Bila nanti ada kebangkitan Q dalam ejaan bahasa Indonesia, yang menjadi ”Sang Pembangkit” ialah Samsudin Berlian (”Q” dalam Rubrik Bahasa Kompas, Sabtu, 22 September 2018, hlm 11). Saya senang membaca tulisan Samsudin Berlian itu, dan mengumpat diri saya sendiri, mengapa kreativitas seperti itu tidak muncul lebih dulu dalam pikiran saya.
Saya setuju dengan usul Samsudin Berlian untuk mendayagunakan konsonan itu—dan lambangnya—di dalam bahasa Indonesia. Penggunaan huruf c untuk mempresentasikan bunyi yang sebelumnya dieja dengan gabungan huruf t dan j itu ternyata efisien dan efektif serta berterima di masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Begitu pula penggantian dj dengan j berjalan dengan mulus.
Semoga demikian pula dengan pengfusian q. Sayang, usul kami untuk mengeja bunyi konsonan ”campuran”, ks, dengan huruf tunggal, x, tidak tembus di Pusbinbangsa. X hanya boleh dipakai di awal kata atau nama asing yang kita serap ke dalam bahasa Indonesia, seperti Xantippe, xenon, xenofobia, dan Xin Jinping.
Dengan meniru cara Samsudin Berlian, unique kita transkripsikan menjadi uniq, bukan unik. Alternatifnya, kita pakai saja terjemahannya, yakni amung. Uniq itu ’istimewa’, atau ’lain dari yang lain’. Dengan ”resep” yang sama, technique berpadanan dengan tekniq.
Penggunaan huruf c menggantikan tj dan j menggantikan dj, seperti sebelumnya u menggantikan oe, itu lebih efisien, dan ternyata juga efektif. Saya kira akan begitu pula kalau ks boleh diganti dengan x.
Istilah, kata, dan nama yang ejaannya memuat huruf x pada hemat saya juga tidak serta-merta melanggar PUPI (Pedoman Umum Pembentukan Istilah), yang patokannya ialah taat-makna, singkat, sedap didengar, mudah dilafazkan, dan tidak berkonotasi buruk. Pada deretan rambu-rambu ini bahkan dapat ditambahkan patokan ISO (standar internasional UNESCO), yakni linguistically proper yang berarti tidak melanggar kaidah gramatika.
Pada hemat saya, sedikit praktis dan pragmatis juga tak apalah. Praktis ialah gampang dilakukan dan dapat cepat dilaksanakan, sedangkan pragmatis adalah mementingkan nilai-guna yang bisa dipetik pemanfaatannya.
Penggunaan lambang x untuk menyatakan bunyi konsonan campuran ks tidak menabrak seabrek rambu-rambu tersebut di atas. Namun, tentulah alasan ilmiahnya, mengapa usul kami untuk memakai x mental di Pusbinbangsa. Alangkah baiknya kalau munsyi di Badan Bahasa, yang mempunyai wewenang/otoritas untuk menjatuhkan ”kata putus”, menjelaskan alasan itu, —juga melalui rubrik Bahasa ini—agar kami yang awam ini dicerahkan.
Penggunaan q dalam kata/nama yang ditranskripsi dan ditransliterasikan dari bahasa Arab, seperti Al Qur’an, qauliyah, qudratullah, taufiqurrahman, dan sebagainya juga tidak menimbulkan masalah.
Kembali ke ”Q”-nya Samsudin Berlian, bagaimana kalau pemadanannya:
critic---pengecam
criticize---mengecam
criticism ---kecaman, dan
critique ---makalah kecam?
Padanan yang terakhir ini tidak dimaksudkan untuk menafikan kritiq. Kritiq justru lebih ringkas, bernas, dan jelas (menurut ”rasa bahasa” saya).
Akan tetapi, kata kecam jangan dijauhkan, deprecated.