JAKARTA, KOMPAS – Pelaksanaan sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru tingkat SMA di Provinsi DKI Jakarta berjalan lancar meski masih terdapat kendala pada penyaluran informasi. Pemetaan dan pengkajian ulang wilayah zonasi diperlukan untuk menyempurnakan sistem tersebut.
Masih banyak orangtua yang belum mengetahui detail soal sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Misalnya bagaimana cara mendaftar hingga pembagian zona sekolah. Sosialisasi sistem zonasi ini ke masyarakat dinilai kurang. Selain itu, pemerintah juga harus mengkaji ulang pembagian wilayah zonasi agar sekolah mempunyai peluang sama dalam menjaring siswa.
“Selama pendaftaran siswa baru, secara umum tidak terdapat kendala yang berarti terkait sistem zonasi. Sudah beberapa tahun diterapkan, petunjuk teknis dari dinas (Dinas Pendidikan) sudah jelas, tinggal mengikuti,” ujar Teguh Priyanto, Wakil Kepala SMA Negeri 8 Jakarta, di Jakarta Selatan, Kamis (12/7/2018).
Wakil Kepala SMA Negeri 16 Jakarta, Ahmad Sutanto, juga mengatakan, tidak terdapat masalah berarti pada PPDB sistem zonasi. Kendala yang muncul hanya sebatas pada kendala informasi.
“Terdapat calon siswa yang daftar lewat jalur umum luar DKI Jakarta, alamatnya di Cikarang, tetapi daftar di SMA 16. Mungkin tidak tahu alamat sekolahnya di mana dan asal daftar, tidak datang waktu jadwal lapor diri sehingga gugur,” kata Sutanto.
Hal yang sama dikatakan oleh Kepala SMA Negeri 24 Jakarta, Sunaryanto. Menurutnya masih terdapat orangtua calon siswa yang tidak mengetahui dengan pasti terkait sistem zonasi, meski secara umum PPDB dengan sistem ini berjalan lancar.
“Banyak yang tidak tahu secara detail mengenai cara pendaftaran, zona-zona yang masuk dalam sekolah sehingga banyak yang bingung dan merasa was-was anaknya bisa dapat sekolah atau tidak,” kata Sunaryanto.
Banyak yang tidak tahu secara detail mengenai cara pendaftaran, zona-zona yang masuk dalam sekolah.
Sunaryanto menambahkan, sistem zonasi memiliki kelebihan, yaitu terjadi pemerataan siswa berprestasi di semua sekolah, dan hilangnya anggapan sekolah unggulan dan tidak. “Selain pemerataan, adanya sistem zonasi juga bisa mengurangi kemacetan khususnya di Jakarta, karena jarak sekolah dan rumah dekat,” kata Sunaryanto.
Wilayah zonasi
Meski demikian, menurut Sunaryanto pemerintah perlu mengkaji ulang wilayah zonasi setiap sekolah hingga hal yang paling mendetail, apakah wilayah zonasi suatu sekolah tersebut merupakan wilayah perkampungan atau perkantoran. Hal ini seperti terjadi di SMA Negeri 24 yang terletak di komplek Senayan, Jakarta Pusat, lingkungan sekolah tersebut merupakan wilayah perkantoran.
“Sini (lokasi SMAN 24) wilayah perkantoran tidak dekat kampung. Kemarin kami juga mengajukan Kebayoran Lama, harapannya zonasi bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas,” kata Sunaryanto. Wilayah zonasi SMA Negeri 24 meliputi Kecamatan Kebon Jeruk, Grogol, Kebayoran Baru, Tanah Abang, dan Palmerah.
Di Jakarta terdapat 114 SMA negeri. PPDB tahun ini dibagi dalam jalur lokal, jalur umum, jalur afirmasi, jalur inklusi, dan jalur prestasi.
Jalur lokal merupakan jalur yang diperuntukkan bagi siswa dalam zonasi sekolah meliputi empat wilayah kecamatan dengan kuota 55 persen. Sedangkan jalur umum merupakan jalur bagi calon siswa yang berasal dari DKI Jakarta luar wilayah zonasi dengan kuota 30 persen dan luar provinsi dengan kuota 5 persen. Proses seleksi murni menggunakan nilai ujian nasional (UN) tanpa adanya penambahan nilai sesuai jarak rumah.
“Jumlah sekolah di Jakarta memadai sehingga tidak terdapat masalah, yang perlu dilakukan hanya sosialisasi kepada masyarakat supaya tidak terjadi kebingungan,” kata Sutanto.
Dihubungi secara terpisah, Agustinus Suyatmo, Kepala SMP Negeri 3 Banyuputih, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, mengatakan perlunya pengkajian ulang pelaksanaan sistem zonasi di wilayahnya karena terdapat sekolah yang kekurangan siswa. “Murid dari zona lain tidak mendaftar ke sekolah di luar zonanya karena takut tidak diterima sehingga terdapat sekolah yang kekurangan murid,” kata Suyatmo.
Penerapan sistem zonasi tingkat SMP di Jawa Tengah menggunakan aturan penambahan nilai pada nilai UN. “Satu RT (Rukun Tetangga) dengan sekolah diberi nilai 300, satu RW (Rukun Warga) diberi 200, satu desa nilainya 100, dan satu kecamatan diberi 50, sedangkan luar kecamatan diberi nilai nol. Nilai maksimal lulusan SD (Sekolah Dasar) itu 300, jadi nilai zonasi satu RT menyamai nilai maksimal UN. Sekolah harus menerima siswa satu RT meskipun nilainya jelek” kata Suyatmo.