JAKARTA, KOMPAS — Kepentingan utama dalam kebijakan pendidikan adalah kepentingan anak yakni hak anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Untuk itu, kebijakan dalam penyediaan guru tetap berfokus pada kualitas kompetensi guru karena berkait dengan masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa.
Dewan Pembina Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Najelaa Shihab di Jakarta, Senin (24/9/2018), mengatakan komitmen untuk memenuhi kekurangan guru di pendidikan dasar hingga menengah, harus juga memperhatikan kepentingan anak, tidak hanya pada kesejahteraan guru. Karena itu, sangat penting untuk memastikan seleksi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) berfokus pada kualitas kompetensi guru, bukan hanya aspek historis atau status guru sebelumnya.
"Jangan sampai pertimbangan politik, penyerapan anggaran, bahkan kepentingan jangka pendek berkait masa kerja guru diprioritaskan dan melupakan tujuan jangka panjang berkait pendidikan anak di masa depan, semata-mata karena anak tidak berdaya memperjuangkan haknya lewat organisasi atau media massa," ujar Najelaa yang juga pendiri Sekolah Cikal.
Menurut Najelaa, isu guru yang sering menjadi perhatian, menarik dukungan publik, dan menjadi fokus agenda pembangunan adalah hal-hal yang instan dan mudah terlihat, misalnya terkait kesejahteraan guru. Di sisi lain, masalah kualitas guru kompleks, memerlukan proses jangka panjang, dan melibatkan kolaborasi antarsektor dari berbagai kementrian/lembaga.
Akibatnya, isu kualitas guru seringkali tertunda penanganannya. "Kalaupun ada solusi cendrung reaktif, jangka pendek, dan sepotong-sepotong," kata Najelaa.
Najelaa memaparkan sejumlah permasalahan yang membelit penyediaan guru berkualitas di Indonesia, antara lain meliputi banyaknya lembaga pendidikan guru (LPTK) yang kurang berkualitas, perekrutan guru yang tidak memfokuskan pada kualitas guru, banyak aspek politik praktis dalam perekrutan, rotasi, dan promosi guru, hingga banyaknya tekanan administratif yang membuat guru tidak dapat berfokus pada pengembangan kompetensi diri.
"Jadi, wajar kalau pencapaian standar kompetensi guru belum sesuai harapan. Kita tidak bisa menyalahkan guru (apalagi secara individual) karena masalahnya memang sistem dan ekosistem tidak kondusif pada pengajaran berkualitas," jelas Najelaa.
Pembenahan benang kusut yang membelit para guru dapat dilakukan dengan komitmen dan kolaborasi. Najelaa mengatakan sejumlah langkah strategis yang harus dilakukan yakni meningkatkan pemerataan distribusi guru baik secara kuantitas maupun kualitas, dengan fokus pada dampak pada anak, bukan hanya kesejahteraan guru. Selain itu, tidak melibatkan guru dari segala unsur politik praktis.
Hal lain yakni menyelaraskan dan menderegulasi kebijakan pendidikan supaya guru fokus ke proses belajar di kelas dan bukan melengkapi tuntutan administrasi. Tak kalah penting menumbuhkan guru merdeka belajar, terutama terkait kemampuan untuk berefleksi dan beradaptasi pada konteks lingkungan dalam mendidik anak.
Najelaa mengingatkan pentingnya strategi kebijakan bagi sekolah swasta. Sebab, setiap kali pemerintah berbicara tentang guru, biasanya fokusnya hanya pada guru di sekolah negeri atau yang diangkat lewat mekanisme pemerintah. Padahal lembaga swasta melayani proporsi yang sangat besar dari murid di sistem pendidikan kita. Memastikan akses, meningkatkan kualitas dan mengurangi kesenjangan menuntut kebijakan guru yang utuh meliputi semua.
Standar nasional
Secara terpisah, Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Toni Toharudin mengatakan pemenuhan standar nasional pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah harus jadi perhatian. Dari hasil akreditasi sekolah/madrasah secara nasional, pemenuhan pendidik dan tenaga pendidik secara kuantitas dan kualitas masih rendah.
Di daerah, peningkatan mutu guru lewat pendidikan dan pelatihan dirasakan masih minim.Padahal, pelatihan untuk peningkatan profesi guru berkualitas yang rutin dan berkelanjutan dibutuhkan guru untuk mampu mengembangkan pembelajaran yang membangun kompetensi siswa abad 21.
Kepala SD Inpres Ende 14, Maria LY Ana Dema, di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, mengatakan kesempatan bagi kepala sekolah maupun guru mendapatkan pengembangan profesi yang sesuai kebutuhan guru terbatas. Apalagi untuk sekolah kecil dan berlokasi di pinggiran kota, minim dapat perhatian.
Menurut Maria, profesi guru dikembangkan lewat gugus guru SD dengan dukungan kepwla sekolah dalam satu gugus. Namun dengan dana yang terbatas karena mengandalkan sebagian dari dana bantuan operasional sekolah, pelatihan guru dilakukan satu tahun dua kali.
"Pelatihan dilakukan di antara teman sejawat guru. Paling seputar manajemen kelas karena SD kan guru kelas dan membantu guru untuk memahami penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran," ujar Maria.
Kepala SD Katolik Nangapanda 1 Martha Mariati mengatakan saat ini ada beragam program nasional yang mesti dilaksanakan sekolah. Namun, penguatan dan pendampingan guru untuk mengimplementasikan berbagai program wajib di sekolah seringkali tidak optimal.
Martha mencontohkan, dalam mendukung gerakan literasi sekolah, guru melaksanakan ala kadarnya karena terbatasnya pemahaman dan keterampilan untuk mengimplementasikannya. Perpustakaan sekolah misalnya, tidak mampu dimanfaatkan untuk mendukung tumbuhnya literasi dan prestasi belajar siswa.
Peningkatan mutu guru dengan pelatihan dan pendampingan dinilai strategis dan membuahkan perubahan pembelajaran di dalam kelas. Direktur Program Pelita Pendidikan Tanoto Founfation mengatakan pelatihan dan pendampingan yang difasilitasi oleh fasilitator guru dan dosen yang terbukti konsisten menerapkan pembelajaran aktif, menjadi salah satu kunci keberhasilan pelatihan.
"Mereka bisa menjadi model atau teman diskusi bagi guru dalam menerapkan pembelajaran aktif," ujar Stuart.