Tidur Waswas, Lari Tunggang-langgang karena Gempa Susulan
Peristiwa gempa bumi dengan magnitudo 7,4 pada Jumat (28/9/2018) petang memaksa kami di Kantor Biro Makassar berusaha tiba secepatnya di Palu. Rencana berangkat Jumat malam batal karena Bandara Mutiara SIS Al-Jufri di Palu ditutup. Pilihan paling masuk akal adalah terbang dari Makassar ke Mamuju dan melanjutkan dengan perjalanan darat ke Palu.
Sabtu pagi, saya dan M Final Daeng akhirnya terbang ke Mamuju dan menyambung jalan darat melalui Mamuju Utara. Perjalanan menuju Palu kami lanjutkan Minggu (30/9/2018) pagi setelah memutuskan menginap di perbatasan Donggala-Mamuju Utara pada Sabtu malam. Perjalanan di Donggala dimulai di Kecamatan Banawa Selatan, Banawa Tengah, dan Banawa. Wilayah ini berada di pesisir Teluk Palu.
Memasuki wilayah Banawa, kerusakan-kerusakan kecil sebagai dampak gempa pun tampak. Jalan retak serta tiang listrik dan pepohonan tumbang terlihat di beberapa bagian. Tiba di Kecamatan Banawa Tengah, selain kerusakan yang kian parah, kami juga dikejutkan dengan kerumunan warga di tengah jalan.
Awalnya saya mengira itu adalah kerumunan warga yang ingin mengungsi. Ternyata tidak. Saat mendekati kerumunan dan melihat di sebelah kanan jalan, tampak bangunan Rutan Donggala yang hangus dan nyaris rata dengan tanah. Dari salah seorang tahanan, kami memperoleh informasi bahwa semalam rutan dibakar oleh tahanan.
”Para tahanan meminta izin keluar untuk mencari keluarga. Pihak rutan mengizinkan dengan syarat lima orang sekali keluar dan dengan pengawalan. Namun, tawaran ini ditolak karena jumlah penghuni rutan hampir 400 dan itu akan butuh waktu lama. Akhirnya tahanan membakar rutan. Dimulai di Blok B, akhirnya api menjalar ke seluruh bangunan. Banyak yang kabur,” tutur Arjun Sinanang, tahanan titipan kejaksaan yang tersangkut kasus dugaan korupsi dana desa.
Keinginan mengetahui kabar keluarga membuat penghuni rutan nekat. Pagi itu pegawai rutan berjaga-jaga di pintu pagar. Sebagian penghuni yang tidak kabur tampak duduk di berbagai sudut di area rutan. Kami tak lama. Seusai mengambil gambar, kami melanjutkan perjalanan menuju Palu.
Melewati Kecamatan Banawa, dampak kerusakan gempa makin terlihat. Hampir semua bangunan yang berada di pesisir porak poranda. Reruntuhan rumah dan bangunan lain menumpuk di kiri kanan jalan. Sebagian jalan retak lebar dan terangkat. Warga lalu-lalang di reruntuhan mencari benda yang mungkin masih bisa diselamatkan. Sebagian meratapi rumahnya yang tak bersisa.
Pagi itu jalan Trans-Sulawesi di poros Palu-Donggala sangat padat. Gelombang warga Palu yang berniat meninggalkan kota memenuhi jalan. Sebaliknya kendaraan dari luar Palu juga sama padatnya. Yang berasal dari luar Palu umumnya adalah orang-orang yang ingin mencari kabar keluarga ataupun kerabat mereka. Memang, sejak gempa terjadi, jaringan komunikasi di Palu nyaris putus total.
Padatnya kendaraan yang keluar ataupun masuk Palu, jalan rusak, dan reruntuhan membuat jalan macet. Kami akhirnya turun menyebar untuk mengambil gambar dan wawancara sembari menunggu kendaraan keluar dari kemacetan.
Keluar dari kemacetan, perjalanan dilanjutkan memasuki Palu. Namun, kami tak bisa begitu saja langsung ke wilayah tengah kota atau kawasan Pantai Talise, misalnya, yang diterjang tsunami. Sejumlah ruas jalan ditutup dan dialihkan warga. Sebagian ruas jalan juga tak bisa dilalui akibat tiang listrik dan kabel yang malang melintang di tengah jalan.
