materi-materi atau hal yang boleh dibagi dan yang tidak layak menjadi konsumsi umum," ujar Arief.
Ia melanjutkan, perilaku anak lebih senang mendengarkan komentar teman sebaya dibandingkan nasehat orangtua menandakan bahwa orangtua perlu memastikan anak dikelingi teman-teman yang baik. Sementata itu, sikap generasi muda yang kritis sangat baik karena mereka tidak mudah mempercayai segala sesuatu yang disodorkan ke hadapan mereka.
"Di sini orangtua dan guru bisa membimbing mereka tentang cara memilah dan memilih informasi agar anak terbiasa mencari rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan," jelas Arief.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Romo Eduard Calistus Ratu Dopo, Kepala Sekolah Kolese Kanisius. Ia menceritakan, siswa-siswa sebelum tahun 2010-an sangat menggemari aktivitas fisik. Bahkan, ketika jam istirahat selesai, guru-guru harus memastikan mereka kembali ke kelas.
"Sekarang, siswa justru harus dipaksa keluar kelas pada jam istirahat karena mereka sibuk berkutat dengan gawai," ucap Eduard.
Mengetahui gawai adalah bagian dari kehidulan siswa, guru segera memanfaatkannya untuk pembelajaran. Akan tetapi, tetap ada pengayaan seperti kegiatan-kegiatan sosial yang tidak boleh menggunakan gawai untuk memupuk kemampuan siswa berinteraksi dengan orang lain.
Memanusiawikan anak
Dosen Psikologi Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim menjabarkan, prinsip ini memanusiawikan anak. Mereka tidak diperlukan sebagai obyek ambisi orangtua dan guru. "Pengasuhan bermutu merupakan kunci. Selain kasih dan sayang, orangtua dan guru wajib memberi anak pendidikan karakter," katanya.
Menurut dia, karakter baik dan moralitas tidak bisa tumbuh secara alami dalam diri manusia, melainkan harus dirangsang. Caranya adalah dengan memastikan anak tumbuh dikelilingi orang-orang yang bisa memberi teladan, mau mendengarkan aspirasi anak, dan mau berdiskusi untuk bersama-sama memecahkan masalah. Bukan sekadar menyuruh, apalagi memaksa anak.
"Agar kondisi ini tercapai, butuh orangtua yang pembelajar. Masalah utamanya adalah orangtua malas membaca dan menambah ilmu. Orangtua mencari ilmu-ilmu instan dari media sosial yang tidak terjamin kebenarannya," tutur Rose.
Dekan Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Angela Oktavia Suryani menerangkan, buku tersebut dibuat sebagai sumber informasi bagi orangtua dan guru. Di samping itu, juga sebagai sumbangsih dosen kepada masyarakat agar dosen tidak hanya sibuk melakukan penelitian untuk jurnal ilmiah, tetapi juga mengembangkan psikologi terapan. (DNE)