Pertaruhan antara Emas-Olimpiade Owi/Butet dan ”Iklan Jaket”
Peliputan Olimpiade Rio de Janeiro 2016, yang diibaratkan sebagai ”naik haji”-nya wartawan olahraga, menjadi panggung untuk mempraktikkan semua ilmu jurnalisitik olahraga yang saya punya.

Pasangan ganda campuran bulu tangkis Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir memenangi medali emas di Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil, 17 Agustus 2016.
Medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang direbut pasangan ganda campuran bulu tangkis Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir pada momen Hari Kemerdekaan, 17 Agustus, tak hanya menjadi peristiwa langka bagi atlet Indonesia. Itu juga menjadi momen langka bagi wartawan olahraga dari Indonesia, termasuk saya, yang ditugaskan meliput Olimpiade pada 5-21 Agustus tersebut.
Olimpiade adalah ajang multicabang empat tahun sekali yang digelar pertama kali di Athena 1896. Ini menjadi panggung persaingan terakbar bagi atlet di seluruh dunia. Untuk bisa tampil di Olimpiade, setiap atlet harus mengikuti fase kualifikasi yang biasanya digelar sejak setahun sebelumnya. Tak heran, Olimpiade dinanti atlet dan (tentu saja) peliput olahraga.
Tontowi/Liliyana, yang lebih dikenal dengan sapaan Owi/Butet, menjadi bagian dari 28 atlet Indonesia yang tampil dalam tujuh cabang olahraga di Rio 2016. Atlet bulu tangkis dan angkat besi menjadi yang paling diandalkan untuk menempatkan Indonesia pada klasemen negara peraih medali sejak kedua cabang itu mendapat medali pada Olimpiade Barcelona 1992.
Baca juga: RI Rebut 2 Emas (Arsip Kompas)
Fokus peliputan untuk tim Indonesia dimulai dengan cabang angkat besi yang berlangsung 6-16 Agustus di Riocentro. Ini adalah sebuah gedung besar dengan beberapa ruangan yang juga menjadi tempat pertandingan bulu tangkis, tinju, dan tenis meja.
Begitu perebutan medali emas dimulai sehari setelah upacara pembukaan, saya langsung mendapat momen baik ketika lifter putri, Sri Wahyuni, mendapat perak dari kelas 48 kilogram, pada 6 Agustus.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2F0e7b3d84-8cfd-4980-bf47-e0a71d269ca4_jpg.jpg)
Lifter angkat besi Indonesia, Eko Yuli Irawan (kanan) dan Sri Wahyuni, menunjukkan medali perak yang mereka raih di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 setibanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (14/8/2016).
Dua hari kemudian, medali Indonesia bertambah saat lifter Eko Yuli Irawan meraih perak dari kelas 62 kg putra. Eko sebenarnya berpeluang meraih emas. Akan tetapi, setelah memiliki berat angkatan sama pada jenis snatch, Eko kalah bersaing dengan atlet Kolombia pada jenis angkatan clean and jerk.
Peluang meliput medali emas atlet Indonesia di Olimpiade beralih ke bulu tangkis yang persaingannya berlangsung 11-20 Agustus. Peluang terbesar juara sebenarnya ada pada ganda putra, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan. Namun, mereka justru tersisih pada fase penyisihan grup.
Baca juga: Prestasi Indonesia di Ajang Olimpiade
Harapan saya mendengar lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” saat atlet Indonesia berdiri di podium tertinggi pun (terus terang) berkurang. Indonesia memang masih memiliki Owi/Butet setelah rekan-rekan mereka dari empat nomor lain tersingkir pada penyisihan grup hingga perempat final. Namun, mereka akan menghadapi tantangan terbesar sebelum final karena bisa berhadapan dengan ganda campuran nomor satu dunia asal China, Zhang Nan/Zhao Yunlei, di semifinal.
