Hindari Konten Kekerasan pada Anak
JAKARTA, KOMPAS – Pawai peringatan HUT Ke-73 Kemerdekaan RI yang diikuti sejumlah taman kanak-kanak di ruas jalan raya di Kota Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (18/8/2018) lalu terus menuai sorotan dari publik.
Penampilan Kontingen TK Kartika V-69 yang menampilkan anak-anak perempuan dengan busana serba hitam, bercadar, dan menenteng replika senjata laras panjang saat pawai titi dinilai merupakan bentuk kekerasan terhadap anak.
Sebab anak adalah individu yang lemah dengan segala keterbatasannya. Karena itu, membuat anak-anak mengenakan pakaian yang dianggap lucu untuk memuaskan keinginan orang tua saja sudah merupakan bentuk kekerasan, apalagi menambah dengan atribut yang mengandung pesan kekerasan
“Tidak seharusnya anak-anak diberikan konten-konten kekerasan. Karena itu akan menjadi simpanan memorinya dan bagian dari karakternya. Jika kapasitas intelektualnya terbatas, dia hanya akan menjadi robot yang mengulang tanpa analisa, dan suatu saat akan mudah terpicu untuk melakukan hal sama,” kata psikolog Kasandra Putranto di Jakarta, Minggu (19/8/2018).
Kasandra menilai pemberian konten kekerasan seperti itu, sama saja dengan upaya mencuci otak (brainwash) anak-anak-anak. “Sekarang anak-anak tidak tahu dan tidak sadar tetapi kenangan ini dan kisah-kisah yang selalu didengung-dengungkan akan masuk ke dalam memorinya,” ujar dia.
Karena konteksnya peringatan Hari Kemerdekaan, menurut Kasandra, sebaiknya tetap pada konteks Kebhinekaan. Misalnya berbagai suku bangsa berjuang bersama dengan bambu runcing. Ikat kepala merah putih, atau baju daerah.Jika diganti dengan baju hitam dan senjata,memorinya akan terisi demikian.
“Lindungi anak dengan mengisi hal-hal yang baik, cerdas, sehat nilai-nilai kasih sayang.Kepala sekolah dan pengurus sekolah harus bertanggung jawab. Ini bukan kelalaian. Ini kesengajaan,” ujar Kasandra.
Usut tuntas
Pascapawai tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan dari masyarakat terkait busana serba hitam dan atribut kontingen TK Kartika V-69 dengan tampilan anak-anak perempuan bercadar menenteng replika senjata laras panjang.
Karena itu, KPAI meminta kepada pihak kepolisian agar terus mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam inisiatif penggunaan atribut karnaval TK Kartika tersebut. Dinas Pendidikan Probolinggo diminta memberikan saksi tegas kepada pihak sekolah yang tanpa koordinasi telah memakai replika senjata pada karnaval tersebut.
“Kegiatan seperti ini tak bisa dibenarkan dengan alasan inisiatif yang spontan, tetapi sesungguhnya membutuhkan persiapan yang matang. Jadi itu dilakukan dengan sadar dan penuh tanggung jawab,” kata Ketua KPAI Susanto dalam keterangan pers, Minggu.
Menurut Susanto, dari pengaduan yang diterima KPAI, masyarakat prihatin dan menyayangkan karnaval anak TK Kartika V yang membawa atribut mirip atribut ISIS di Suriah. Masyarakat menyayangkan pihak sekolah yang menggunakan anak-anak yang masih polos sebagai propaganda gerakan radikal. Apalagi TK Kartika V adalah sekolah milik Persatuan Istri Tentara (Persit) dan di bawah binaan Kodim 0820.
Berdasarkan koordinasi Komisioner KPAI, Susianah Affandy dengan Kepala Kepolisian Resor Probolinggo Kota Ajun Komisaris Besar Alfian Nurizal dan Komandan Kodim 0820 Letkol (Kav) Depri Rio Saransi, diperoleh informasi tak adanya pengajuan ijin oleh Dinas Pendidikan kepada kepolisan dalam penyelenggaraan kegiatan Pawai Budaya TK dan PAUD Se-Kota Probolinggo.
Adapun peserta karnaval TK Kartika V yang menggunakan atribut cadar dan replika senjata, pihak sekolah menyatakan sebagai inisiatif spontan, tanpa koordinasi dengan Kodim sebagai pembina TK itu. Bahkan pihak sekolah berdalih penggunaan atribut iyu karena barang-barang tersebut tersedia di gudang milik sekolah sehingga tidak perlu menyewa. Alasan lainnya, karnaval TK Kartika mengusung tema “Bersama Perjuangan Rasullullah, Kita Tingkatkan Keimanan dan Ketaqwaan Kepada Allah SWT”.
Menanggapi hal tersebut, Susanto menegaskan KPAI meminta kalangan pendidik di sekolah mulai PAUD, SD, SMP, dan SMA untuk tidak menjadikan simbol gerakan radikal dalam pertunjukan karnaval. Apalagi jika pemakaian atribut itu diniatkan untuk hal serius (bukan lucu-lucuan), hal tersebut patut disayangkan karena terkandung sosialisasi ajaran radikalisme melalui visualisasi atribut yang kenakan anak.
“Penjelasan Kepala TK Kartika V bahwa penggunaan atribut tersebut karena tersedia barangnya di sekolah sehingga tidak perlu menyewa kostum lainnya justru menimbulkan tanya publik, kok bisa sekolah menyediakan seragam cadar dalam jumlah banyak?” tegas Susanto.
KPAI juga meminta Kantor Kementrian Agama Kota Probolinggo untuk membina sekolah-sekolah tentang ajaran Islam yang rahmatan lil \'alamiin. Simbolisasi Islam dan ajaran Rasulullah agar tidak dinisbatkan pada simbol kekerasan sebagaimana sering diasosiasikan dengan simbol Taliban/ISIS.
KPAI menyayangkan alasan pihak Sekolah mengangkat tema tersebut sebagai pembenaran pemakaian atribut yang biasa dilekatkan kepada kelompok ISIS padahal kegiatan yang diselenggarakan adalah pawai budaya dalam rangka HUT RI ke-73. “Harusnya, pawai budaya sesuai khasanah budaya Indonesia,” kata Susanto seraya menambahkan KPAI akan memanggil pihak TK Kartika V Kota Probolinggo.