Anak-Anak Bergerak Mencegah Kekerasan
Tiga wajah muda akan mewakili Indonesia untuk menyuarakan keadilan terhadap anak di dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perlindungan Anak, Solutions Summit, di Stockholm, Swedia, 14-15 Februari 2018. Kehadiran mereka diharapkan mampu menjadi pembuka jalan bagi anak-anak lain dalam upaya pecegahan kekerasan terhadap anak di Indonesia.
Ketiga anak itu datang dari daerah yang berbeda-beda. Kristian Genaro Tigor Kogoya (16) berasal dari Kabupaten Jayawijaya, Papua; Luisa Futboe (16) dari Kupang, Nusa Tenggara Barat; dan Monica (15) dari Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mereka punya kisah tentang upaya perlindungan hak anak di daerahnya masing-masing yang akan dipresentasikan di depan 11 anak dari lima negara lain, yakni Paraguay, Sri Lanka, Swedia, Tanzania, dan Meksiko. Anak-anak tersebut akan saling berdiskusi dan membahas isu-isu perlindungan anak sambil memunculkan inisiatif bersama untuk mencegah dan menurunkan angka kekerasan terhadap anak di dunia.
"Ini bukan persoalan tiga anak mewakili Indonesia, tetapi bagaimana anak-anak sudah ikut tersadar dan berkomitmen untuk bergerak dalam upaya pencegahan kekerasan itu sendiri. Mereka adalah pembuka jalan bagi anak-anak yang lain," kata Ketua Presidium Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) Zubedy Koteng, Sabtu (10/2), di Jakarta.
Lembaga kemitraan global untuk penghapusan kekerasan terhadap anak, Global Partnership to End Violence Against Children, pun sebagai penyelenggara acara bukan tanpa sebab memilih Indonesia. Alasannya, kata Zubedy, lembaga tersebut melihat pemerintah Indonesia memiliki keseriusan dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap anak. Hal itu tercermin dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang secara khusus diimplementasikan ke dalam Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN-PA), dan juga Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
"Walaupun memang negara kita masih banyak pekerjaan rumahnya, tetapi ada kemauan pemerintah dan masyarakat sipil, yang bersama-sama ingin menghapuskan kekerasan anak di negara ini," ujar Zubedy.
Anak jalanan
Kegelisahan terhadap situasi kekerasan yang dialami anak-anak jalanan di Wamena telah menggerakan hati Kristian Genaro Tigor Kogoya. Tigor, begitu ia disapa, merasa prihatin ketika melihat anak-anak itu ditelantarkan begitu saja oleh orang tua mereka.
"Aku menganggap mereka (anak-anak jalanan) sama seperti saya. Mereka seharusnya juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak," kata Tigor, yang saat ini duduk di kelas XII SMA PGRI Wamena.
Tigor menilai, tanpa pendidikan yang layak, anak-anak jalanan akan mudah terjatuh dalam arus kenakalan anak seusianya. Hal itu seperti yang ia rekam melalui sebuah film dokumenter berkisahkan anak-anak jalanan yang kencanduan menghirup lem. Film berdurasi 13 menit itu berjudul "Sa Butuh Ko Pu Cinta", yang artinya "Saya Butuh Kamu Punya Cinta".
"Video itu sebagai ungkapan permintaan supaya pemerintah serius memerhatikan kehidupan anak-anak jalanan," ucap Tigor.
Karena semangat itulah, Wahana Visi Indonesia (WVI) memilih Tigor dari sekitar 80 ribu anak di 10 provinsi yang menjadi fokus pendampingan WVI. Tigor dinilai memiliki kepekaan terhadap isu lingkungan sekitar bagi teman-teman sebayanya.
"Tigor itu anak yang optimistis dan rasa kepeduliannya sangat tinggi. Kami harap, Tigor bisa menjadi motor penggerak bagi teman-temannya," kata Manajer Komunikasi Publik WVI Yacobus Runtuwene.
Hukuman fisik
Luisa Futboe ternyata punya pengalaman sendiri di Kupang. Luisa mengatakan, di tanah kelahirannya itu, kekerasan terhadap anak masih sering terjadi, terutama di sekolah-sekolah. Kekerasan itu berupa hukuman fisik yang diberikan oleh guru kepada muridnya yang dinilai tidak disiplin.
Sebagai contoh, jika murid terlambat masuk sekolah, maka sang murid diminta untuk berlutut di bawah tiang bendera yang beralas krikil. Atau, jika anak tidak mengerjakan tugas, maka tangan anak tersebut akan dipukul oleh sang guru menggunakan penggaris kayu.
"Ada teman saya yang mendapat hukuman. Guru itu pukul tangan anak tersebut sampai bengkak. Setelah itu, dia tidak mau sekolah lagi sampai tiga hari," kenang Luisa, yang saat ini duduk di kelas XI SMAN 1 Taebenu Kupang.