Owi/Butet akan menemui hambatan psikologis karena tercatat pernah kalah delapan kali beruntun menghadapi Zhang/Zhao sejak final Asian Games Incheon 2014. Apalagi, sepanjang 2015 hingga awal 2016, penampilan Owi/Butet tak konsisten.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F17%2Fa9d6f038-6873-498a-96b4-886b5069cc31_jpg.jpg)
Ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (kiri), bertanding melawan pasangan China, Zhang Nan/Zhao Yunlei, dalam babak final bulu tangkis ganda campuran dalam ajang Asian Games 2014 di Gyeyang Gymnasium, Incheon, Korea Selatan, Senin (29/9/2014). Liliyana/Tontowi gagal mempersembahkan emas untuk Indonesia.
Sebagai penggemar olahraga dan juga orang Indonesia, saya tentu ingin Owi/Butet juara. Apalagi, dia menjadi harapan terakhir Indonesia untuk meraih emas. Namun, sebagai jurnalis, saya juga harus obyektif berdasarkan data. Rekam jejak Owi/Butet menjelang Olimpiade tak begitu bagus.
Meski begitu, statistik kalah beruntun dalam delapan pertemuan terakhir sekadar angka di atas kertas. Sementara, di dunia olahraga, atlet punya mantra yang mungkin terdengar klise tetapi mujarab. ”Siapa yang paling siap dalam semua faktor saat bertanding, dia yang akan menang”.
Owi/Butet menunjukkan kesiapan itu. Mereka memberikan penampilan terbaiknya dengan menyingkirkan Zhang/Zhao 21-16, 21-15 di semifinal pada 15 Agustus malam di Rio atau 16 Agustus pagi di Jakarta. Meretas rekam jejak 1,5 tahun terakhir, pertandingan semifinal itu menjadi penampilan terbaik Owi/Butet.
Namun, sebagai jurnalis, saya juga harus obyektif berdasarkan data. Rekam jejak Owi/Butet menjelang Olimpiade tak begitu bagus.
Seusai kekalahan itu, Zhang/Zhao bahkan tak mau diwawancarai wartawan yang telah menunggu di mixed zone (area pertemuan atlet dan media sesaat setelah atlet bertanding), termasuk oleh wartawan dari negara mereka. Keduanya berjalan terpisah melewati mixed zone dengan raut wajah yang memperlihatkan kekecewaan dan marah.
Sementara Owi/Butet, pelatih, dan tim ofisial Indonesia menyimpan sukacita karena masih ada final melawan Chan Peng Soon/Goh Liu Ying (Malaysia), keesokan harinya. Perjuangan belum berakhir.
Hidup di dua zona
Saya berada di Rio de Janeiro sejak 2 Agustus. Tiga hari sebelum pembukaan Olimpiade digunakan untuk beradaptasi terhadap perbedaan waktu dan menghitung waktu perjalanan dari tempat menginap ke media center serta ke venue (tempat pertandingan/perlombaan). Pusat transportasi untuk peliput berada di halaman luas, bersebelahan dengan media center, yang disulap menjadi terminal bus.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F17%2Fd9589950-6fe6-4e26-95c7-6deedd234b72_jpg.jpg)
Sebuah taman disediakan di perkampungan atlet Olimpiade Rio de Janeiro, 5 Agustus 2016. Di taman yang juga disediakan kios makanan dan toko suvenir ini, para atlet bisa rileks, bertemu atlet lainnya, dan belanja.
Waktu tiga hari itu juga digunakan untuk menyiapkan berbagai tulisan feature dengan bahan yang sudah dikumpulkan di Jakarta. Tahap mengumpulkan bahan tulisan berupa proses latihan, latar belakang atlet, serta berbagai angka yang menjadi indikator rekor atau performa atlet sudah mulai dilakukan sejak Oktober 2015.
Berbagai angle tulisan hasil pertandingan juga mulai saya rangkai seperti yang telah menjadi kebiasaan selama ini, terutama saat kejuaraan memasuki semifinal atau final. Waktu Jakarta yang sepuluh jam lebih cepat dari Rio de Janeiro memang mengharuskan saya menyiapkan bahan tulisan sejak awal.
Baca juga: Mengapa Negara-negara Berlomba Menjadi Tuan Rumah Olimpiade?
