Pada abad XIX, orang-orang Jawa diangkut dengan kapal, meninggalkan Jawa menuju negeri-negeri jauh bernama Suriname dan Kaledonia Baru. Mereka dibujuk duit dan kemakmuran walau nyatanya dipekerjakan sebagai buruh, semacam Tenaga Kerja Indonesia saat ini.
Pekerjaannya berat, upah kecil, dan rindu meluap untuk pulang ke Jawa. Di negeri-negeri jauh, mereka berkeluarga dan memiliki keturunan di antara sesama suku, untuk tetap merasa Jawa meski terpisah jarak. Semacam pelepasan rindu tak tertahankan.
Lakon orang-orang Jawa bekerja jadi buruh itu tak tercatat oleh Ranggawarsita. Di Solo, Ranggawarsita pada pertengahan abad XIX menggubah teks sastra ampuh berjudul Serat Jayengbaya. Pembaca berhak menganggap itu ensiklopedia pekerjaan di Jawa, mencampur pekerjaan lama (tradisional) dan baru (modern). Jawa telah berubah!
Orang bekerja dengan pelbagai pilihan meski memikul risiko besar. Bekerja untuk hidup, tapi rentah dalam soal identitas, sakralitas hidup, dan adab sebagai manusia Jawa. Ranggawarsita sedang resah atas tatanan hidup di Jawa. Pekerjaan menentukan posisi dan raihan makna hidup.
Di Jawa, orang-orang memilih pekerjaan mengacu silsilah, keilmuan, dan birokrasi kolonial. Pujangga agung itu malah memberi cerita-cerita percampuran lucu, getir, apes, dan keajaiban. Pemahaman kerja mengikutkan perubahan tata nilai di Jawa.
Kerja sebagai identitas
Kita menilik sejenak ingatan pekerjaan di Jawa melalui buku Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno (2002) garapan Supratikno Rahardjo. Dulu, jenis-jenis pekerjaan terdapat di Jawa dalam usaha memenuhi kebutuhan pokok dan pembentukan identitas: pegawai pemungut pajak, pengrajin dan pekerja seni, pedagang, petani dan petugas pertanian.
Pekerjaan-pekerjaan menghasilkan nafkah, bahagiaan, kebersamaan, dan religiositas. Pelbagai pekerjaan menentukan derajat dan kesadaran untuk menguatkan kejawaan. Pekerjaan-pekerjaan aneh belum terlalu menggoda akibat kedatangan bangsa-bangsa asing ke Jawa.
Situasi tampak berubah pada abad XIX. Jawa mengalami kemajuan dengan kebaruan, tapi juga kehilangan. Ranggawarsita menugasi diri mencatat dan memberi cerita berisi protes, kritik, sesalan, lelucon, dan impian.
Serat Jayengbaya menguak kebingungan dan ambisi orang-orang Jawa menentukan pekerjaan. Pamrih duit, pangkat, tenar, dan bahagia mengarah ke selera pekerjaan.
Ranggawarsita seperti pengisah gejolak makna pekerjaan bertaut ke pemasukan modal, tertib politik, modernisasi, dan dampak sekolah-sekolah bercorak Barat. Pekerjaan pun tema besar, bergerak dari angan tradisional ke dilema-dilema berlatar kemajuan.
Jenis pekerjaan mentereng dalam tata politik kolonial adalah jaksa. Tokoh ciptaan Ranggawarsita bermimpi jadi jaksa, berharap mendapat duit berlimpahan dan tenar. Hasil melimpah, tapi risiko menakutkan adalah dihajar dan dibunuh orang. Jaksa sering mendapat musuh. Di Jawa, pekerjaan jaksa sangat mentereng.
Ketakutan menanggung risiko menjadi jaksa membuat si tokoh beralih menjadi abdi atau menghamba Belanda. Bekerja sebagai petani atau buruh tak cukup lagi menghidupi. Jenis-jenis pekerjaan baru diperebutkan orang-orang Jawa demi mendapat perlindungan kaum feodal dan kolonial.
Naungan modal dan politik penting dalam pemerolehan nafkah. Orang-orang Jawa perlahan digoda bersekolah agar mendapat pekerjaan-pekerjaan baru. Mereka bekerja dengan gaji dan fasilitas meski menghamba ke kolonial. Nilai-nilai baru dianut bertarung dengan pijakan adab Jawa.
Jadi guru
Pada abad XIX dan awal abad XX, pekerjaan sebagai guru mulai jadi idaman bagi orang-orang Jawa. Sekolah-sekolah memerlukan guru pribumi, mendampingi atau berperan sebagai bawahan bagi guru-guru asal Eropa.
Kehormatan menjadi guru memungkinkan kenaikan kelas sosial, tak melulu ada di barisan wong cilik. Guru sanggup meniti ke penggabungan makna wibawa, busana, duit, keilmuan, dan bahasa.
Segala jenis pekerjaan lama dan baru di Jawa memang mengandung cerita-cerita bergelimang makna. Cerita tak selulu membahagiakan. Petaka dan merugi pun mengesankan orang-orang Jawa sering terjebak dilema dalam bekerja. Segala pamrih dan dilema itu pernah diingatkan Yasadipura II dalam Serat Sasanasunu (Sri Suhandjati Sukri, 2004). Pada setiap pekerjaan, tata krama adalah penentu kebermaknaan kerja dan cara ungkap menjadi manusia mulia di dunia sampai akhirat. Begitu.