Rem Blong dan Hampir Masuk Jurang di Lereng Gunung Sinabung
Dalam perjalanan ke Desa Sigarang-garang yang dilanda banjir lumpur vulkanik, mobil yang saya kendarai hampir jatuh ke jurang. Lain kali, dalam sebuah perjalanan turun dari Gunung Sinabung, rem mobil saya blong!
Tinggal satu tanjakan dan satu kelokan lagi, maka semua akan mudah menuju Desa Sigarang-garang, desa yang dilanda banjir lumpur vulkanik lantaran hujan deras semalam. Hari Minggu (12/1/2014) itu, saya perlu segera sampai ke Sigarang-garang untuk mengambil gambar dan wawancara beberapa warga. Meskipun daerah itu termasuk zona merah dan warga wajib mengungsi, masih ada warga yang memilih tinggal demi menjaga tanaman mereka.
Berdasarkan informasi yang masuk, sejak pagi hari status aktivitas Gunung Sinabung menurun dari awas menjadi siaga. Ini berarti tingkat kerawanan Desa Sigarang-garang juga menurun. Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karo dan beberapa sukarelawan kemanusiaan pun berani masuk ke desa tersebut untuk menolong warga yang terjebak banjir lumpur.
Tinggi banjir yang hanya 15-20 sentimeter rupanya mampu melumpuhkan mobilitas warga yang sebagian besar mengandalkan sepeda motor. Hanya kendaraan khusus, seperti sepeda motor trail atau mobil gardan ganda, yang bisa melintas dengan leluasa.
Saya sebenarnya terbilang nekat karena mencoba menjangkau Desa Sigarang-garang dengan mobil Isuzu Panther yang usianya sudah belasan tahun. Terbukti, mobil itu tidak mampu melaju kencang lantaran jalanan menanjak dan berlumpur. Jika dipaksa melaju dengan kecepatan tinggi, rodanya rawan tergelincir, seperti terjadi di Desa Gambir saat saya melewatinya dalam perjalanan menuju Desa Sigarang-garang. Meskipun tanjakan tidak begitu curam, mobil hanya bisa bergerak maksimal 15 kilometer per jam.
Melintasi jalan menanjak menuju daerah puncak Gunung Sinabung memang perlu ekstra hati-hati. Selain jalanannya sempit, di sebelah kiri jalan terdapat jurang yang memanjang dari Desa Perteguhan, Sibintun, Berastepu, Gambir, Kuta Tonggal, Bekerah, Simacem, Sukanalu, hingga Sigarang-garang.
Setelah susah payah, akhirnya sampai juga saya di Kuta Tonggal yang memiliki kelokan-kelokan menanjak. Jika kelokan dan tanjakan ini mampu terlewati, tinggal lancar saja menuju Desa Sigarang-garang yang topografinya cenderung landai.
Wartawan dan fotografer lain sudah sejak pagi tiba di Desa Sigarang-garang. Saya agak telat sampai karena harus berangkat langsung dari Medan. Hari itu pun sebenarnya masih jadwal rehat setelah sepekan sebelumnya berada di lereng Gunung Sinabung.
Sejak November 2013, saya selalu menyempatkan diri pulang ke Medan sekali dalam sepekan di sela-sela liputan aktivitas Gunung Sinabung. Selain untuk memberi jeda dari paparan bencana, juga untuk menukar pakaian. Nah, hari itu saya harus buru-buru kembali ke Sinabung karena sehari sebelumnya terjadi hujan lebat yang mengubah tumpukan abu vulkanik menjadi lumpur dan membanjiri Desa Sigarang-garang.
Naluri wartawan yang ingin segera tiba di lokasi kejadian terkadang membuat abai dengan keselamatan. Kesulitan menanjak di Desa Gambir tadi semestinya cukup menjadi peringatan bahwa mobil yang saya kendarai tak mampu diajak jalan lebih jauh, apalagi di atas jalan berlumpur akibat hujan dan abu vulkanik.
Namun, saya tetap memaksakan diri untuk menanjak dengan menginjak pedal gas agak dalam. Jangankan bergerak naik, roda belakang mobil justru tergelincir ke kiri, keluar dari jalur aspal. Tak ada semeter dari tubir jurang. Deg!