Pertandingan/perlombaan pagi hingga malam hari di Rio berlangsung malam hingga pagi hari jika dikonversi dalam waktu Indonesia barat (WIB). Maka, selain harus meliput berdasarkan waktu di Rio, saya harus memperhitungkan tenggat pengiriman tulisan berdasarkan waktu Jakarta. Saya pun harus menyesuaikan diri hidup di dua zona waktu berbeda.
Ini membuat saya harus bekerja sejak dini hari hingga tengah malam setiap harinya selama tiga pekan nonstop. Selain di media center dan tempat pertandingan, saya bisa membuat tulisan di apartemen selama tinggal di Rio atau di dalam bus saat berpindah venue.
Saat otak sudah sulit diajak kerja sama untuk memaknai statistik pertandingan dan merangkai kata pada tengah malam, biasanya saya tidur 2-3 jam. Pekerjaan setiap hari dimulai pada dini hari, sekitar pukul tiga atau empat, untuk melanjutkan menulis hasil liputan malam, sebelum menjalani liputan baru pada pagi harinya.

Warga Brasil menumpahkan kegembiraan di Pantai Copacabana, Rio de Janeiro, Brasil, setelah sidang anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC) memilih Rio sebagai penyelenggara Olimpiade 2016, mengalahkan Chicago (Amerika Serikat), Tokyo (Jepang), dan Madrid (Spanyol). Untuk pertama kalinya, negara Amerika Selatan menjadi tuan rumah Olimpiade.
Selama berada di Rio, saya sebenarnya memiliki tanggal libur, pada 16 Agustus. Sehari sebelum tanggal merah memang menjadi hari libur wartawan media cetak karena koran tak terbit keesokan harinya di hari libur nasional 17 Agustus.
Namun, hari libur ini tak berlaku ketika melakukan peliputan di luar kota atau luar negeri. Pada 16 Agustus mulai pukul 21.05, ada agenda meliput Maria Londa dalam nomor lompat jauh putri di Stadion Olympic. Stadion ini terbilang jauh dari media center dengan jarak tempuh sekitar satu jam menggunakan bus, jika lalu lintas lancar.
Sebelum bergerak meliput Londa, pagi hingga siang hari saya gunakan untuk menyiapkan tulisan pertandingan final yang akan dijalani Owi/Butet. Final akan berlangsung 17 Agustus mulai pukul 11.50 waktu Rio (pukul 21.50 WIB) yang artinya mendekati waktu deadline di Jakarta. Dengan demikian, saya tak punya banyak waktu jika memulai menulis dari nol saat final berlangsung.
Oleh karena itu, saya mempraktikkan jurus-siasat menulis yang diajarkan mantan wartawan olahraga Kompas yang saat ini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Suryopratomo, semasa menjalani pelatihan menjadi wartawan Kompas. Jurus ini selalu saya pakai setiap kali menulis laga yang berdekatan dengan waktu deadline.
Pertandingan bulu tangkis dan tenis, yang menjadi spesialisasi liputan saya, mempertemukan dua pihak sebagai lawan. Kedua cabang ini sama-sama tak dibatasi waktu seperti sepak bola yang memiliki peraturan 2 x 45 menit. Karakteristik inilah yang menjadi tantangan tersendiri dalam menulis karena durasi waktu pertandingannya lebih sulit diperkirakan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F08%2F13%2Fabfbaa5d-c0ce-4ecf-a555-fad065646dcb_jpg.jpg)
Para olimpian yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah Olimpiade Rio 2016 diarak dengan menggunakan bus tingkat terbuka dari Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menuju Kemenpora, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8/2016). Mereka adalah pebulu tangkis ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir, peraih medali emas, serta lifter angkat besi Indonesia peraih medali perak, Eko Yuli Irawan dan Sri Wahyuni.
Oleh karena itu, untuk menggarap tulisan final bulu tangkis ganda campuran, saya menyiapkan tiga versi tulisan berdasarkan tiga asumsi berbeda, seperti diajarkan Mas Tom, panggilan Suryopratomo semasa menjadi wartawan Kompas. Tiga versi tulisan itu dibuat berdasarkan tiga angle dari tiga asumsi skenario, yakni jika Owi/Butet menang, jika Owi/Butet kalah, atau jika pertandingan belum juga selesai saat deadline.
