logo Kompas.id
Di Balik BeritaBelajar Arti Persaudaraan di...
Iklan

Belajar Arti Persaudaraan di Pulau Terluar

”Menginap saja di sini. Besok pagi ke Saumlaki dengan speedboat,” kata Baltasar, seorang warga. ”Di sini pantang menolak tawaran baik karena itu sama dengan menghina,” kata Alo, warga lainnya. Saya pun tak punya pilihan.

Oleh
M Hilmi Faiq
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/i7-TltmSOsM9df0mBw8o8aTI5LA=/1024x680/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20141212MHF26_1630792715.jpg
KOMPAS/M HILMI FAIQ

Anak-anak bermain di laut di Desa Olilit Barat, Kecamatan Tanimbar Selatan, Maluku Tenggara Barat, Maluku.

Ketika mendatangi suatu tempat yang jauh selama berhari-hari, baik di dalam maupun luar negeri, biasanya saya selalu mengupayakan mencari ”oleh-oleh” tulisan lain di luar tulisan pokok yang menjadi tugas.

Jadilah, ketika datang untuk meliput tenun di Tanimbar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, saya juga membuat tulisan tentang kesan saya terhadap kepulauan itu. Pilihan saya kali itu berkisah tentang keterasingan dan ketertinggalan, cerita khas daerah yang jauh dari ibu kota.

Tulisan saya sampaikan dengan pendekatan seperti mendongeng karena setiap dari kita pasti pernah terpapar dongeng, setidaknya saat masih kecil. Dongeng, enak disimak dan pesan-pesan di dalamnya abadi. Sampai dewasa dan tua kelak, selalu saja ada yang melekat dalam ingatan akan dongeng yang pernah kita dengar.

Karena kemalaman seusai menjelajah Desa Kandar di pedalaman Pulau Selaru, saya ditawari menginap oleh seorang warga di sana.

Karena kemalaman seusai menjelajah Desa Kandar di pedalaman Pulau Selaru, saya ditawari menginap oleh seorang warga di sana. Padahal, seharusnya kami menginap di Saumlaki yang berada di Pulau Yamdena, ibu kota Maluku Tenggara Barat.

Untuk menuju Pulau Yamdena, kami harus menyeberang terlebih dahulu dari Desa Adaut, 35 kilometer dari Desa Kandar. Namun, hari yang telah berubah gelap tidak memungkinkan kami menyeberang karena kapal penyeberangan tidak beroperasi di malam hari.

”Sudah, menginap saja di sini. Besok pagi ke Saumlaki dengan speedboat,” kata Baltasar Lerebulan (45), warga Desa Adaut, pemilik toko kelontong, yang kebetulan kenal dengan Alo Wisius Luturmele (61), warga setempat yang menemani perjalanan saya.

Alo mengiyakan begitu saja tawaran Baltasar saat kami singgah di warung Baltasar. ”Di sini pantang menolak tawaran baik karena itu sama dengan menghina,” kata Alo.

Baca juga: Tiga Minggu Mengejar Michel Platini

https://cdn-assetd.kompas.id/phFuVdExv4y3Mu1YeMYkNdHIteI=/1024x680/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20141212MHF12_1630792824.jpg
KOMPAS/M HILMI FAIQ

Warga mencari ikan di perairan dangkal Kepualauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, Maluku. Mencari ikan menjadi mata pencarian utama selain bertani.

Baltasar kemudian meminta istrinya menyiapkan teh panas dan mempersilakan kami mandi. Malam itu segala lelah dan penat hilang setelah kami terlelap di salah satu bilik Baltasar.

Perjalanan sebelumnya dari Kandar menuju Adaut selama satu jam terasa begitu menyiksa karena kondisi jalan yang berkerikil, serta sepeda motor yang tak berfungsi lagi peredam getarnya (shockbreaker).

Sepanjang jalan, badan diguncang getaran. Ketika matahari terbenam dan jalanan tinggal terang tanah, akhirnya kami berhasil tiba di Adaut, desa yang masih berada di Pulau Selaru, salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Tanimbar. Selanjutnya, saya meminta izin dapat tetap menginap di rumah Baltasar selama delapan hari berada di Tanimbar.

Baca juga: Menguak Kisah Vaksin Titipan Partai hingga BUMN

Iklan

Apabila dilihat di peta, Kepulauan Tanimbar persis berada di tengah antara Ambon dan Darwin, Australia. Juga persis di tengah antara Kepulauan Aru dan Timor Leste yang dipisahkan Laut Arafuru dan Laut Banda.

Singkatnya, posisi Kepulauan Tanimbar berada di garis paling depan sisi selatan negeri ini. Luas total kepulauan hanya 5.440 kilometer persegi atau sekitar seper-360 dari luas seluruh Indonesia. Dalam bentangan peta Indonesia, Tanimbar hanya setitik tinta. Bahkan kadang titik itu hilang tak tercantum dalam peta.

