JAKARTA, KOMPAS – Budaya patriarki yang melekatkan perempuan pada peran-peran di bidang domestik membuat posisi dan kontribusi perempuan dalam pengelolaan agraria hingga kini tidak diperhitungkan. Selama ini, dalam hukum pertanahan, posisi perempuan dalam kepemilikan tanah dihilangkan.
Padahal, perempuan memiliki peranan penting dalam pengelolaan agraria, baik dalam pengelolaan lahan pertanian, penyelamatan ekosistem pesisir, maupun pengelolaan hasil laut. Karena itu, komunitas perempuan berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan ketika disahkan menjadi undang-undang yang berperspektif jender, yang menjamin akses dan kontrol perempuan atas tanah.
“Peran produktif perempuan belum diakui, sementara dalam penguasaan lahan terjadi kesenjangan jender terjadi antara laki-laki dan perempuan,” ujar Dinda Dinda Nuur Annisaa Yura, Koordinator Program Solidaritas Perempuan, pada Dialog Publik dengan tema "Pentingnya Rancangan Undang-Undang Pertanahan Adil Gender untuk Memperkuat Akses dan Kontrol Perempuan atas Tanah", Kamis (18/10/2018) petang di Ruang Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta.
Dialog yang digelar Solidaritas Perempuan bersama dengan Kaukus Perempuan Parlemen (KPP), yang dihadiri Anggota Komisi II DPR Andi Mariatang yang juga anggota KPP. Dinda menegaskan ketimpangan penguasaan lahan terus terjadi, seperti terlihat dalam data Badan Pertanahan Nasional (BPN) yakni perempuan hanya memiliki lahan 15,88 persen dari 44 juta bidang tanah di Indonesia. Ia mencontohkan kepemilikan tanah di Desa Barati Sulawesi Tengah, perempuan hanya memiliki lahan 10 persen.
“Perempuan mengalami ketimpangan berlapis, bukan hanya karena jendernya, tetapi juga akibat ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan,” ujar Dinda seraya memaparkan pengusahaan lahan oleh perusahaan-perusahaan berdampak besar bagi kehidupan perempuan.
Potensi sama
Ratna Susianawati, Sekretaris Deputi Bidang Kesetaraan Jender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menilai bahwa saat ini kepemilikan atas tanah oleh perempuan tidak menjamin keterlibatannya atas pengelolaannya.
“Meskipun memiliki potensi yang sama, hingga kini perempuan belum memiliki keahlian dalam pengelolaan, dan membutuhkan akses pendidikan,” kata Ratna.
Ia mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 9 ayat 2 menyebutkan semua warga negara laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. “Mengapa perempuan berhak atas kepemilikan lahan? Untuk kesejahteraan, efisiensi, kesetaraan, dan pemberdayaan,” katanya.
Kondisi perempuan yang sulit mendapat pengakuan akan posisinya juga diungkapkan Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Bahkan untuk mencari bentuk reforma agraria di wilayah pesisir masih menjadi tantangan.
Menurut Susan, hingga kini perempuan-perempuan nelayan belum mendapat pengakuan, kendati setiap hari mereka bekerja seperti nelayan pada umumnya.
Jhonsar Lumbantoruan, Staf Ahli Komisi II, memaparkan perjalanan panjang dari proses legislasi RUU Pertanahan hingga masuk sebagai program legislasi nasional 2018. RUU Pertanahan yang ada saat ini membutuhkan penyesuaian, namun secara prinsip tidak ada yang berubah. “”Kepastian hukum dikuatkan dalam RUU tersebut,” katanya.
Pelengkap UUPA
Yagus Suyadi, Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kementerian Agraria dan Tata Ruang, menyatakan RUU Pertanahan merupakan sebagai pelengkap UU Pokok Agraria yang mengatur lebih rinci tentang permasalahan agraria/pertanahan sesuai dengan kebutuhan bangsa, negara dan masyarakat.
Substansi RUU tersebut antara lain menegaskan status tanah negara, yakni tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati suatu hak atas tanah.
Solidaritas Perempuan menilai dialog tentang RUU Pertanahan sangat penting karena hingga kini keterkaitan erat perempuan dengan alam ternyata tidak menjamin akses dan kontrol perempuan atas sumber daya alam di sekitarnya. Perempuan dengan produktifnya, antara lain sebagai petani maupun nelayan, kontribusinya belum diperhitungkan, baik oleh hukum negara maupun budaya.
Sementara ketika terjadi konflik agraria, perempuan yang paling merasakan dampaknya, karena rentan mengalami tindak kekerasan dan trauma karena adanya konflik tersebut.