Jokowi Menjeda Bocelli, Menteri Budi Menanti
Setelah berita Frans terbit, asisten politisi itu menanyakan nomor rekening banknya. Pertanyaan itu membuat Frans, wartawan Kompas yang asli NTT ini, marah. Pertanyaan itu sama saja dengan percobaan suap.
Kehilangan pesawat nirawak. Ditawari suap oleh politisi. Berbincang dengan Presiden RI sambil tanpa sadar masih mengenakan penyuara telinga. Bergosip dengan pejabat hingga menteri. Bangun lebih pagi dari sapi. Begitu dekat dengan rumah komodo, tanpa mendatangi koloni hewan-hewan itu.
Semua itu terjadi di sela meliput rangkaian puncak Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 ASEAN di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada 6-13 Mei 2023.
Seperti semua konferensi, KTT ke-42 ASEAN menghadirkan tantangan bagi peliputnya. Harian Kompas mengutus enam orang untuk meliput KTT itu. Seorang pewarta foto, seorang juru video, dan empat wartawan.
Di luar waktu konferensi, amat mudah untuk menemukan penginapan bagi enam orang selama sepekan di Labuan Bajo. Tidak begitu selama masa KTT. Seluruh hotel hingga rumah warga yang sehari-hari jadi penginapan, penuh. Bahkan, sebagian hotel membatalkan pesanan yang sudah dibuat jauh-jauh hari demi tamu KTT.
Setidaknya 17.000 orang mendatangi Labuan Bajo dan sekitarnya, selama masa KTT ke-42 ASEAN. Padahal, seluruh kamar penginapan di sana tidak sampai 5.000 kamar. Selain di darat, berupa hotel dan rumah warga, penginapan di Labuan Bajo juga tersedia di kapal-kapal wisata.
Setelah berkomunikasi selama berminggu-minggu, tim harian Kompas akhirnya menemukan rumah sewaan di Desa Gorontalo, Kecamatan Labuan Bajo. Karena sedang sangat ramai, biaya sewa per ranjang per hari setara dengan biaya sewa kamar hotel bintang tiga di kawasan Blok M, Jakarta.
Karena banyak pertanyaan soal penginapan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN mengirimkan KM Sinabung untuk menjadi penginapan terapung. Harian Kompas mendapat jatah satu kamar berkapasitas dua orang. Namun, karena kami terdiri dari enam orang, jelas kamar itu tidak mungkin dipakai.
Di kapal itu pula, Fransiskus Pati Herin sempat dicari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Akan tetapi Frans, sapaan wartawan Kompas yang asli NTT itu, sedang berada di lokasi lain, saat Budi menelepon Frans melalui ponsel ajudan menteri.
Budi meminta Frans segera ke KM Sinabung karena ingin menjelaskan perihal kapal itu. "Baru kali ini beta mengalami, menteri tunggu wartawan. Biasanya, wartawan tunggu menteri," kelakar wartawan yang lama bertugas di Ambon itu.
Saat Frans bersama Cyprianus Anto Saptowalyono tiba, wawancara tidak segera dilakukan. Budi harus menunggu mereka istirahat sebentar. Sebab, Frans dan Anto masih ngos-ngosan setelah berjalan 1 kilometer di bawah terik matahari. Anto adalah wartawan Kompas yang juga ditugasi meliput KTT.
Tiba pertama
Bukan cuma soal tempat menginap, pendaftaran liputan pun cukup berliku mengurusnya. Kami harus konfirmasi bolak-balik ke Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Komunikasi dan Informatika karena bukti pendaftaran tidak kunjung diterbitkan.
Tanpa bukti sudah terdaftar, kami tidak bisa masuk area KTT yang tersebar di sekitar Labuan Bajo. Pengurusan bukti pendaftaran dilakukan bersamaan dengan pencarian rumah dan mobil sewaan, hingga pemesanan tiket.
