Mengejar Halaman Depan untuk Yadnya Kasada
Pernah suatu kali saya lupa membawa senter. Akibatnya, saya tersesat saat kabut tebal turun sehingga tidak bisa menemukan jalan menuju ke kawah.
Setiap tahun, memasuki akhir bulan Mei, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Kecamatan Sukapura, Probolinggo, biasanya bersuhu sangat dingin untuk ukuran daerah Tropis. Seorang rekan wartawan bilang, suhu udara bisa mencapai 5 derajat celcius.
Hal tersebut yang kemudian menciptakan fenomena embun upas. Embun yang tercipta berubah menjadi lapisan es lalu akan mencair saat matahari meninggi.
Fenomena tersebut rasanya akan menarik sebagai bahan berita sehingga saya berencana ke sana. Akan tetapi kemudian saya teringat bahwa pada 4-5 Juni 2023 akan ada Yadnya Kasada, yakni ritual penghormatan warga Tengger kepada leluhur dengan mengirimkan sesaji ke kawah Bromo.
Karenanya saya menunda rencana keberangkatan pada akhir Mei. Sebagai gantinya, liputan embun upas akan saya eksekusi bersamaan dengan liputan Yadnya Kasada. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Walaupun sudah berkali-kali liputan ke Bromo, khususnya pada perayaan Yadnya Kasada, saya berusaha mempersiapkan dengan teliti perlengkapan pribadi, selain tentu saja kebutuhan peralatan alat kerja.
Saya yang tak tahan udara dingin, tak ingin meremehkan kondisi di Bromo. Jaket, kaus kaki, penutup kepala, sarung tangan, dan senter, tidak boleh ketinggalan agar liputan bisa berjalan nyaman.
Pernah suatu kali, saya lupa membawa senter. Akibatnya, saya tersesat saat kabut tebal turun dan tidak bisa menemukan jalan menuju ke kawah. Beruntung saya bertemu seorang pedagang yang membantu menunjukkan arah. Lain waktu, saat hendak meliput erupsi Gunung Bromo, saya lupa membawa kaus kaki. Sepanjang malam, saya pun tersiksa oleh udara dingin yang mencengkeram melalui kaki yang telanjang.
Akhirnya saat yang dinanti pun tiba, setelah meliput bersih pantai di Kenjeran, Surabaya, keesokan paginya saya langsung melaju ke Gunung Bromo dengan sepeda motor bebek pada Minggu (4/6/2023). Saya senang bersepeda motor saat liputan karena pergerakan menjadi lebih mudah walaupun energi lebih terkuras. Sayangnya, pada liputan kali ini banyak rekan wartawan berhalangan hadir sehingga perjalanan jadi terasa sedikit membosankan karena tak ada teman bareng ke sana.
Setelah hampir tiga jam bersepeda motor, saya tiba di Kantor Kecamatan Sukapura untuk mengurus kartu identitas (ID) Liputan. Kartu ini penting agar saya mendapat akses ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang menjadi tempat pelaksanaan Yadnya Kasada. Maklum pihak taman nasional menutup kawasan ini untuk aktivitas pariwisata selama tiga hari demi kelancaran Yadnya Kasada.
Bagi saya pribadi, liputan ke Bromo tidak pernah membosankan, khususnya saat Yadnya Kasada. Walaupun merupakan liputan rutin, saya hampir selalu menemukan hal baru di sana. Dan, yang membuat saya bersemangat, foto tentang Yadnya Kasada selalu diganjar halaman depan di koran Kompas.
Namun, kali ini posisi halaman depan untuk Yadnya Kasada terancam gagal. Pada hari yang sama berlangsung perayaan Waisak di Candi Borobudur, Magelang.
Dari segi gambar, tentu akan lebih menarik acara Waisak. Sebab, dalam perayaan tersebut akan diterbangkan ribuan lampion pada malam hari yang secara visual akan terlihat cantik sekali. Jadi rasanya foto itu yang akan mengisi halaman depan koran Kompas keesokan harinya.
Oleh karena itu, saya putuskan untuk mengubah strategi. Peliputan Yadnya kasada tidak saya lakukan pada hari pertama, melainkan pada hari keduanya, yakni pada Senin 5 Juni, sehingga terhindar dari ”pertempuran” langsung dengan foto Waisak untuk menghuni halaman depan.
Tetapi, saya sudah kadung tiba di lokasi perayaan Yadnya Kasada di desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura. Mau tidak mau harus putar otak untuk mencari tema lain.
Saya lalu turun ke lautan pasir untuk mendokumentasikan apa yang dilakukan warga Tengger di tengah kondisi udara dingin selama pelaksanaan Yadnya Kasada. Naik sepeda motor bebek di atas medan berpasir tentu bukan urusan mudah. Saya berusaha mencari jalur bekas dilewati jip karena biasanya sudah memadat meskipun masih tetap licin.