Karena itulah, Luisa termotivasi untuk mengampanyekan perlindungan anak ke sekolah-sekolah. Ia tidak ingin tindakan kekerasan terhadap anak di sekolah terus membudaya.
"Saya sangat memimpikan semua sekolah di Indonesia menjadi ramah anak. Guru-guru juga mengajar anak-anak tanpa kekerasan," tutur Luisa.
Spesialis Perlindungan Anak dari Child Fund Indonesia Reny Rebeka Haning mengatakan, Luisa tergolong anak yang aktif menggali permasalahan-permasalahan di sekolah terkait kekerasan terhadap anak. Sejak masuk SMA, Luisa sudah menjadi pionir di sekolahnya untuk meneriakkan antikekerasan.
"Luisa tidak pernah takut untuk bersuara kebenaran. Yang dia pikirkan hanyalah, dia tidak ingin teman-temannya terus mengalami trauma karena hukuman fisik itu," ujar Reny.
Namun, menurut Reny, kendala utama dalam upaya penghapusan hukuman fisik di Kupang adalah budaya masyarakat yang masih menganut "di ujung rotan ada emas". Atas dasar itulah, masyarakat setempat seolah mendapatkana pembenaran untuk memberikan hukuman fisik kepada anak.
"Kalau dilihat sekarang kan sudah bukan lagi di ujung rotan ada emas, tetapi ada bekas. Akibatnya, anak jadi tidak percaya diri dan tidak akan bisa berkembang. Pola pikir ini yang perlu diubah," ujar Reny.
Kekerasan seksual
Monica punya kisah lain untuk ikut menyuarakan keadilan terhadap hak anak. Monica sadar bahwa tugasnya sangat berat, yakni mengajak teman-teman sebayanya untuk berani melapor apabila mendapat kekerasan seksual.
"Saya jujur merasa sulit untuk ajak teman-teman karena ini sifatnya pribadi. Tetapi, paling tidak upaya pencegahan itu sudah tertanam dalam diri teman-teman," kata Monica.
Upaya pencegahan yang Monica maksud adalah apabila kita melihat teman mengalami kekerasan seksual, maka kita harus segera melapor ke kepala sekolah. Selain itu, kita juga berhak melapor apabila ada guru atau teman yang mulai bertindak tidak senonoh.
"Jadi, paling tidak berani melapor dulu. Jangan sampai dipendam sendiri," ujar Monica.
Monica juga sangat optimistis bahwa Indonesia kelak harus bisa menjadi rumah yang nyaman bagi anak-anak. "Saya ingin kekerasan seksual di Indonesia tidak terjadi lagi. Saya ingin targetnya nol," katanya.
Penasihat Tata Kelola Anak dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik mitra Save The Children Ratna Yunita mengatakan, pelaku kekerasan seksual paling banyak dari lingkungan terdekat. Oleh karena itu, ajakan Monica untuk berani menjadi pelapor dinilai sangat efektif agar tidak banyak korban lain berjatuhan.
"Ajakan menjadi pelapor ini sangat baik supaya kasus cepat tertangani. Perlu juga kesadaran dari para guru untuk berani membuka diri pada pelaporan anak dan secara cepat menindaklanjuti pelaporan itu," ujar Ratna.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Leny Nurhayanti Rosalin mengatakan, ada dua poin penting yang perlu dipegang oleh anak, yakni menjadi pelopor dan pelapor. Kehadiran tiga anak itu, menurut Leny, sudah menjadi pelopor bagi teman-teman sebayanya untuk sadar terhadap haknya.
"Tiga anak ini membuktikan bahwa anak bisa ikut berbuat. Sejak kecil mereka sudah bisa membedakan mana perbuatan yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sehingga mereka lebih berani bersuara," kata Leny.
Terkait menjadi pelapor, Leny menuturkan, upaya pencegahan itu tidak harus selalu dari aparat dan orang dewasa, tetapi anak-anak juga bisa ikut terlibat. Apalagi, ia menyebut 34 persen dari total penduduk Indonesia adalah anak-anak, yakni sekitar 87 juta anak.
"Anak perlu diajari untuk menjadi pelapor agar kasus tidak meluas dan cepat tertangani dengan baik," tutur Leny.
Untuk alasan apapun, tindakan penelantaran anak, kekerasan terhadap anak, apalagi sampai kekerasan seksual pada anak, tidak akan pernah dibenarkan. Tigor, Luisa, dan Monica telah membuka jalan bagi anak-anak lain untuk berani menyuarakan keadilan di negara ini. Tujuan mereka hanya satu, yakni ingin agar Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi anak-anak sebagai tempat tumbuh kembangnya menjadi generasi penerus negara ini. (DD18)