Barangkali inilah perhelatan pameran seni paling bersahaja yang pernah digelar di Galeri Nasional Indonesia. Puluhan perupa yang sebagian besar adalah penyandang disabilitas berkesempatan memamerkan karya-karya mereka secara lugas dan spontan kepada publik tanpa pretensi atau pamrih apapun.
Deretan karya mereka bisa disaksikan di Galeri Nasional Indonesia mulai 12-29 Oktober 2018 dalam tajuk Pameran “Pokok di Ambang Batas” yang merupakan pameran utama rangkaian Festival Bebas Batas 2018. Pameran ini menampilkan karya-karya dari 35 peserta hasil seleksi terbuka, karya-karya dari peserta undangan dalam dan luar negeri, meliputi koleksi Borderless Art Museum No-Ma Jepang, hasil workshop Kedutaan Spanyol di Indonesia, proyek seni Institut Francais d’Indonesie, proyek seni British Council Indonesia, dan beberapa karya Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dari lima Rumah Sakit Jiwa di Indonesia.
Sebuah lukisan siluet dengan titik fokus seorang gadis menenteng boneka di tengah deretan batang-batang pohon meranggas menyuguhkan suasana syahdu. Siapapun yang menyaksikannya mungkin tak akan mengira bahwa lukisan itu adalah karya dari Anfield Wibowo (14), seorang remaja belia yang menderita gangguan pendengaran sekaligus tuna rungu.
Di salah satu sisi ruang pamer Galeri Nasional Indonesia juga terpampang lukisan penari Bali dengan ilustrasi goresan-goresan warna hitam dan keemasan di sekitarnya. Lukisan itu ternyata karya dari salah satu ODGJ dari Rumah Sakit Jiwa Bangli Bali.
Ekspresi para peserta pameran ini terlihat total, spontan, dan lugas. Menurut kurator pameran A Sudjud Dartanto, sampai pada titik ini muncul sebuah pertanyaan di ambang batas: apakah masih penting dan perlu mereka (para penyandang disabilitas) menyandang predikat, cap, atau stigma sebagai kaum disabilitas ketika berada di ranah seni?
“Seni adalah ranah yang dapat membebaskan (siapapun) dari stigma dan prasangka, termasuk dalam hal ini adalah berbagai predikat dan penamaan yang membuat para penyandang kebutuhan khusus seolah-olah adalah kelompok sosial yang kontras dengan masyarakat pada umumnya. Pameran ini menjanjikan kejujuran, kelugasan, dan spontanitas tanpa pretensi,” tegasnya.
Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini meliputi karya dua dimensi, mulai dari lukisan, fotografi, gambar (drawing), media campur, hingga karya audio visual dan interaktif. Karya-karya tersebut ditampilkan dengan bentuk dan teknik beragam, mulai dari bentuk konvensional hingga kontemporer.
Gagal Memahami
Berefleksi dari rangkaian workshop melukis yang digelar di lima RSJ di Jakarta, Solo, Malang, Bali, dan Lampung, menurut Ko kurator pameran Hendromasto Prasetyo, yang menyebabkan ODGJ terjerembab ke dalam stigma dan prasangka adalah kegagalan kita untuk memahami mereka. Ketidakpahaman itu kerap memantik kita untuk buru-buru mengasingkan dan melulu menganggap mereka berbahaya dan bebas dari tanggungjawab.
“Respon penuh stigma dan prasangka kepada ODGJ adalah petaka untuk mereka. Dalam banyak kasus, stigma dan prasangka dari lingkungan di luar RSJ justru kerap menjadi pemantik ketidakstabilan para ODGJ. Karena itu, tak sedikit ODGJ yang baik-baik saja saat di RSJ, namun kembali bermasalah justru saat mereka kembali ke lingkungannya,” kata Hendro.
Hannah Madness, perwakilan perupa dari Art Brut Indonesia berharap, festival semacam ini bisa berlanjut di tahun-tahun mendatang dan bisa mengubah persepsi masyarakat bahwa tidak ada yang salah dalam kondisi mental seseorang. Bagi Hannah, yang salah adalah bagaimana cara orang memberikan persepsi terhadap para penyandang disabilitas.
Direktur Kesenian Direktorat Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan memandang bahwa siapapun perlu diberi ruang dan tempat berekspresi tanpa terkecuali. “Kadang masih terjadi gap pemahaman di antara kita. Kita perlu menyadari bersama bahwa Tuhan menciptakan kita bermacam-macam dan semuanya pasti memiliki potensi yang patut diapresiasi,” pungkasnya