Ronggeng Kulawu, Kisah Perjuangan Ronggeng di Masa Penjajahan Jepang
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
Di balik perjuangan para pahlawan yang bertempur di medan perang, terselip kisah perjuangan para perempuan yang menjadi korban kekerasan para penjajah. Namun, kisah ini luput dari perhatian, bahkan cenderung tak dianggap. Para gundik penjajah atau pun perempuan yang dilacurkan dianggap sebagai pengkhianat oleh bangsa sendiri.
Pesan itulah yang ingin disampaikan dalam lakon “Ronggeng Kulawu” dalam pementasan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Minggu (26/8/2018). Lakon ini diperankan oleh Maudy Koesnaedi sebagai Maesaroh dan Andi Kanemoto sebagai Kapten Kazuo. Naskah ditulis oleh Endah Dinda Jenura dan dipentaskan dengan iringan musik Uge Gunara.
Ronggeng Kulawu berkisah tentang seorang penari ronggeng dari Dusun Kulawu bernama Maesaroh. Sebagai seorang ronggeng, Mesaroh yang biasa dipanggil Mae bertugas membuat suasana menjadi semarak dan ceria. Itu hal yang mudah bagi Mae karena kata ayahnya, Mae seperti matahari yang membuat orang merasa hangat dan gembira.
Kehidupan Mae di pengujung masa penjajahan Belanda berlangsung sebagaimana biasanya pribumi yang dijajah. Hingga suatu ketika datanglah tentara Jepang, memberikan janji-janji kemerdekaan dan harapan yang baru kepada Indonesia. Kedatangan mereka disambut dengan suka cita.
Namun, kemerdekaan yang dijanjikan tak kunjung datang. Alih-alih memberikan kebebasan, Jepang malah semakin menambah petaka bagi penduduk, termasuk bagi Maesaroh dan rombongan ronggeng lainnya. Jepang merebut semua milik penduduk, mulai dari bahan makanan hingga anak perempuan.
Maesaroh direnggut paksa dari Abahnya dan Kang Uja, laki-laki yang berjanji menikahinya setelah Indonesia merdeka. Mae dan rombongan ronggengnya dibawa ke rumah bordil dan dipaksa menjadi wanita penghibur bagi tentara Jepang yang berperang.
Kapten Kazuo, tentara Jepang yang ditemui Mae pada suatu hari ketika masih meronggeng dulu, kemudian menyelamatkan Mae dari tempat laknat itu, melalui anak buahnya. Mae kemudian dijadikan gundik oleh Kapten Kazuo.
Bersama Kapten Kazuo, hidup Mae lebih baik. Dia diperlakukan dengan lembut. Sosok Mae mengingatkan Kapten Kazuo akan ibunya yang masih tinggal di Jepang. Meski demikian, kisah cinta mereka dipenuhi latar politik dan kekuasaan antara penjajah dan negeri yang dijajah.
Cerita berakhir dengan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, dan Kapten Kazuo berbalik membantu perjuangan Republik. Bagaimana dengan Mae? Dia berjuang melawan siapa saja yang merenggut kemerdekaannya.
Dicap penghkhianat
Sutradara Ronggeng Kaluwu Wawan Sofwan mengatakan, sosok Maesaroh dalam lakon ini merupakan salah satu gambaran kehidupan perempuan Indonesia di masa penjajahan Jepang. Banyak perempuan yang dipisahkan dari keluarganya dan dipaksa menjadi wanita penghibur dan diperlakukan tidak adil. Tidak hanya oleh tentara Jepang, tetapi juga oleh bangsa sendiri.
“Mereka dianggap sebagai perempuan yang mengkhianati bangsanya karena hidup bersama penjajah,” ujar Wawan di Auditorium Galeri Indonesia Kaya.
Maudy menambahkan, tokoh Maesaroh hanya satu dari sekian banyak perempuan yang jadi korban kekejaman penjajah di masa pendudukan Jepang. Banyak impian yang mesti dia tinggalkan saat dibawa paksa oleh tentara Jepang.
Di salah satu adegan, diceritakan bagaimana Mae yang diselamatkan anak buah Kapten Kazuo dibisiki penduduk pribumi sebagai “pelacur”. Alih-alih dianggap korban, dia dicap sebagai pengkhianat, orang yang menikmati hidup berkecukupan di rumah bordil, sedangkan penduduk hidup menderita dalam kemelaratan.
“Orang melihat mereka senang ‘dipelihara’ Jepang. Padahal sebenarnya banyak pergulatan batin dan perjuangan fisik atau pun mental yang harus mereka lewati. Bahkan, setelah kemerdekaan pun tidak ada yang peduli dengan mereka. Sebegitu berat penderitaan mereka. Pesan ini yang ingin kita sampaikan,” kata Maudy seusai pementasan. (YOLA SASTRA)