Tim harian Kompas sudah tiba di Labuan Bajo pada Jumat (5/5/2023) sore. Sedangkan jurnalis dari media lain baru mulai berdatangan pada Minggu (7/5) sore. Saat kami tiba, ruang pusat layanan media belum selesai disiapkan. Internet masih diuji coba, meja dan kursi masih ditata, bahkan sebagian dinding masih dirapikan pelapisnya.
Saya harus bolak-balik bertanya kepada tim teknis sejumlah kementerian soal koneksi internet. Saya mengonfirmasi soal kecepatan unggah dan waktu jeda sambungan. Apalagi, ada perbedaan kecepatan internet yang mencolok antara klaim dan realitaa. Saat dipakai untuk mengunggah ke peladen dengan FTP, kecepatan tertingginya hanya 20 mbps.
Baca juga: Emosi, Kecopetan, dan Kado Hati dari SEA Games di Kamboja
Sementara panitia mengklaim kecepatan bisa menembus 600 mbps. Bersama sejumlah perwakilan tim teknis, akhirnya dilakukan uji coba kecepatan internet. Hasilnya, kecepatan tertinggi tidak sesuai dengan klaim tim teknis dan waktu jeda sambungan konsisten di atas 30 milidetik.
Para jurnalis dari televisi akhirnya tidak memakai koneksi internet yang disediakan panitia. Mereka memakai perangkat dan sambungan sendiri untuk mengirim gambar dan menyampaikan laporan siaran langsung. Sampai KTT berakhir dan seluruh jurnalis pulang, saya tidak paham dengan klaim kecepatan tinggi internet di lokasi pusat layanan media.
Sementara pewarta foto Kompas, Heru Sri Kumoro, dan juru video Alberdi Ditto, mencari cara agar bisa mengakses lokasi-lokasi konferensi. Jauh-jauh hari, panitia mengumumkan akses ke lokasi-lokasi itu dibatasi. Hanya juru foto dan juru video pemerintah anggota ASEAN yang boleh ke sana. Pengumuman itu sebenarnya sudah dipertanyakan jauh-jauh hari. Di Labuan Bajo, masalah itu kembali dibahas.
Belakangan, akses akhirnya diberikan karena ternyata juru foto dan juru video dari media massa amat terbatas. Hanya ada dua orang pewarta foto dari media massa di Indonesia yang datang ke KTT ke-42 ASEAN. Mayoritas media lain memutuskan tidak mengirimkan pewarta foto ke KTT karena ketentuan pembatasan itu.
Kumoro akhirnya bisa mendapatkan akses ke berbagai lokasi KTT dan kegiatan pendamping KTT. Karena itu, foto-foto di harian Kompas dan Kompas.id semuanya menggunakan foto Kumoro. Ditambah dengan foto-foto dari wartawan harian Kompas yang juga ditugaskan ke Labuan Bajo.
Kompas.id juga membuat berbagai video sendiri. Selain di lokasi KTT, Ditto bersama Anto dan Frans juga meliput di sejumlah lokasi lain. Di salah satu lokasi, Frans harus mewawancara seorang politisi.
Setelah berita Frans terbit, asisten politisi itu menanyakan nomor rekening bank. Pertanyaan itu membuat Frans marah. Pertanyaan itu dianggapnya sama saja dengan percobaan suap. Untunglah, meskipun marah, Frans masih bisa mengendalikan emosinya lalu menjelaskan kepada asisten politisi tersebut.
Baca juga: Radhar Panca Dahana dan Menguji Akurasi
Bocelli
Sebagai kelompok pertama jurnalis yang tiba di lokasi KTT, kami punya lebih banyak waktu berinteraksi dengan para petinggi Indonesia. Pada Minggu (7/5) siang, Menlu RI Retno LP Marsudi ke pusat layanan media. Kami sedang fokus mengetik saat Retno masuk lalu menyapa, "Wah, ada wajah-wajah familiar."