Baca juga: Terjebak Kontak Senjata di Aceh
Saya buru-buru mematikan mesin, memasang rem tangan, lalu keluar untuk memeriksa posisi mobil. Saya kembali naik mobil, pasang sabuk pengaman, dan dengan setengah nekat menyalakan mesin. Pedal gas saya tekan pelan-pelan sembari mengendorkan rem tangan. Jika paduan gas dan rem tangan kurang pas, hanya ada dua kemungkinan, tergelincir lebih jauh atau mobil mundur. Keduanya berakibat fatal, mobil masuk jurang.
Tiba-tiba terlintas untuk mengambil langkah lain. Saya memilih memundurkan mobil dengan memutar stir ke kanan. Dengan harapan, roda belakang menjauhi tubir jurang. Voila, berhasil!
Saya tepikan mobil agak ke kanan untuk menjauhi tubir jurang. Saya lalu turun dari mobil sembari memikirkan cara lain untuk bisa sampai ke Desa Sigarang-garang. Sudah pasti, saya tidak bisa memaksakan diri terus mengendarai mobil. Itu sama saja bunuh diri. Padahal, tidak ada berita seharga nyawa.
Saya kemudian naik mobil lagi. Kali ini berjalan mundur untuk mencari tanah agak lapang dan landai untuk bisa putar balik. Mobil kemudian saya parkir di dekat kandang ayam milik seorang warga yang kebetulan saya kenal cukup baik lantaran sering melintas di sana.
Setelah memastikan mobil aman ditinggal, saya menenteng kamera dan berdiri di tepi jalan. Menunggu barang kali ada wartawan, fotografer, atau siapa saja yang lewat dengan tujuan Desa Sigarang-garang dan memungkinkan untuk ditebengi.
Nasib baik rupanya masih berpihak. Selang 12 menit kemudian, melintas anggota BPBD Karo mengendarai mobil gardan ganda. Meskipun agak terlambat dibandingkan teman-teman yang lain, akhirnya sampai juga saya di Desa Sigarang-garang.
Rem blong
Selama berbulan-bulan liputan aktivitas Gunung Sinabung, jarang sekali saya menginap di hotel karena kebanyakan hotel berlokasi di kaki gunung. Butuh waktu untuk menuju lokasi rawan bencana yang berada jauh di atas lereng gunung. Dengan begitu, menginap di hotel, bagi saya, sama saja menjauhkan diri dari lokasi kejadian. Erupsi Gunung Sinabung yang bisa terjadi sewaktu-waktu akan sulit terpantau dari hotel.
Meski demikian, menginap di hotel terkadang juga saya lakukan. Sekali atau dua kali dalam sepekan saat aktivitas Sinabung mereda. Menginap di hotel lebih untuk memberi jeda sekaligus penyegaran. Karena di hotel bisa mandi lebih bersih, tidur lebih nyenyak, dan makan lebih bergizi. Lebih penting lagi, menulis lebih tenang. Meskipun tidak tenang-tenang amat. Namanya juga di lokasi bencana.
Ketika tidak menginap di hotel, saya menginap di Warung Ojo Lali milik Anto Sembiring. Lokasinya masuk zona aman, sekitar 5 kilometer dari puncak Gunung Sinabung. Persisnya di Desa Tiga Pancur, Kecamatan Simpang Empat. Tempat ini berada di dekat lembah yang mengarah ke Gunung Sinabung. Setiap saat, fotografer dan wartawan dapat leluasa memantau kondisi gunung.
Semua barang penting, seperti baju ganti dan beberapa alat elektronik, tersimpan di dalam mobil yang saya parkir di depan warung. Lalu saya tidur di dalam warung bersama beberapa wartawan lain. Kalau pas ramai, bisa sampai 11 wartawan dan fotografer menginap di situ.
Untuk menjaga stamina mobil, setiap pagi saya panasi. Sepekan sekali saya turun gunung menuju Kabanjahe untuk mencuci mobil sekaligus membeli perbekalan, entah itu masker, makanan ringan, atau baterai.
