Tengah malam 8 Agustus 2020, datang pesan Whatsapp. Isinya, undangan menghadiri festival seni yang diselenggarakan secara rahasia. Hanya kalangan tertentu yang boleh tahu karena situasi sedang tidak baik-baik saja.
Oleh
FERGANATA INDRA RIATMOKO
·4 menit baca
Liputan dapat berita itu biasa. Tapi kalau liputan dapat keluarga? Istimewa rasanya. Kira-kira begitulah yang dirasakan para wartawan, setidaknya saya, setiap kali meliput kegiatan Komunitas Lima Gunung (KLG).
Komunitas ini tidak hanya menjadi tempat meleburnya berbagai lapisan masyarakat seni penghuni kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh, tetapi juga serasa tempat pulang bagi para pewarta yang bertugas di wilayah Magelang dan Yogyakarta. Setiap undangan acara dari KLG senantiasa disambut penuh semangat oleh para insan yang berkecimpung di dalamnya.
Tidak banyak komunitas seni yang mampu menciptakan atmosfer nyaman bagi para peliput berita hingga betah berlama-lama. Aliran deras ide unik sepanjang waktu, kekerabatan yang hangat dan erat, serta semangat KLG untuk menjauhkan diri dari godaan dan sponsor saat berkegiatan menjadi sejumlah alasan kenapa komunitas ini tetap semarak selama lebih dari 20 tahun sejak dibangun.
Dekat tetapi tetap berjarak agar mampu menulis berita secara obyektif menjadi bentuk hubungan unik antara KLG dengan para jurnalis harian Kompas. Proses perkenalan dengan KLG rata-rata terjadi karena ”pemasaran berjenjang”, yakni berawal dari ajakan senior di Kompas untuk meliput ke markas KLG di Studio Mendut, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Lalu lama-lama rutin meliput ke sana dengan inisiatif pribadi.
Kompas memiliki daftar panjang wartawan yang sudah dianggap layaknya keluarga oleh KLG. Mulai dari wartawan senior Bre Redana, almarhum Hariadi Saptono, Budi Suwarna, pewarta foto senior Eddy Hasby, dan masih banyak lagi, termasuk saya. Kedekatan saya dengan KLG bermula dari ajakan liputan Eddy Hasby dan jurnalis Mawar Kusuma Wulan meliput keunikan jiwa seni masyarakat Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kajoran, Magelang, yang berada di lereng Gunung Sumbing, pada 1 Februari 2015.
Kala itu KLG diminta secara khusus mengadakan pentas seni untuk menjadi bahan liputan Kompas. Liputan selama beberapa hari itu juga menandai sejarah masyarakat setempat yang untuk pertama kalinya menyaksikan penerbangan drone alias pesawat nirawak oleh Eddy Hasby.
Sambutan hangat dari Presiden KLG Sutanto Mendut serta keramahan seluruh anggota membuat para jurnalis Kompas yang hadir meliput kala itu, termasuk saya, merasa dianggap sebagai bagian dari keluarga. Saejak itu, saya semakin sering diundang ke berbagai acara yang diselenggarakan oleh KLG.
Kedekatan kami terus berlanjut, termasuk saat pandemi. Pertengahan Agustus 2020 ketika pandemi Covid-19 sedang seram-seramnya, KLG tetap berikhtiar menyelenggarakan puncak acara tahunan mereka, yakni Festival Lima Gunung.
Penyelenggarannya sangat dirahasiakan agar tidak menarik perhatian ribuan orang dan berpotensi menimbulkan masalah. Menjelang tengah malam pada 8 Agustus 2020, aplikasi Whatsapp di gawai saya memunculkan pesan dari Hari Atmoko, wartawan kantor berita Antara wilayah Magelang yang menjadi orang kepercayaan Sutanto Mendut.
Pesan itu berisi undangan yang sifatnya terbatas dan sangat rahasia terkait acara Festival Lima Gunung yang akan diselenggarakan keesokan harinya. Para wartawan yang menerima undangan itu diminta untuk tidak menyebarkannya ke orang lain. Kepercayaan yang diberikan oleh KLG tersebut dijaga betul oleh para wartawan sehingga acara itu bisa berlangsung dengan semarak meski hanya ditonton oleh warga setempat dan sejumlah jurnalis yang selalu menerapkan protokol kesehatan ketika bekerja.
Sejak itu, sejumlah undangan rahasia kerap muncul selama pandemi. Sebulan setelah acara Festival Lima Gunung di lereng Gunung Sumbing, saya kembali mendapat undangan meliput acara Lumbung Donga di Candi Lumbung, Magelang.
Selain bersifat sangat rahasia, acaranya juga sangat unik karena kegiatan dijadwalkan mulai pukul 04.30. KLG dikenal dengan budaya tepat waktu layaknya militer sehingga acaranya jarang yang mulainya molor. Hal itu membuat saya bertekad tiba di lokasi tepat waktu meski harus berangkat pukul 03.15 dari rumah di Salatiga dengan menaiki sepeda motor menembus hawa dingin di kawasan lereng Gunung Merbabu saat langit masih gelap pekat.
Jerih payah tersebut membuahkan hasil karena akhirnya hanya saya (dengan didampingi Hari Atmoko) yang berkesempatan memotret acara tersebut. Acara yang dimulai sangat pagi ditambah undangan yang terbatas membuat liputan pagi itu sangat berkesan.
Meliput acara KLG harus selalu siap dengan bermacam kejutan. Suatu ketika, Sutanto Mendut membuat acara seni di Studio Mendut yang diberi nama The Voice of Borobudur's Disruption yang mengajak seluruh peserta termasuk peliput turut terjun sebagai bagian dari pertunjukan seni. Alhasil saya dan sejumlah jurnalis basah kuyup oleh keringat karena di siang hari yang panas itu, para wartawan diminta menggunakan jas hujan saat memotret agar terlihat menyatu dengan para penampil.
Wartawan juga harus siap ketika tiba-tiba ditunjuk untuk berorasi dalam sebuah acara. Saya pernah mengalami hal itu ketika mendadak diminta berbicara tentang kecerdasan buatan dalam sebuah pertemuan KLG pada 16 Mei 2023. Saat itu hadir sejumlah mahasiswa pascasarjana ISI Yogyakarta.
Jiwa antifeodalisme terpancar kuat di komunitas ini. Hubungan timbal balik tanpa mengenal usia, saling sanggah gagasan dengan selera humor tinggi saat pertemuan dengan dilandasi semangat saling menghormati khas pedesaan, serta jiwa gotong-royong yang kuat, menjadi warna keseharian kehidupan komunitas ini.
KLG terus membuat terobosan-terobosan unik, baik dari segi acara maupun gagasan. Kesegaran konsep, kedekatan layaknya keluarga, serta berbagai kejutan yang terus muncul, menjadi salah satu resep bagi KLG untuk terus menjaga hubungan baik nan unik dengan para jurnalis yang mau bergaul tanpa sekat di dalamnya.