Bergelantungan di Mobil Serbu TNI demi Memotret Presiden
Memotret aktivitas presiden itu gampang-gampang susah. Gampang karena aktivitas presiden terjadwal dan disediakan tempat memotret. Susah karena wartawan foto tidak bisa bergerak bebas selama peliputan dan kadang membosankan, serta gerak dan alur kegiatan presiden di lapangan terkadang tidak sesuai protokol.
Walaupun berada dalam aturan protokol dan keamanan yang ketat, bukan berarti wartawan foto tidak bisa menawar dan memberikan masukan terkait peliputan. Tawar-menawar di lapangan sering dilakukan agar bisa mengikuti gerak presiden dalam satu acara.
Salah satu pengalaman paling ”epik” saya adalah saat ikut dalam rombongan kunjungan kerja Presiden Joko Widodo di Sukabumi, Jawa Barat, 7-8 April 2018. Saat itu, Presiden meninjau program pemberian gizi dan program padat karya tunai di beberapa lokasi.
Seperti biasa, perintah untuk bergabung dalam rombongan kunjungan kerja datang satu hari menjelang keberangkatan. Saat itu, saya belum tahu kegiatan apa yang akan dilakukan Presiden di Sukabumi. Yang saya tahu, esok harinya (7/4/2018), berkumpul di Stasiun Bogor dan menuju Sukabumi menggunakan kereta api.
Pukul 02.45 WIB, rangkaian kereta luar biasa (KLB) yang ditumpangi Presiden dan rombongan bertolak dari Stasiun Bogor menuju Sukabumi. Dalam perjalanan menuju Sukabumi, Presiden dan rombongan menyempatkan diri meninjau program padat karya tunai di Kampung Pamoyanan, Cicurug, Sukabumi.
Sesampainya KLB di Stasiun Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, rombongan turun dan berganti moda untuk menuju Lapangan Sekarwangi, Cibadak. Di lapangan itu, Presiden membagikan sertifikat tanah kepada warga. Presiden pun menuju Kota Sukabumi untuk beristirahat.
Malam itu kegiatan Presiden hanya makan sate kambing. Pada malam itu pula kami, wartawan rombongan kunjungan kerja, diberi tahu bahwa esok hari Presiden menaiki sepeda motor untuk meninjau sejumlah program padat karya di Sukabumi. Dua wartawan foto akan ikut serta di mobil bak terbuka yang berada tepat di depan Presiden. Sementara wartawan lain akan berada di minibus yang berada jauh di belakang Presiden.
”Cocok...,” kata saya di dalam hati karena punya kesempatan untuk banyak memotret Presiden yang naik sepeda motor. Tentunya sambil berharap agar esok hari sesuai rencana.
Duh, mau motret apa ini. Presiden di depan naik motor, kita jalan di belakang...
Matahari belum bersinar terik saat wartawan, perangkat presiden, dan Paspampres mulai memenuhi ruang makan hotel untuk sarapan. Sarapan pun belum kelar saat saya menerima kabar bahwa tidak ada wartawan yang ikut di mobil bak. Hanya juru foto istana yang akan mengikuti dari depan.
”Duh, mau motret apa ini. Presiden di depan naik motor, kita jalan di belakang,” kata saya kepada sejumlah wartawan lain. Mungkin hanya saat berangkat kami dapat memotret Presiden naik sepeda motor, setelah itu tidak akan terkejar.
Walaupun pasrah, saya mulai mencari tahu kenapa rencana bagus itu dibatalkan menjelang keberangkatan. Dari hasil ngobrol dengan sejumlah orang, rencana dibatalkan setelah Paspampres mengganti mobil bak menjadi mobil serbu milik pasukan elite. Mobil serbu itu hanya dilengkapi empat tempat duduk dan pijakan kaki tempat tentara bergelantungan saat hendak menyerbu musuh. Tentunya kondisi ini tidak memungkinkan untuk mengangkut banyak orang.
Dari saat itulah, saya dan seorang wartawan foto Antara melancarkan aksi untuk tawar-menawar. Walaupun hampir setiap hari bertemu dan lebih dari 3 tahun bertugas di Istana, menembus birokrasi Istana dan protokoler tidak menjadi gampang.
Beberapa opsi kami usulkan, mulai dari mendahului rombongan dan menunggu di tengah perjalanan hingga bergantian dengan personel Biro Pers. Namun, semua ditolak. Untuk diketahui, selama naik sepeda motor waktu itu, Presiden merencanakan tiga pemberhentian. Dua di antaranya untuk meninjau proyek padat karya tunai pembuatan irigasi dan satu lainnya menuju tempat istirahat siang.
Sebelum memacu sepeda motornya, Presiden meninjau pemberian gizi tambahan bagi anak balita dan ibu hamil. Seusai acara itu, Presiden berganti sepeda motor di Kantor Kecamatan Bantargadung, Kabupaten Sukabumi.
Ternyata Presiden Joko Widodo saat itu hendak menaiki motor model chopper yang ramai dibicarakan orang beberapa hari sebelumnya. Dalam kesempatan itu, Presiden ditemani sejumlah menteri dan anggota komunitas motor.