Oleh karena itu, untuk menggarap tulisan final bulu tangkis ganda campuran, saya menyiapkan tiga versi tulisan berdasarkan tiga asumsi berbeda.
Asumsi yang ketiga tetap harus disiapkan karena apa pun bisa terjadi di lapangan meski durasi bulu tangkis lebih singkat dibandingkan tenis. Ketika permainan ketat, pertandingan bulu tangkis bisa berlangsung lebih dari satu jam.
Pernah, misalnya, terjadi laga selama dua jam 41 menit! Itu berlangsung ketika atlet ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari, kalah dari Kurumi Yonao/Naoko Fukuman (Jepang) dalam semifinal Kejuaraan Asia 2016 dengan skor 21-13, 19-21, 22-24.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F24%2F3eb4c5b5-0024-4f92-be31-b8ba2181e4b4_jpg.jpg)
Ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari (kanan), berfoto dengan Eng Hian, pelatihnya, seusai mengalahkan pasangan Jepang, Ayaka Takahashi/Misaki Matsutomo, dalam babak final bulu tangkis ganda putri Asian Games 2014 di Gyeyang Gymnasium, Incheon, Korea Selatan, Sabtu (27/9/14). Indonesia meraih emas pertama melalui kemenangan pasangan Greysia/Nitya.
Meski berdasarkan asumsi, tiga tulisan tentu disiapkan dengan data valid. Dalam versi tulisan Owi/Butet diasumsikan menang, misalnya, data dan latar belakang yang ditulis adalah bangkitnya bulu tangkis Indonesia setelah gagal meraih medali di Olimpiade London 2012. Owi/Butet pun termasuk yang gagal naik podium di London kala itu.
Jika Owi/Butet menang, itu juga menjadi catatan tersendiri bagi sektor ganda campuran Indonesia yang akhirnya bisa meraih emas Olimpiade. Sejak bulu tangkis dipertandingkan di Barcelona 1992, baru nomor tunggal putra, tunggal putri, dan ganda putra yang bisa meraih emas. Hal lain yang membuat spesial, emas didapat Owi/Butet pada momen Hari Kemerdekaan Indonesia.
Sebaliknya, dalam versi tulisan Owi/Butet diasumsikan kalah final, kekalahan berarti menjadi kegagalan Indonesia meraih medali emas dalam dua Olimpiade beruntun. Selain menjadi kegagalan bulu tangkis, di tulisan versi ini saya juga mengulas bahwa kekalahan tersebut menjadi pekerjaan rumah olahraga Indonesia yang hanya bisa mengandalkan bulu tangkis dalam persaingan level dunia.
Adapun untuk mengantisipasi ”laga tak selesai” (saya suka menyebut pertandingan yang masih berlangsung melewati deadline dengan istilah itu) angle yang disiapkan adalah evaluasi hasil pebulu tangkis Indonesia lainnya. Ada pula hasil perempat final tunggal putra yang berlangsung sebelum final ganda campuran.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F17%2Fc27c4d2a-e8d8-4daa-916f-dc5b35dd03a9_jpg.jpg)
Atlet balap sepeda BMX Indonesia, Toni Syarifudin, berlatih di Sirkuit BMX Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (28/6/2016). Toni Syarifudin, satu-satunya pebalap sepeda BMX yang mewakili Indonesia ke Olimpiade Rio de Janeiro 2016, terus berlatih.
Semua referensi pengetahuan saya tentang mereka didapat dan ditabung sejak pertama kali meliput cabang bulu tangkis pada 2005. Seperti diingatkan para wartawan senior olahraga Kompas, meliput olahraga tak hanya meliput pertandingan. Menggali latar belakang personal, mengikuti dan memahami program latihan, dan mengenal orang-orang di sekitar atlet sangat bisa menjadi bahan tulisan olahraga.
Baca juga: Merdeka Sesaat Usai Laga Olimpiade
Menulis olahraga tak hanya membahas hasil pertandingan dan performa atlet. Penulis bisa kreatif mencari sisi lain, termasuk dari sisi yang humanis. Apalagi, pada 2016, tulisan saya hanya muncul pada media cetak yang memiliki deadline lebih lama dibandingkan media daring. Perspektif tulisan pun harus diupayakan berbeda dengan produk media yang memprioritaskan kecepatan tayang.