Sebagian dari anggota tim harian Kompas di KTT memang kerap bertemu Retno di Kemlu dan Istana Negara. Kami tidak tahu kalau ternyata tim Kemlu memotret kami kala berbincang dengan Menlu. Baru tahu saat foto itu dipakai sebagai salah satu materi infografik kegiatan Menlu RI selama persiapan KTT.
Bukan hanya Menlu, sejumlah pejabat lain juga ke pusat layanan media, termasuk Presiden RI Joko Widodo. Presiden dua kali ke pusat layanan media, pada 9 dan 11 Mei 2023. Kunjungan 9 Mei lebih santai. Saya yang sedang mengetik sembari mendengarkan Andrea Bocelli tak menyadari saat Presiden masuk ruang kerja jurnalis.
Ketua Tim harian Kompas, FX Laksana Agung Saputra, menepuk pundak saya saat Presiden mendekat, sebab saya masih saja asyik duduk dan menatap layar komputer.
Jadilah, saya baru berdiri saat Presiden mendekati meja kami dan mulai menyapa para jurnalis. Sejumlah menteri juga menyapa kami. Awalnya, saya kebingungan karena di telinga terdengar suara Bocelli selama perbincangan.
Belakangan baru saya sadar bahwa penyuara telinga (earphone) masih terpasang di telinga. Pantas saja, sejumlah orang menatap saya dengan wajah jengkel. Sebab, saya berbicara dengan Presiden dan Menteri-menteri RI tanpa melepas penyuara telinga. Barangkali suara saya jadi terdengar keras seperti orang berteriak. Setelah sadar, saya segera melepas kedua penyuara telinga secepat mungkin sembari masih tetap berbincang dengan sejumlah menteri.
Pada saat itu suara Andrea Bocelli tengah membawakan Con Te Partiro. Setelahnya adalah giliran komposisi Götterdämmerung gubahan Richard Wagner, yang akan mengalun. Saya jadi melewatkan sebagian komposisi itu karena penyuara telinga terpaksa dilepaskan selama Presiden dan para menteri di ruang kerja jurnalis.
Baca juga: Mengenang Kehebohan Nonton Konser Coldplay
Pesawat Nirawak
Setelah beberapa hari, mayoritas rangkaian KTT akhirnya selesai pada Kamis (11/5). Presiden menutupnya dengan konferensi pers di pusat layanan media pada Kamis siang. Meski rangkaian KTT selesai, pekerjaan kami belum selesai. Masih banyak laporan harus ditulis, direkam, lalu dikirimkan. Hanya liputan saja yang mulai berkurang.
Karena liputan sudah tidak padat, Kumoro dan Frans memutuskan ke kawasan Golo Mori. Awalnya, kawasan itu disiapkan menjadi lokasi puncak KTT. Belakangan, rangkaian utama KTT digelar di Hotel Meruorah di pusat Labuan Bajo. Nama hotel itu bermakna Komodo Besar. Dalam bahasa setempat, komodo disebut Ora.
Kumoro dan Frans ke Golo Moro pagi-pagi. Di sana, Kumoro menerbangkan pesawat nirawak untuk merekam kawasan itu dari ketinggian. Setelah merekam foto dan video, tiba-tiba Kumoro kehilangan kendali pada pesawatnya. Pesawat itu hilang.
Terpaksa, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari benda itu dibandingkan waktu untuk merekam foto dan video. Kumoro dan Frans harus mendakit bukit untuk mengejar drone.
Medan yang terjal memaksa Kumoro menggantung sandalnya. Sulit baginya jika tidak menyeker karena kakinya susah mencengkeram permukaan bumi.
Untung ada fasilitas find my drone yang sangat membantu dalam melacak keberadaan pesawat itu. Akhirnya, drone itu berhasil ditemukan dalam kondisi baterainya tinggal satu strip. Posisinya tergeletak di atas rerumputan. Kumoro pun bisa pulang dengan lega.