Setelah bersusah payah menaklukkan medan pasir berdebu, saya pun tiba di kawasan Pura Luhur Poten. Pura ini adalah titik awal warga Tengger melakukan tahapan ritual selanjutnya, yakni berjalan kaki menuju kawah untuk melempar hasil panen dan mengorbankan hewan ternak, sebagai penghormatan kepada Sang Hyang Widi dan leluhur.
Dari sini terlihat hamparan luas lautan pasir. Di salah satu titik, pandangan saya terantuk pada sebuah tenda sederhana. Rupanya ada sebuah keluarga yang berdiam di dalamnya. Di depan tenda, mereka berkumpul mengelilingi api unggun untuk menghangatkan diri.
”Ayo, Mas. Mari,” ajak Sri Utami sambil meluangkan tempat agar saya bisa ikut menghangatkan diri di dekat api.
Keluarga Sri Utami memutuskan bermalam di lautan pasir agar lebih mudah untuk menyambut puncak Yadnya Kasada pada dini harinya.
Lalu Sri meminta seorang anaknya menyediakan minuman pokak dan menyajikan beberapa kue buatannya kepada saya. ”Ini minuman buatan saya. Ayo diminum biar hangat badannya,” ujar Sri sambil mengasongkan termos dan gelas.
Terhadap tawaran yang semacam ini, biasanya saya hindari menolaknya. Ini agar calon narasumber saya tidak tersinggung serta untuk mencairkan suasana dan menghilangkan rasa canggung.
Sikap tulus yang ditunjukkan Sri Utami adalah karakter warga Tengger yang selalu saya rindukan dan membuat saya ingin selalu kembali lagi. Mereka sangat terbuka terhadap orang asing.
Sore itu, di tengah udara yang sudah terasa dingin, akhirnya saya berbincang-bincang dengan keluarga Sri Utami, ditemani berkas sinar matahari yang menembus awan.
Semakin sore semakin banyak warga Tengger yang datang untuk bermalam. Karena cuaca semakin dingin, saya putuskan untuk pamit dan kembali ke penginapan untuk menabung tenaga demi liputan esok subuh.
Beruntung saya tidak sendiri di penginapan. Seorang rekan wartawan dari kantor berita asing turut bergabung. Malam itu kami membicarakan strategi liputan. Puncak Yadnya Kasada akan ditandai dengan melempar ongkek yang berisi hasil panen ke kawah setelah didoakan di Pura Luhur Poten.
Agar bisa lebih dahulu tiba di tangga menuju kawah diperlukan strategi. Jika membarengi warga yang membawa ongkek dari Pura, tentu tidak akan terkejar. Fisik mereka lebih kuat karena telah beradaptasi dengan medan berbukit.
Saya putuskan untuk bertolak dari Pura menuju kawah, satu jam mendahului perkiraan waktu pemberangkatan ongkek. Dengan demikian, saya bisa mengatur kecepatan mendaki dan punya waktu cukup untuk melepas lelah sambil menunggu ongkek tiba.
Jelang matahari terbit, rombongan ongkek dan gelombang awal rombongan warga Tengger yang akan melempar hasil panen, tiba di kaki tangga. Melihat itu, saya melanjutkan perjalanan ke puncak dan kemudian menuju kawah.
Aktivitas mendaki puluhan anak tangga membuat saya berkeringat yang pada gilirannya menjadikan badan tambah kedinginan. Padahal, saya sudah menggunakan baju rangkap dua dan satu jaket.
Di puncak, ramai warga Tengger melempar sesaji dan warga yang memperebutkannya. Beruntung kali ini tidak banyak fotografer yang meliput sehingga saya punya banyak ruang untuk memotret. Maklum dari tahun ke tahun bibir kawah semakin menyempit sehingga tak jarang harus bergantian saat melewatinya.
Langit biru, asap solfatara dengan bau belerang yang menyengat, dan debu yang beterbangan, menemani suasana liputan hari itu. Walaupun saya telah beberapa kali meliput acara tersebut, tetap saja rasanya energi begitu terkuras. Setelah merasa bahan liputan cukup, saya pun kembali ke penginapan untuk mengirim gambar.
Semakin siang kawasan Bromo justru semakin dingin, tetapi sayang dinginnya belum sampai menciptakan fenomena embun upas. Meskipun gagal memotret embun upas, dari acara tersebut saya berhasil membawa pulang dua berita, yakni aktivitas warga Tengger menyambut Yadnya Kasada dan puncak Yadnya Kasada.
Setelah urusan kirim berita selesai, saya kembali ke Surabaya. Namun, bayangan tentang keindahan alam dan keramahan warga Tengger masih terus terbayang, seolah memaksa saya berjanji untuk kembali ke sana suatu hari nanti.
Sesuai harapan, terpasang foto Yadnya kasada di halaman depan koran Kompas edisi Selasa (6/6/2023). Halaman terbaik yang dikejar oleh semua wartawan Kompas. Hasil tersebut cukup membuat saya puas mengingat liputannya yang harus saya bayar dengan dua hari kedinginan dan kelelahan.