Kondisi ini membuat kami harus memutar jauh, keluar masuk jalan perumahan dan jalan alternatif. Beberapa kali kami menemui jalan buntu. Rencana akhirnya berubah, bukan lagi ke Pantai Talise, tetapi mencari rumah sakit. Kami ingin mencari informasi tentang korban luka dan meninggal. Namun juga tak mudah mencapai Rumah Sakit Undata yang berada di jalan Trans-Sulawesi di wilayah Tondo. Informasi yang kami peroleh, di rumah sakit ini umumnya korban luka dan meninggal dibawa.
Kami akhirnya singgah terlebih dahulu di RS Anuta Pura, rumah sakit umum di bawah Pemerintah Kota Palu. Setelah perjalanan memutar dan keluar masuk jalan permukiman, rumah sakit ini yang paling dekat dijangkau. Kami tiba sekitar pukul 10.30 Wita. Saat melihat bangunan rumah sakit ini, saya terperangah. Bangunan utama miring atau ambruk di bagian belakang. Adapun bangunan memanjang di bagian samping tinggal dua lantai.
Pernah bertugas lebih dari enam tahun di Palu, saya mencoba mengingat dan menyadari bahwa bangunan di samping gedung utama sebenarnya lima lantai. Lantai dasar adalah tempat parkir. Adapun lantai dua hingga lima terdiri dari poliklinik, ruang ICU, isolasi, ruang perawat, hingga ruang perawatan pasien. Gempa menyebabkan lantai satu hingga tiga ambruk dan yang tampak hanya lantai empat dan lima.
Matahari tepat berada di atas kepala saat kami melanjutkan liputan ke RS Undata. Sepanjang perjalanan, saya melihat beberapa toko Alfamart yang sudah kosong bekas dijarah. Di beberapa SPBU, juga tampak kerumunan warga yang menjarah BBM. Warga menimba BBM dari tangki penampungan yang ada di bawah tanah.
Mereka menggunakan bambu atau balok berukuran kecil. Di bagian ujungnya, botol kemasan air mineral berukuran 1 liter dikaitkan. Ratusan jeriken dan galon dijejer dan mengular dari jalan hingga tangki pengisian. Tak terlihat aparat keamanan. Kalaupun ada satu-dua di SPBU lain, mereka tak bisa berbuat banyak karena jumlah warga ratusan.
Jejeran mayat
Meninggalkan kerumunan di SPBU, kami bergegas ke RS Undata. Belum lagi tiba di halaman rumah sakit, bau mayat sudah merebak cukup tajam. Rumah sakit ini, selain merawat korban luka, juga menjadi tempat tujuan jenazah yang ditemukan di sepanjang pantai.
Di halaman depan berdiri dua tenda yang menjadi tempat merawat pasien yang sebelumnya dirawat di dalam. Ada pula yang ditempatkan di teras rumah sakit. Sebagian pasien sudah dibawa pulang oleh keluarga dan sebagian diungsikan ke luar kota.
Halaman samping menjadi tempat penampungan jenazah. Di sini, jenazah dijejer mulai dari pelataran, teras, hingga di atas tanah. Jumlahnya banyak. Orang-orang terus berdatangan, mengitari jejeran jenazah dan memeriksa satu per satu untuk mencari kerabat atau anggota keluarga yang mungkin dikenali. Ambulans bersiaga di jalan samping dan bolak-balik mengangkut ataupun membawa jenazah. Suasana rumah sakit siang itu diliputi kesedihan.
Dari RS Undata, kami melanjutkan mencari Posko Satgas Bencana yang menurut beberapa orang berada di rumah jabatan Gubernur Sulteng. Namun, sesampai di sana kami diberi tahu jika posko dipindah ke Markas Korem (Makorem) 132 Tadulako.
Di rumah jabatan itu, saya akhirnya berpisah dengan Final yang pergi mencari rekan kami, Videlis Jemali, wartawan Kompas yang bertugas di Palu. Sebelumnya, kami yang ada di Kantor Biro Makassar dan kantor pusat di Jakarta sempat putus kontak dengan Videl.
Saat gempa terjadi, rumah Videl di kawasan Petobo bergeser hampir 100 meter akibat terbawa lumpur. Petobo adalah salah satu kawasan terjadinya likuefaksi dan berdampak cukup parah. Videl selamat dari amukan tanah yang bergulung itu, dengan hanya pakaian di badan.
Saya melanjutkan liputan ke Makorem. Halaman Makorem sore itu sangat ramai. Antrean warga yang ingin mengambil logistik mengular di jalan. Sementara puluhan wartawan dalam dan luar negeri berkumpul di halaman depan, di pelataran dekat pagar. Di situ ada dua mesin genset sehingga wartawan bisa mengisi baterai telepon genggam dan komputer jinjing. Di situ pula kami semua membuat berita sembari menunggu pejabat berwenang memberi keterangan. Sepanjang sore hingga malam, beberapa kali kami dikejutkan dengan gempa susulan yang getarannya sangat terasa.