Tanah Tanimbar kering dan berbatu sehingga sulit digunakan untuk bercocok tanam. Meski demikian, sebagian warga bertani kacang dan ubi-ubian. Makanan pokok seperti beras didatangkan dari Jawa atau Ambon. Sayuran hijau sangat sulit didapat. Syukur ikan segar mudah didapat.

https://cdn-assetd.kompas.id/PU4mZAtv46qbVyGdekHQ2csqTZI=/1024x680/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20141212MHF28.JPG_1630792927.jpg
KOMPAS/M HILMI FAIQ

Tradisi Bakar Batu di Saumlaki, Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, Maluku.

Cerita klasik dari pelosok juga berulang di Tanimbar. Harga bahan bakar melambung, jalanan rusak, juga pasokan listrik yang jauh dari cukup. Dalam sehari, listrik padam hingga lima kali. Sekali padam bisa sampai dua jam.

Nyaris tak ada makanan olahan yang menjadi ciri khas kecuali sagu. Makanan ini seperti kue kering yang dibuat dengan bahan singkong diparut, kemudian dibakar dalam cetakan. Tanpa garam, tanpa gula. Dimakan bersama ikan tuna atau tongkol.

Memang, warga terbiasa makan hasil bumi dengan merebus atau bakar batu. Di satu sore, kami mengumpulkan 2 kilogram ubi dan 2   ayam setelah membakar batu.

Baca juga: ”Konser Neraka” Deep Purple, Kedatangan Gerald Ford, dan Operasi ke Timtim

Ubi dan ayam itu dikubur dalam batu yang membara, kemudian ditutupi dengan daun pisang dan kerikil. Sejam kemudian, masakan matang dan siap disantap di tepi pantai ketika matahari rebah menyisakan langit jingga. Setelah itu, kami berenang di lautan yang jernih dan hangat.

Senja menjadi masa-masa rehat bagi warga Tanimbar. Setelah seharian bekerja, mereka memancing atau sekadar duduk-duduk di tepi dermaga hingga malam datang. Barang kali ini yang membuat warga Tanimbar tabah, hidup di tanah yang panas dan keras, tetapi menjanjikan pemandangan elok setiap senja.

Menginap di rumah warga memungkinkan saya berkomunikasi dengan orang setempat, bahkan dapat mengamati dari dekat dan dalam tentang banyak hal. Semuanya berbalut keramahan warga.

https://cdn-assetd.kompas.id/X7CKZvqfb_l-RVTmKTBw-WCSPPU=/1024x680/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20141212MHF31.JPG_1630793078.jpg
KOMPAS/ M HILMI FAIQ

Gereja Hati Kudus Yesus, salah satu pusat ibadah warga Pulau Yandena, Saumlaki, Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, Maluku.

Misalnya, saat hendak menuju Pelabuhan Selaru, setiap warga yang berpapasan selalu menyapa. Ini juga kami alami saat kami ganti berkunjung ke Desa Olilit Barat di Kecamatan Tanimbar Selatan. ”Adat kami mengajarkan untuk menghormati tamu dan menganggapnya sebagai saudara,” kata Ketua Adat Olilit Barat Karinus Kuwa (70).

Karinus menambahkan, warga Tanimbar punya anggapan, jika mereka berbuat baik kepada pendatang, orang-orang juga akan berbuat baik kepada mereka atau keluarga mereka di perantauan. Sikap ramah kepada tamu itu sebagai upaya dan doa agar setiap warga Tanimbar yang merantau diperlakukan dengan baik di negeri orang.

Saat saya menyempatkan duduk di teras rumah Isaias Klise (47), seorang warga di Olilit Barat, setiap orang yang melintas pasti menyapa. Begitu adat Tanimbar mengajarkan. ”Kalau tidak menyapa, sama dengan menganggap orang yang kami temui itu pohon atau batu. Bisa tersinggung dia,” kata Isaias.

Sikap ramah kepada tamu itu sebagai upaya dan doa agar setiap warga Tanimbar yang merantau diperlakukan dengan baik di negeri orang.

Begitulah, ke mana kaki melangkah di situ berjumpa senyum sapa. Keramahan itu terpelihara antara lain karena warga Tanimbar menjaga betul kohesi sosial lewat sistem kekerabatan. Di setiap upacara adat ketika ada yang meninggal dunia atau pernikahan, seluruh keluarga besar dari berbagai pelosok pulau diundang.

Kesempatan ini memungkinkan mereka saling mengenal dan mempererat hubungan kekeluargaan. Seluruh warga di kepulauan ini tampaknya saling kenal. Paling tidak, dengan menyebut desa asal, warga lain dapat menebak teman, tetangga, atau keluarga dekat bersangkutan. Dari Tanimbar saya belajar arti persaudaraan.

Editor:
Sri Rejeki
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000