Ayam Bakar Kampung saya baca tiap kali lewat di spanduk tukang ayam bakar pinggir jalan dekat rumah. Itu contoh kalimat sempurna. Ada subyek (ayam), predikat (bakar), dan obyek (kampung) dengan tata urut yang normal jamak.
Tak baik rupanya berprasangka buruk bahwa pengetahuan soal kebahasaan orang kebanyakan di pinggir jalan sudah pasti jelek. Atau, bahwa urusan bahasa Indonesia dengan segala pernak-perniknya adalah melulu urusan jawatan bahasa atau para akademisi di menara gading sana.
Tampaknya di dunia kuliner kaki lima, sejauh yang saya temui di sekitar rumah saya, penamaan jenis makanan menjadi semacam taman bermain atau tempat re-kreasi bahasa. Tak perlu bertungkus lumus dengan sekian kamus tebal berbuku-buku atau konsultasi dengan para pakar yang relevan, dari sana terciptalah tata nama yang menerbitkan selera makan dan rasa ingin tahu sekaligus melayangkan asosiasi kita sampai entah ke mana.
Malah ada yang seperti sengaja dibuat provokatif dan sensasional. Memanfaatkan kain rentang bukan sekadar sebagai pemberitahuan kehadiran dengan nama diri, melainkan sekaligus media kampanye yang efektif. Ayam Geprek, Ayam Penyet, Bakso Rudal, Bakso Beranak, Bebek Sambel Ijo, Mi Kocok, Mi Glosor, Nasi Goreng Gila, dan itu tadi, Ayam Bakar Kampung.
Bagaimana kita membaca ayam bakar kampung? Konstruksi ini agak kompleks karena ambigu. Bisa berarti (1) ayam (mem-)bakar kampung, atau (2) ayam kampung yang diolah dengan cara membakarnya. Pada kali pertama membacanya, pengertian pertamalah yang muncul di kepala saya. Namun, karena terasa absurd, arti kedua dengan cepat dapat saya terima sebagai pesan yang sebenarnya ingin disampaikan. Apalagi dengan mempertimbangkan konteks yang melingkunginya. Teks itu diletakkan berdekatan dengan ayam bakar sebagai mata dagangan berikut perkakas masaknya.
Mari kita coba sederhanakan bangun yang sedikit bikin bingung itu dengan melihat ada dua frase di situ: ”ayam bakar” dan ”ayam kampung”. Kedua frase yang punya arti sendiri-sendiri inilah yang menampik hadirnya arti (1) sekalipun pesan atau makna yang disampaikan melalui struktur seperti itu amat jelas, yaitu ada ayam yang membakar kampung. Kita bandingkanlah dengan bangun lain, misalnya bebek sambel ijo.
Berbeda dari ayam bakar kampung, dua unit makna yang membangun bebek sambel ijo jauh lebih sederhana. Benak kita secara intuitif dan normatif hanya menangkap ”bebek” dan ”sambel ijo”. Sejauh ini kita tidak, atau belum, mengenal ”bebek sambel” dan ”bebek ijo”. Jadi, tak ada keraguan di dalam kita membaca pesan di sebalik konstruksi itu.
Baru minggu lalu saya lihat teks di kain rentang lain depan gerobak penjaja yang rupanya pendatang baru di barisannya. Polanya mirip dengan konstruksi ayam bakar kampung: Pisang Goreng Tanduk. Namun, kemarin sore, rupanya teks itu sudah berubah. Ada tambahan kata ”Super” dan jadilah Pisang Goreng Tanduk Super. Ada yang bertanya, apa yang super?
Pertanyaan yang lebih runcing: salahkah bentuk-bentuk bahasa seperti ilustrasi di atas? Kalau saya yang ditanya, saya akan balik bertanya, tidakkah ini semua adalah re-kreasi yang menjelma rekreasi bahasa? Di mana salahnya?