Hari beranjak malam dan sekeliling Makorem gelap gulita. Lampu tak seberapa terang hanya ada di halaman Makorem. Memang, setelah terjadi gempa, listrik padam di seluruh Kota Palu, Sigi, dan Donggala. Ini pula yang membuat air bersih sulit diperoleh. Sebagian besar warga Palu memenuhi kebutuhan air dengan membuat sumur bor yang menggunakan mesin air. Hanya sedikit yang menjadi pelanggan PDAM karena debit air yang kurang.
Kondisi ini membuat saya dan banyak wartawan lain harus menahan untuk tidak sering-sering ke toilet. Tiga toilet yang bisa digunakan di halaman belakang Makorem sudah kering. Melalui seorang teman, saya menumpang buang air kecil di toilet milik satpam di gedung Telkom. Di situ pun sangat terbatas.
Liputan di tengah keterbatasan
Malam itu, Final yang sudah bertemu Videl ikut bergabung di Makorem. Ada pula wartawan Wisnu Aji Dewabrata dan fotografer Heru Sri Kumoro dari Jakarta yang ikut bergabung. Mereka tiba di Palu pada Minggu sore dengan menumpang pesawat Hercules milik TNI. Seusai menuntaskan berita, kami semua kelelahan dan tertidur di pelataran dekat pagar.
Lemas karena lapar memaksa kami berkeliling cari makan. Palu yang seperti kota mati dan gelap gulita membuat kami putus asa mencari warung makan yang buka. Hampir semua jalan kami telusuri untuk mencari tempat makan. Saat hampir berputus asa dan memikirkan mencari tempat untuk memasang tenda serta mengeluarkan bekal yang bisa dimakan, kami akhirnya menemukan sebuah warung makan tak jauh dari RS Wirabuana.
Depot Mawar. Rumah makan ini seperti keajaiban bagi kami malam itu. Terlebih saat pramusaji menyebut menu nasi rawon, nasi semur daging, dan mi goreng telur yang tersedia. Antara girang dan terkejut, kami makan dengan sangat lahap. Tak peduli, rawon atau semur dalam mangkuk kecil itu lebih banyak berisi kuah ketimbang potongan daging.
Hari beranjak tengah malam saat kami meninggalkan Depot Mawar dan menuju rumah jabatan gubernur. Kami memilih memasang tenda di pojok halaman Kantor Bappeda Sulteng yang bersebelahan dengan rumah jabatan itu.
Masih pagi benar kami bangun dan melanjutkan liputan. Kami berkeliling mendatangi lokasi-lokasi yang parah terdampak gempa, termasuk Kabupaten Sigi. Di wilayah ini, dampak gempa cukup parah dan membuat jalan retak lebar, terangkat, dan sebagian bergelombang. Kami harus berjalan kaki mencapai sejumlah lokasi karena kendaraan tak bisa melintas.
Hari-hari selanjutnya, kami terus melanjutkan liputan dengan menjelajah seluruh bagian yang terkena dampak. Air mineral dan biskuit menjadi bekal utama saat berkeliling liputan di tengah panas terik dan jarak tempuh yang berjauhan antara satu tempat dan tempat lain.
Setiap hari terpapar udara yang bercampur bau mayat membuat kami khawatir. Belum lagi suhu yang mencapai 36 derajat celsius dan waktu makan yang sering tak teratur. Atas anjuran tenaga medis, kami divaksin tetanus dan kolera.
Di Palu, selama liputan, kami terbiasa tidur dalam keadaan siaga dan berjaga-jaga. Tidur dengan pakaian lengkap dan telepon berada dekat kepala atau tangan. Kami tak pernah betul-betul bisa nyenyak akibat gempa-gempa susulan yang seolah nyaris tak berhenti. Saya akhirnya paham mengapa orang Palu sangat trauma dan banyak yang mengungsi.
Beberapa kali saat sedang tidur nyenyak atau saat sedang duduk santai, kami lari tunggang-langgang saat gempa susulan datang. Liputan dengan kondisi serba terbatas juga membuat kami semua beradaptasi dengan hanya mandi sekali sehari. Saya biasanya memilih mandi malam untuk menghindari antrean dan agar tak perlu mandi pagi. Dua hari pertama liputan, kami bahkan mandi sekali dalam dua hari.