Menulis olahraga tak hanya membahas hasil pertandingan dan performa atlet.
Setelah semua data dan latar belakang dalam tiga versi asumsi skenario itu ditulis, saya tinggal memasukkan momen yang terjadi saat final, berupa sekelumit jalannya pertandingan, atmosfer di stadion, dan petikan wawancara di mixed zone.
Waktu yang saya miliki untuk menyelesaikan tulisan dan mengirimnya (dengan angle yang masih belum diketahui sebelum pertandingan usai) sama seperti durasi pertandingan Owi/Butet melawan Chan/Goh nantinya. Begitu pertandingan selesai, saat itu pula saya harus mengirimkan tulisan ke redaksi. Semua harus dilakukan dengan cepat karena jurnalis olahraga memiliki prinsip kerja seperti yang disebutkan dalam buku Associated Press Sports Writing Handbook, yaitu: ”The sports writer challenge is to describe events with elegance and passion, to make readers share their laughter or tears, to entertain and to inform, to break the news that no one else knows or describe the game that everyone has seen, to impart a feeling for what it was like to be there in the stands or on the field or in the locker room, to give the event meaning and put it in perspective. And… the deadline is in 15 minutes!” (”Tantangan penulis olahraga adalah menggambarkan peristiwa dengan anggun dan penuh hasrat, untuk membuat pembaca berbagi tawa atau air mata mereka, untuk menghibur dan memberi informasi, untuk menyampaikan berita yang tidak diketahui orang lain atau menggambarkan permainan yang telah dilihat semua orang, untuk menyampaikan perasaan ketika berada di tribune atau di lapangan atau di ruang ganti, untuk memberi makna pada kompetisi dan menempatkannya dalam perspektif. Dan… batas waktunya adalah 15 menit!”).
Oleh karena itu, seperti yang tadi saya sebut bahwa sebagai orang Indonesia tentulah saya menginginkan Owi/Butet menang. Namun, sebagai wartawan, pada akhirnya yang juga saya amat inginkan adalah tulisan yang sudah disiapkan sebaik-baiknya sukses terkirim ke redaksi saat deadline, apa pun hasil pertandingannya.
Menangis di ”media center”
Pada hari-H, saya tiba di venue bulu tangkis sebelum pertandingan. Persaingan hari itu dimulai dengan empat pertandingan perempat final tunggal putra.
Wartawan Indonesia peliput Olimpiade sebenarnya diundang mengikuti upacara 17 Agustus di rumah yang dijadikan posko tim Indonesia di Rio de Janeiro. Namun, saya melewatkan undangan itu karena masih harus memoles tulisan yang dikerjakan sejak sehari sebelumnya.
Tulisan pelengkap dari pengamatan di lapangan dibuat sambil bolak-balik menenteng laptop dari ruang kerja media ke tribune media. Sebenarnya, setiap liputan pertandingan, saya lebih suka menonton di tribune dibandingkan melalui TV yang disediakan di ruang kerja media. Dengan berada di tribune, saya bisa meresapi semua atmosfer, melihat raut wajah tegang, senang, sedih, atau panik dari atlet dan pelatih yang tak bisa dilihat dan dirasakan dengan menonton TV. Namun, karena panitia tak menyediakan meja kerja dan colokan listrik di tribune media, saya harus kembali ke ruang kerja saat baterai laptop kurang dari 10 persen.
Menulis momen final Owi/Butet, meski hanya satu pertandingan, membutuhkan kerja lebih keras dari biasanya. Meski demikian, itu bagaikan memicu adrenalin dan saya mengerjakannya dengan antusias. Apalagi, seperti juga atlet yang bisa tampil di Olimpiade, tak banyak wartawan yang memiliki kesempatan meliput ajang itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F17%2F259ff8a3-5e83-4ae2-a14d-4bfaeefb86d9_jpg.jpg)
Sertifikat untuk peliput Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dari Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Jumlah wartawan peliput dari setiap negara ditentukan Komite Olimpiade Internasional (IOC). Media peliput kemudian ditentukan oleh Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan peliput dipilih oleh kantor masing-masing. Proses akreditasi pendaftaran ini biasanya berlangsung setahun sebelum Olimpiade.