Baca juga: Kesaksian Jakob Oetama yang Banyak Terlupakan
Suatu kali, mobil sudah tampak kusam dan perbekalan sudah habis. Waktunya turun gunung atau sekalian pulang ke Medan. Mumpung Gunung Sinabung lagi tenang dan cuaca sore itu cerah. Saya mengemasi barang dan pamit pulang kepada Bang Anto. ”Hati-hati di Jalan, Mas. Saya kabari kalau ada apa-apa di sini,” kata Bang Anto yang rajin meng-update informasi kondisi Gunung Sinabung.
Seorang diri saya mengendarai mobil yang melaju pelan dari Tiga Pancur sembari bersenandung mengikuti lagu-lagu dari ponsel yang disambung ke pengeras suara mobil. Saya nyaris tidak pernah mengebut saat melintasi jalan ini lantaran kondisinya relatif ramai dan seringkali menemukan hal-hal yang bisa dipotret di perjalanan.
Di kanan dan kiri jalan terbentang perkebunan warga yang ditanami beragam sayuran, mulai dari tomat, cabai, bawang, sampai kentang. Mereka tak pernah jera menanam meskipun berkali-kali tanahnya dihajar abu vulkanik. Semangat hidup itu selalu menarik untuk diabadikan dalam foto.
Mobil masih melaju pelan karena jalanan mendatar. Setelah Simpang Empat, saya berbelok ke arah Desa Lingga menuju Kabanjahe. Ketika jalanan menurun, saya coba mengurangi kecepatan. Saya injak pedal rem. Sial! Tidak berfungsi.
Kaki saya mengocok pedal rem dan tetap tak ada efek. Mobil ngeloyor begitu saja. Saya pindah ke gigi satu lalu ke netral dan menarik tuas rem tangan. Ya Tuhan, rem mobilku blong! Padahal, masih 6 kilometer lagi untuk sampai Kabanjahe.
Lokasi saya saat itu masih di dekat perkebunan, jauh dari bengkel mobil. Saya berhitung, jika mobil tetap dihidupkan dengan kecepatan 10 kilometer per jam, rasanya akan baik-baik saja sampai bengkel atau sampai pom bensin. Saya ambil langkah ini. Mobil melaju pelan dengan sopir yang hatinya deg-degan.
Baca juga: Ke Borobudur Kukejar David Beckham dan Barack Obama
Beberapa angkutan kota atau sepeda motor yang berada di belakang mungkin jengkel karena mobilku begitu lambat, sementara mereka tidak bisa mendahului karena jalan sempit. Meski lampu hazard saya nyalakan, belum tentu mereka paham.
Selang setengah jam kemudian, mobil masuk kota. Saya lebih waswas lagi lantaran jalanan lebih ramai. Seluruh konsentrasi saya kerahkan, lagu saya matikan. Berulang kali saya periksa spion untuk memastikan tidak ada kendaraan yang terlalu dekat karena sewaktu-waktu saya bisa banting setir jika ada orang atau kendaraan di depan.
Perasaan semakin tak karuan karena di depan ada lampu lalu lintas. Terlihat juga rambu bergambar pompa bensin. Itu artinya akan ada SPBU. Namun, jaraknya kira-kira masih 400 meter lagi. ”Di SPBU itu ada bengkel mobil, Wak. Coba ke sana saja,” begitu petunjuk dari seorang rekan wartawan yang sudah bertahun-tahun kerja di Karo.
Namun, tanpa sadar saya malah menginjak pedal gas agak dalam. Akibatnya, mobil melaju lebih cepat. Lampu lalu lintas terlihat berganti merah dan kendaraan-kendaraan pun berhenti. Kalau saya paksakan melaju juga, bisa menabrak mereka. Saya lihat ke kiri, ada halaman toko yang lengang. Buru-buru stir saya banting ke kiri dan menarik tuas rem tangan untuk parkir. Alhamdulillah, selamat.
Singkat cerita, mobil akhirnya bisa juga sampai bengkel yang ada di SPBU. Montirnya mengatakan, mobil saya kehabisan minyak rem. Hari itu, saya putuskan batal pulang ke Medan dan memilih menginap di hotel untuk mencari ketenangan setelah sepanjang sore disergap ketegangan.