Terseret Kenangan Masa Lalu di Pabrik Permen Davos
Ada kalanya, liputan menjadi jalan bernostalgia, seperti saat berkunjung ke pabrik permen Davos. Permen rasa pepermin itu kesukaan nenek saya. Ingatan tentang nenek dan kisahnya semasa perang kemerdekaan pun bermunculan.
Seperti halnya perjalanan, liputan juga kerap menjadi sarana menemukan makna kehidupan, termasuk menemukan memori masa lalu dan kenangan akan orang-orang terdekat.
Pada 2010, saya bertugas meliput untuk wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dan sekitarnya. Saat itu, dalam sebuah liputan, secara tak terduga saya berkesempatan mengunjungi pabrik permen Davos di Kabupaten Purbalingga.
Ya, Davos! Permen favorit nenek saya, Saodah. Dalam perjalanan ke pabrik itu, ingatan saya langsung berkelana ke masa lalu, saat nenek berkunjung ke rumah. Ada saja yang dibawanya sebagai oleh-oleh, mulai dari makanan, mainan, hingga permen Davos, yang selalu terselip di kantong dalam tasnya.
Perjalanan ke pabrik Davos sungguh di luar perkiraan. Karena saat itu sebenarnya saya sedang mengikuti sekelompok wisatawan asal Belanda yang berwisata ke sejumlah tempat di Banyumas.
Destinasi utama mereka adalah Baturraden, Banyumas, tempat untuk relaksasi menikmati air panas alami di kaki gunung Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah.
Pemandu wisata yang kebetulan saya kenal baik, kemudian memberitahu bahwa tujuan wisata selanjutnya adalah pabrik permen Davos di Purbalingga. Spontan saya bertanya, ”Pabrik Davos ada di Purbalingga?”
”Iya, pabriknya di Purbalingga,” ucap pemandu wisatawan itu meyakinkan.
Saya betul-betul tidak tahu kalau permen rasa pepermin favorit nenek saya itu pabriknya ada di Purbalingga. Bahkan, lokasinya di pusat kota, tak jauh dari Alun-alun Purbalingga.
Saat menginjakkan kaki di pabrik permen itu, seketika ingatan melayang pada nenek, sosok yang sangat galak dan berkesan. Entahlah, mengapa saya selalu dimarahi nenek saya itu.
Ada saja perilaku saya yang menjadi bahan omelannya. Saking galaknya, saya pun sempat komplain pada ibu, kenapa dia hanya diam saat saya dimarahi nenek.
”Ya memang (nenek) galak,” ucap ibu saya singkat.
Namun, entah mengapa, meski sebal dengan kegalakannya, saya juga kagum terhadap sosok nenek. Di usia senja, dia masih mampu melakukan perjalanan seorang diri dengan menumpang bus kota dari rumahnya di kawasan Jelambar, Jakarta Barat, menuju rumah kami di kawasan Jakarta Timur.
Hal itu berlangsung hingga 1997, tahun terakhir masa hidupnya. Nenek masih juga menggunakan bus meski di masa itu belum ada bus kota yang nyaman, apalagi untuk penumpang lansia seperti dirinya. Ada saja copet atau penodong yang berkeliaran di dalam bus kota, mengintai dompet atau barang berharga milik penumpang.
Di usianya yang senja, ia juga masih ngotot memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Nenek sanggup melayani pesanan membuat risoles hingga 100 potong, dan jajanan pasar lainnya.
Saat sedang menginap di rumahnya, ada kalanya saya ikut membantu membuat risol, yakni membungkus tumisan sayur dan daging isian dengan kulit risol yang terbuat dari campuran tepung dan telur.
Namun, biasanya, saya hanya mampu membuat risol beberapa potong saja. Bukan karena tenaga saya tak sanggup, melainkan karena hasil buatan saya yang sangat jelek, tidak pantas untuk dijual, hingga akhirnya nenek meminta saya untuk nonton televisi saja dan berhenti membantunya.
Semangatnya membiayai hidupnya sendiri sama menggebunya saat bercerita tentang pengalamannya ikut bergerilya di kampung halamannya di Medan, Sumatera Utara, pada masa perjuangan kemerdekaan dulu. Nenek saya lahir di penghujung tahun 1931, dan semasa remaja ia ikut bergerilya bersama suaminya untuk merebut kemerdekaan RI.
Beberapa kali ia menceritakan pengalamannya bahwa selama gerilya bekal mereka hanya kaleng dan garam. Kaleng digunakan sebagai wadah untuk memasak bahan makanan yang ditemukan di hutan, dan garam digunakan untuk memberikan cita rasa pada masakan. Jika yang ditemukan nangka muda, maka nangka itu yang dimasak pakai air dan garam dengan menggunakan kaleng sebagai wadah memasak.
”Mana enak makanannya begitu doang?” tanya saya.
”Namanya zaman perjuangan, ikut perang mana ada yang enak,” ucap nenek saya.
”Namanya zaman perjuangan, ikut perang mana ada yang enak,” ucap nenek saya.
Suatu kali, ibu saya pernah bercerita, orang yang ingin hidup enak di masa perjuangan biasanya memilih menjadi tentara Belanda. Ibu mengutip cerita dari orangtuanya. Katanya, kala itu ada yang namanya tentara bayaran Belanda yang disebut tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger). Abang dari nenek saya ikut bergabung dengan KNIL.
”Sebagai tentara bayaran (Belanda), hidupnya sejahtera. Istrinya dikasih baju bagus, selalu dapat jatah roti dan mentega. Embah (nenek) nggak seperti itu. Kan, mereka (nenek dan kakek saya) bergabung membantu TNI, yah gerilya, hidup seadanya,” ucapnya.
Hingga akhir masa hayatnya, nenek masih menggantungkan foto Presiden pertama RI Soekarno di dinding kamarnya. ”Kamu tahu tidak, dulu kami dengerin pidato Soekarno dari radio. Semua orang mendengarkan. Ditunggu-tunggu,” ucap nenek saya dengan antusias.
Kenangan akan nenek terus memenuhi pikiran saya ketika meliput pabrik permen Davos. Permen manis rasa pepermin yang nikmat diisap ataupun dicampur dengan air hangat.
Saya ingat betul, pengelola pabrik permen itu, Budi Handoyo Hardi, yang kala itu berusia 64 tahun, menuturkan, permen Davos diandalkan para petani sebagai obat meredakan flu ataupun demam. Biasanya oleh petani permen itu dicemplungkan ke dalam teh tawar panas. Setelah permen larut, barulah air tehnya diseruput.
Atas dasar itu pula, Budi tetap bertahan memproduksi permen Davos karena permen itu kerap digunakan sebagai obat flu, sakit perut, dan kembung di kalangan petani.
Permen yang diproduksi pertama kali oleh Siem Kie Djan, peranakan Tionghoa-Purbalingga, pada tahun 1931 itu bentuk dan kemasannya juga tak pernah berubah. Permennya tetap berbentuk tablet besar yang per bungkusnya berisi 10 tablet. Warna bungkusnya pun tetap sama, biru tua.
Saking lekatnya dengan kehidupan zaman kakek nenek dahulu, saya selalu dengan mudah menemukan permen itu di dalam tes nenek. Tahun produksi pertama permen ini sama dengan tahun kelahiran nenek saya, 1931. Mungkin sebuah kebetulan, tetapi yang pasti menyisakan kenangan manis semriwing tak terlupakan, seperti rasa permennya.