Di sisi lain, ada faktor lebih personal yang membuat antusiasme saya sangat tinggi. Sedari usia SD, saya memang hobi menonton acara olahraga. Menjadi wartawan olahraga, termasuk meliput Olimpiade, telah menjadi mimpi yang saya simpan sejak SMA. Oleh karena itu, ketika kesempatan itu akhirnya datang, saya tentu tak menyia-nyiakannya.
Antusiasme meliput ajang empat tahunan ini menutup kekhawatiran saya pada dua hal yang bisa mengganggu penyelenggaraan Olimpiade, yaitu ancaman kelompok radikal, menyusul laporan adanya ancaman kepada tim Olimpiade dari Perancis di Brasil. Faktor lainnya adalah wabah virus zika yang disebarkan nyamuk hingga panitia penyelenggara membagikan semprotan antinyamuk pada setiap wartawan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F17%2Ff2444531-c233-419b-bb4b-78f5bf213a93_jpg.jpg)
Pebulu tangkis Indonesia, Liliyana Natsir (kanan bawah), Debby Susanto (kanan tengah), dan Tontowi Ahmad, berlatih untuk persiapan menghadapi Olimpiade Rio de Janeiro 2016 di pemusatan latihan nasional PBSI di Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (30/06/2016).
Saat masih sibuk merapikan tiga versi tulisan tadi di ruang kerja media, sambil bolak-balik memantau pertandingan di tribune, pesan dari salah satu editor olahraga muncul di ponsel. Antusiasme saya langsung pudar setelah membaca pesan itu.
Editor menyampaikan, redaksi tidak akan menunggu pertandingan Owi/Butet. Itu artinya, Kompas tak akan memuat hasil final tersebut pada edisi 18 Agustus!
Yang lebih membuat saya kecewa dan marah adalah ketika membaca alasan keputusan tersebut. Tenggat (deadline) untuk halaman pertama, yang diproyeksikan menjadi tempat tulisan saya, dimajukan menjadi sekitar pukul 22.00 WIB, dari biasanya sekitar pukul 23.00, karena akan ada iklan empat halaman yang menyelubungi Kompas. Di redaksi, kami biasa menyebutnya sebagai ”iklan jaket”. Sementara, final pertandingan Owi/Butet di Rio baru dimulai pukul 21.50 WIB.
Baca juga: Belajar dari Rio 2016
Keputusan memajukan deadline menjadi pukul 22.00 WIB tentu saja menutup total kesempatan bagi terbitnya peristiwa hasil final Owi/Butet di Kompas. Padahal, Kompas memiliki percetakan sendiri sehingga bisa cukup punya privilese dalam menentukan tenggat bagi koran untuk naik cetak. Dengan begitu, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi larut malam pun beritanya tak jarang masih bisa termuat untuk ikut terbit di edisi keesokan harinya.
Emosi saya meledak menjadi tangis. Saya menutup laptop dengan pekerjaan yang belum selesai. Saya berusaha menyembunyikan tangis dari teman-teman wartawan Indonesia, dengan menelungkupkan wajah di atas laptop, karena malu. Saya malu karena Kompas akan tertinggal dari media lain dalam memberitakan hasil final Owi/Butet, termasuk dari media yang tak mengirimkan peliput di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 ini.
Saya malu karena Kompas akan tertinggal dari media lain dalam memberitakan hasil final Owi/Butet.
Merasa sia-sia dengan semua persiapan untuk menulis momen puncak bagi Indonesia, saya meninggalkan ruang kerja dan semua peralatan liputan. Saya kembali ke tribune hanya untuk menjadi penonton, sambil berusaha menenangkan diri.
Dalam kekalutan itu, telepon berkali-kali dari salah satu editor pun saya abaikan. Termasuk ketika pada akhirnya ada pesan yang menyatakan bahwa tulisan saya akan ditunggu dan dimuat pada edisi 18 Agustus. Perubahan keputusan itu terjadi ketika pertandingan Owi/Butet masih berlangsung.
