JAKARTA, KOMPAS — Literasi atau pengetahuan masyarakat maupun pemerintah tentang gangguan jiwa hingga kini masih sangat rendah. Hingga kini, penyandang disabilitas mental masih dipandang tidak memenuhi syarat untuk bekerja sehingga mengalami kesulitan dan dikriminasi saat melamar pekerjaan di bidang pemerintahan maupun swasta.
Kewajiban menyertakan surat keterangan sehat rohani telah menjadi kendala besar bagi penyandang disabilitas mental untuk bekerja. Tak hanya saat melamar pekerjaan, saat mengajukan beasiswa pemerintah pun dipersulit, seperti saat mengurus beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
“Pekerjaan adalah hak setiap orang. Khusus untuk penyandang disabilitas mental, pekerjaan memiliki arti ganda. Bukan hanya sekadar memberikan kontribusi tapi memiliki pengaruh positif dalam perkembangan penyakit yang bersangkutan. Karena dengan bekerja akan menimbulkan percaya diri dan rasa nyaman, dan memperbaiki kondisinya, bagi seorang disabilitas mental.“ ujar dr Irmansyah, Ketua Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia (JRPI) Diskusi Publik dengan topik "Hak Bekerja & Bersekolah Bagi Penyandang Disabilitas Mental, Selasa (16/10/2018) di @america, Pasific Place Jakarta.
Menurut Irmansyah pekerjaan adalah hak setiap orang. Khusus untuk penyandang disabilitas mental, pekerjaan memiliki arti ganda. Bukan hanya sekadar memberikan kontribusi tapi memiliki pengaruh positif dalam perkembangan penyakit yang bersangkutan.
Karena itu, kalau seorang penyandang disabilitas mental bekerja akan menimbulkan percaya diri dan rasa nyaman, dan memperbaiki kondisinya. Dengan kondisi positif dia bisa hidup nyaman, kesembuhan bisa dicapai lebih mudah. Bagi masyarakat memiliki keuntungan ganda, bukan hanya kontribusi secara ekonomi langsung tapi juga mengurangi beban ekonomi secara keseluruhan pada masyarakat.
“Menghambat seseorang bekerja terutama penyandang disabilitas mental seharusnya tidak ada. Harusnya semua berjuang menghalangi itu,” ujarnya.
Masalah kesehatan jiwa
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti menyebutkan disabilitas mental/psikososial adalah disabilitas yang disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. American Disability Act (ADA) disabilitas sebagai gangguan fisik atau mental yang secara substansial membatasi satu atau beberapa aktivitas kehidupan utama. Adapun gangguan kejiwaan disebut sebagai “psychiatric disability” (disabilitas psikiatris).
“Jadi ketika pelamar kerja atau karyawan memiliki kondisi kesehatan mental yang memenuhi kriteria ini, mereka memiliki hak di tempat kerja yang dilindungi secara hukum di bawah ADA,” ujarnya.
Kondisi ini berbeda dengan Indonesia dan negara-negara lainnya. Di Indonesia hingga kini masih banyak mitos dan mispersepsi terhadap orang dengan disabilitas mental. Misalnya, ada mitos, individu dengan kondisi kesehatan mental tidak pulih. Faktanya, sebagian besar orang dengan disabilitas psikiatris menjadi lebih baik, berkat perbaikan perawatan dan layanan yang memadai.
Atau ada mitos bahwa Individu dengan kondisi kesehatan mental tidak dapat bekerja dalam pekerjaan yang penuh tekanan atau menuntut. Faktanya banyak individu dengan disabilitas mental mendapat dan bekerja dengan efektif.
Begitu juga dengan mitos bahwa individu dengan kondisi kesehatan mental menimbulkan bahaya bagi orang lain di tempat kerja. “Faktanya, terlepas dari berita utama yang mencolok, tidak ada bukti yang kredibel bahwa individu dengandisabilitas mental menimbulkan bahaya bagi orang lain di tempat kerja. Bahkan, orang dengan disabilitas mental lebih mungkin menjadi korban daripada pelaku kekerasan,”kata Yeni.
Selain itu, ada mitos bahwa individu dengan kondisi kesehatan mental tidak dapat bekerja sampai mereka benar-benar pulih. Faktanya akomodasi tempat kerja memungkinkan banyak penyandang disabilitas mental bekerja dengan efektif.
"Jika UU sudah menjamin, seharusnya bukan halangan bagi penyandang disabilitas mental untuk bekerja sepanjang mendapat akomodasi yang layak," ujar Yeni yang mencontohkan di Amerika Serikat sekitar 18 persen pekerja memiliki kondisi kesehatan mental tetapi dilindungi oleh hukum di negara tersebut, melalui ADA.
Cara pandang masyarakat
Fajri Nursyamsi, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menegaskan Fajri menyatakan hingga kini masyarakat masih memandang penyandang disabilitas sebagai warga yang memiliki keterbatasan. Padahal seharusnya penyandang disabilitas dipandang sebagai manusia dan warga negara yang sama dengan lain, memiliki kelebihan dan keterbatasan. "Penyandang disabilitas mental adalah bagian dari warga negara yang wajib dilindungi hak-haknya," kata Fajri.
Selain dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945, perlindungan terhadap penyandang disabilitas dan hak mendapat pekerjaan juga diatur dalam Pasal 67 Ayat (1) Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat disabilitasnya.
Selain itu diatur, juga diatur dalam Pasal 53 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada penyandang disabilitas.
“Bahkan Pasal UU No 8/2018 Pasal 53 juga menyatakan pemerintah dan badan usaha milik negara dan daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja, begitu juga perusahaan swasta minimal mempekerjakan 1 persen dari jumlah pegawainya,” kata Fajri.
Tak hanya itu, juga diatur soal sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian kegiatan operasional, pembekuan izin usaha, pencabutan izin usaha jika pemberi kerja tidak menyediakan akomodasi yang layak dan fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja penyandang disabilitas. Termasuk ancaman pidana paling lama dua tahun dan denda Rp 200 juta bagi siapa saja yang menghalang-halangi atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan haknya.