JAKARTA, KOMPAS – Total sampah di Indonesia mencapai 65 juta ton pada tahun 2017. Produksi sampah terbanyak dihasilkan oleh rumah. Oleh karena itu, pemilahan sampah dari rumah adalah kunci untuk mengurangi sampah.
“Sebesar 48 persen sampah berasal rumah tangga. Apabila setiap ibu di rumah dapat memilah sampah bahkan mendaur ulang, sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir adalah sampah yang memang tidak dapat digunakan lagi,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, dalam acara pelatihan untuk pendamping Aisyiyah bertema “Membangun Gerakan Perempuan dalam Pengurangan Sampah”, di Jakarta, Jumat (3/8/2018). Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari 27 provinsi.
Rosa menyampaikan, ibu-ibu adalah garda terdepan untuk membina karakter anak. Ketika karakter anak telah dibentuk, jaminan tata kelola pemerintahan ke depannya pun akan menjadi baik, termasuk dalam pengelolaan sampah.
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengatakan, sampah Indonesia harus sudah 100 persen ditangani dan 30 persen dikurangi pada tahun 2025. Hal ini dapat terwujud jika masyarakat sadar untuk memilah untuk mengurangi jumlah sampah.
“Harus ada perubahan untuk mencapai semua ini. Gerakan awal dari para ibu ini dapat menjadi langkah awal untuk mencapai Indonesia yang bersih dan nyaman,” kata Novrizal.
Menurut Ketua Perhimpunan Pusat Aisyiyah, Profesor Masyitoh Chusnan, terselenggaranya acara ini membuktikan bahwa ibu-ibu se-Indonesia peduli akan masalah sampah. Para ibu mau berkumpul untuk belajar bagaimana mengurus sampah dengan benar.
“Kami semua terus bergerak dengan semangat hingga adanya perubahan dan mencapai sesuatu yang baik. Dalam hal ini adalah lingkungan yang nyaman, indah, dan bersih,” kata Masyitoh.
Seorang peserta, Endang Mulyani Putro asal Surabaya, menerapkan pemilahan sampah baik di rumah maupun di sekolah tempatnya mengajar. Sebagai guru pendidikan anak usia dini, Endang mengajarkan anak-anaknya untuk memilah sampah.
“Tinggal di sekitar pantai membuat kami banyak menerima sampah baik kiriman dari laut maupun sampah dari daratan. Sudah tiga tahun ini kami berupaya untuk mengurangi sampah tersebut dengan mendaur ulangnya dan membuat produk bernilai ekonomi,” kata Endang.
Endang mengatakan, selain mengumpulkan sampah, ia juga membeli sampah-sampah warga. Misalnya, bungkus plastik kopi, ia membelinya dari warung kopi Rp 500 – Rp 1.000 per kilogramnya.
“Sampah plastik kopi bisa kami buat menjadi tas dan karpet. Usaha selama tiga tahun pun sudah mulai membuahkan hasil. Lingkungan masyarakat terutama sekolah, kini semakin bersih dan ramah anak,” kata Endang.