Dengan emosi yang belum reda, saya sempat berpikir membiarkan para penanggung jawab keputusan sebelumnya untuk menulis sendiri saja berita tentang peristiwa final tersebut. Saya pun tak membalas pesan dari editor.
Namun, di sisi lain, saya tak ingin melewatkan momen yang mungkin tak akan dialami lagi: menulis atlet Indonesia meraih medali emas Olimpiade dari hasil liputan langsung dan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia. Saya berusaha meredam kejengkelan meski jujur saja tak bisa benar-benar hilang. Saya akhirnya melanjutkan menulis dengan pikiran yang sudah berantakan demi peristiwa penting itu sendiri.
Dan... kerja keras sepenuh hati sejak mengumpulkan semua data sepuluh bulan sebelum Olimipiade akhirnya terbayar saat Owi/Butet meraih emas. Mereka mengalahkan Chan/Goh dengan skor 21-14, 21-13.
Sejak match point, saya dan teman-teman wartawan Indonesia sempat merekam momen di lapangan menggunakan ponsel dari tribune. Kami, yang berakreditasi reporter (bukan fotografer atau wartawan foto), dilarang memotret/merekam menggunakan kamera. Jika peraturan itu dilanggar, akreditasi peliputan akan langsung dicabut.
Pada momen upacara penghormatan pemenang, saya sudah berada di mixed zone agar bisa mewawancarai Owi/Butet dengan cepat, sebelum menunggu lebih lama lagi untuk acara konferensi pers.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F17%2F574ed34f-f98b-4a50-b110-1ae515806155_jpg.jpg)
Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dalam acara konferensi pers setelah meraih medali emas bulu tangkis ganda campuran Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Versi tulisan pertama yang sudah saya siapkan, yakni kemenangan Owi/Butet, akhirnya saya kirimkan ke redaksi. Peristiwa kemenangan itu menjadi tulisan berjudul ”Emas Kado Kemerdekaan” yang dimuat sebagai headline (berita utama) halaman pertama pada edisi yang terbit 18 Agustus 2016.
Selain itu, pada edisi 19 Agustus 2016 terbit juga tulisan mengenai Owi/Butet di rubrik Sosok, yang memang menjadi bagian dari agenda tulisan yang disiapkan sejak dari Jakarta. Ini sebagai penghargaan bagi setiap atlet Indonesia yang mendapat medali untuk ”Merah Putih”.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F17%2Fb7cd874c-123a-4c26-8b44-fc3afb205470_jpeg.jpeg)
Foto tangkapan layar halaman muka harian Kompas pada 18 Agustus 2016 yang menampilkan berita utama laporan wartawan Kompas, Yulia Sapthiani, tentang kemenangan pasangan ganda campuran bulu tangkis Owi dan Butet dalam meraih medali emas di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro di Brasil.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan terkait Owi/Butet, hati saya terasa plong meski liputan belum selesai. Saya masih menyempatkan meliput pertandingan-pertandingan lainnya, baik atlet Indonesia, yakni pesepeda BMX, Toni Syarifudin, maupun atlet dari negara-negara lain. Liputan tersebut lebih dari sekadar tugas atau pekerjaan bagi saya, tetapi juga kesenangan tersendiri.
Peliputan Olimpiade Rio de Janeiro 2016, yang diibaratkan sebagai ”naik haji”-nya wartawan olahraga, menjadi panggung untuk mempraktikkan semua ilmu jurnalistik olahraga yang saya punya. Melalui sebuah momen pada liputan ini juga, ada tambahan pengalaman yang tak pernah diajarkan saat menjadi calon wartawan dulu.

Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir, pebulu tangkis ganda campuran yang memenangi medali emas di Olimpiade Rio de Janeiro pada 17 Agustus 2016 di Stadium Riocentro, Brasil.
Peristiwa pertandingan final Owi/Butet membuka kesadaran saya bahwa dimuat atau tidaknya hasil tulisan bisa saja dipengaruhi isu iklan. Namun, sebenarnya hal itu kembali pada pilihan agendasetting tim redaksi dalam memaknai sebuah peristiwa.
Baca juga: Kisah Sukses Negara Maju di Olimpiade