JAKARTA, KOMPAS — Mencegah dan menghentikan praktik perkawinan anak telah menjadi isu global dan mendapat perhatian khusus. Bahkan, isu ini masuk dalam agenda global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (The Sustainable Development Goals /SDGs).
Selain kebijakan pemerintah yang melindungi anak-anak, edukasi terhadap masyarakat terutama anak perempuan dan anak laki-laki tentang dampak buruk dari perkawinan anak harus dilakukan terus menerus.
“Undang-Undang memang sangat krusial, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengubah perilaku, mengubah pola pikir masyarakat, orangtua, ada anak-anak soal perkawinan anak,” ujar Chief Officer Plan International, Anne-Birgitte Albrectsen, di Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Saat ini Plan International melalui program Global 18+ (Ending Child, Early and Force Marriage) terus aktif mendorong pencegahan perkawinan anak di tingkat lokal, nasional, dan international. Anak-anak perempuan harus terus diedukasi agar tidak memilih menikah di bawah umur, terus bersekolah, serta memiliki kemandirian untuk memutuskan atau memilih kapan waktunya menikah.
Anne yang didampingi Executive Director Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti dan Project Manager “Yes I Do” Yayasan Plan International Indonesia Budi Kurniawan memaparkan jika perkawinan anak tidak dicegah dari sekarang, hal tersebut akan membawa dampak yang besar bagi negara maupun dunia. Apalagi saat ini, diperkirakan hamper setiap hari ada 41.000 anak di dunia yang dipaksa menikah.
Di Indonesia sendiri, perkawinan anak juga masih marak terjadi. Setiap jam diperkirakan ada 16 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun (Data Unicef dan Badan Pusat Statistik, tahun 2016). Karena itulah, gerakan mengakhiri perkawinan anak akan berdampak besar jika dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, orangtua, dan komunitas masyarakat.
Pemerintah berperan penting dalam menetapkan usia 18 tahun bagi anak perempuan, serta mendukung anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Menurut Albrectsen, perlu pendekatan holistik untuk mengidentifikasi dan mengatasi akar penyebab dari tradisi berbahaya perkawinan usia anak.
Melindungi hak anak
Saat ini, Plan International sebagai organisasi kemanusiaan independen yang berkomitmen mempromosikan dan melindungi hak anak turut berpartisipasi aktif dalam “Girls Not Brides” (kemitraan global lebih dari 900 organisasi masyarakat sipil dari 95 negara) yang berkomitmen untuk mengakhiri perkawinan anak dan memungkinkan para anak perempuan untuk memenuhi potensi mereka.
Budi menambahkan Program Yes I Do yang diluncurkan Yayasan Plan International Indonesia sejak 2016 sebagai komitmen untuk mencegah dan menurunkan perkawinan anak, kehamilan remaja, dan praktik berbahaya bagi organ reproduksi perempuan.
“Saat ini Program Yes I Do dilaksanakan dengan menggandeng Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) di Kabupaten Rembang (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat) yang angka perkawinan anaknya cukup tinggi,” kata Budi. (SON)