Hingga saat Presiden menaiki sepeda motornya menuju titik pertama peninjauan proyek padat karya, saya belum mendapat kepastian terkait usul kami. Di dalam minibus yang melaju kencang mengejar motor Presiden, saya pun terus ngomel. ”Mana ini janji naik mobil di depan presiden,” kata saya sambil berharap mendapat kesempatan.
Di titik pertama, mobil yang kami tumpangi berhenti di pinggir jalan jauh dari lokasi peninjauan. Saya, yang saat itu belum mendapat foto terbaik, langsung mencari tumpangan sepeda motor untuk menuju lokasi, jarak dari jalan raya ke lokasi sekitar 2 kilometer.
Sesampai di lokasi, Presiden hampir selesai meninjau proyek padat karya. Peninjauan pun diambil ala kadarnya. Untungnya saya masih bisa memotret Presiden menaiki sepeda motor melintas di persawahan saat meninggalkan lokasi peninjauan. Ah, lumayan, nambah-nambah setoran. Seusai memotret, saya pun berlari dan mencari tumpangan agar tidak ditinggal rombongan.
Harapan mulai terbuka saat Presiden meninjau program padat karya di titik kedua. Saat menunggu di pinggir jalan, saya diberi tahu bahwa dari titik kedua ke ketiga, seorang wartawan foto bisa naik ke mobil karena satu fotografer Istana turun dari mobil. ”Jatah” satu orang ini yang membuat saya bingung karena wartawan foto ada dua. Ego wartawan foto dan media sangat berpengaruh di situ, siapa yang harus turun? Bagi kami, tidak dua-duanya.
Berbekal keyakinan itu, saya langsung saja merapat ke mobil serbu yang sudah terparkir di jalan raya. Kedatangan saya ke samping mobil untuk ”mengamankan” posisi sambil negosiasi dengan pengemudinya.
Sangat beruntung bagi saya, tentara yang mengemudikan mobil itu tidak kaku-kaku amat. Namun, dia berpesan agar memakai karabiner atau tali pengaman bagi yang akan berdiri di pijakan kaki. Tentunya agar kami tidak terjatuh. Akan menjadi masalah besar jika ada dari kami yang terjatuh.
Saya memakai tali selempang tas kamera saya, sedangkan teman lain mendapat pinjaman karabiner.
Soal tali pengaman beres. Saya memakai tali selempang tas kamera saya, sedangkan teman lain mendapat pinjaman karabiner. Sambil menunggu rombongan, kami mengatur tali tas dan karabiner yang akan membantu kami selama bergelantungan di mobil.
Benar saja dugaan saya. Begitu Presiden sampai di jalan raya untuk melanjutkan perjalanan, kami pun ”dilupakan”. Tiba-tiba dua wartawan foto dan satu wartawan online naik ke mobil bersama dua personel Biro Pers, ajudan presiden, dan dua anggota TNI lainnya. Jelas-jelas melebihi kapasitas, tetapi tidak mungkin juga kami diturunkan saat itu. Saatnya bekerja....
Tali selempang tas kamera sebagai pengaman memang sangat membantu saat pemotretan. Liukan mobil yang melaju kencang di depan Presiden terkadang membuat saya hilang keseimbangan. Apalagi saat itu kami harus tetap fokus untuk memotret Presiden selama perjalanan.
Saya seperti kesetanan saat memotret. Suara rana kamera saya seakan tidak berhenti. Tekan terus tombol rananya, seakan tidak rela kalau saya kehilangan momen penting yang bisa hadir dengan tidak terduga.
Benar saja, di satu titik perjalanan, warga bertelanjang dada berlari menyambut Presiden Joko Widodo yang melintas. Sambil terus bergelantungan, saya memeriksa keakuratan fokus dan ketajaman foto itu. ”Ini foto hari ini...,” kata saya di dalam hati seusai melihat hasil foto tersebut.
Dengan adanya foto itu, seakan acara-acara inti Presiden menjadi tidak penting lagi. Kekuatan foto yang menggambarkan kedekatannya dengan warga membuat foto tersebut menjadi sangat menarik. Foto ini dimuat di harian Kompas halaman 2 edisi Senin (9/4/2018).
Tentunya, setelah itu, saya tetap memotret rangkaian acara yang lain. Takut, jangan-jangan ada yang lebih kuat dari foto warga bertelanjang dada menyambut Presiden di jalan.
Hari itu, Presiden berkendara sekitar 30 kilometer dari Kantor Kecamatan Bantargadung sampai Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Tentunya sambil naik motor, Presiden juga menyempatkan diri mengecek program pemerintah di lapangan.
Namun, yang harus selalu diingat, keselamatan diri tetap nomor satu karena tidak ada foto yang lebih penting dan berharga dari nyawa kita.
Ribuan frame foto saya buat untuk mengabadikan momen-momen penting dalam kunjungan kerja itu. Lega rasanya karena perjuangan tawar-menawar dan bergelantungan di mobil serbu tentara menghasilkan foto yang istimewa. Untungnya, tidak ada peristiwa penting yang terlewat pada hari itu.
Ya, memang, memotret jurnalistik butuh perjuangan. Bukan saja soal memotret dengan baik, melainkan juga usaha tawar-menawar agar mendapat akses yang terbaik. Namun, yang harus selalu diingat, keselamatan diri tetap nomor satu karena tidak ada foto yang lebih penting dan berharga dari nyawa kita.