JAKARTA, KOMPAS — Jurnalis perlu memiliki perspektif jender ketika meliput. Ini penting diperhatikan karena produk jurnalistik bisa memberikan pemahaman yang diskriminatif jika jurnalis tidak memberi perspektif jender yang tepat dalam hal yang diliput. Untuk itu, perusahaan media didorong memberikan pelatihan kepada jurnalis agar produk jurnalistik bisa memberikan edukasi, bukan eksploitasi.
Hal itu mengemuka pada diskusi Pemenuhan Hak atas Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual, Layanan Kontrasepsi Universal, dan Perlindungan Kelompok Minoritas Seksual yang digagas Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jakarta, Senin (10/9/2018).
Perwakilan Pusat Kajian Jender dan Seksualitas Universitas Indonesia, Fatimah Az Zahro, mengatakan, jurnalis memiliki peran untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang sebuah peristiwa. Namun, kerap kali jurnalis membuat berita yang bombastis dengan mengeksploitasi tubuh narasumber.
”Saat Asian Games, beberapa media massa menyebutkan ciri fisik yang tidak relevan dengan pemberitaan, seperti tinggi yang semampai, cantik, dan tampan. Seharusnya kemampuan dan perjuangan atlet yang disoroti,” kata Zahro.
Jika ciri fisik yang ditonjolkan, terkesan media massa memperlakukan manusia seperti barang dagangan untuk mendulang konsumen berita. Padahal, ciri fisik tidak ada kaitannya dengan prestasi yang diraih sang atlet.
Zahro mengatakan, hal itu perlu disadari jurnalis karena media memiliki peran untuk mendidik masyarakat melalui produk jurnalistiknya. Untuk itu, pemilihan kata dan pengambilan foto atau video dalam kerja jurnalistik menjadi penting dipikirkan sebelum ditayangkan.
Orientasi seksual
Dalam kasus lain, masih dijumpai produk jurnalistik yang kerap mendiskriminasi lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT). Beberapa tindak kejahatan dikaitkan dengan orientasi seksual pelaku dalam pemberitaan. Hal itu berdampak terhadap citra LGBT di masyarakat, seolah semua LGBT memiliki kecenderungan kejahatan.
Peneliti pluralisme di Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, Abdul Muiz Ghazali, mengatakan, tindak kejahatan hendaknya dilihat sebagai tindak kejahatan. ”Jika di dalam pemberitaan dikaitkan dengan orientasi seksual, LGBT lain yang baik-baik bisa terkena imbas negatif dari pemberitaan,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen Jakarta Naomi Jayalaksana mengatakan, jurnalis seharusnya mengingat fungsi edukasi media massa ketika membuat karya jurnalistik. Karya jurnalistik yang dikonsumsi masyarakat perlu memiliki mutu yang bisa membangun wawasan masyarakat agar tidak diskriminatif.
Menurut dia, perusahaan media perlu memasukkan materi jender agar jurnalis bisa menulis berita yang tidak mendiskriminasi. ”Perusahaan media yang memberikan pendidikan terkait jender masih kecil persentasenya. Mungkin hal itu masih dipandang bukan sebagai prioritas,” katanya. (SUCIPTO)