Dari Mobil Dihalangi di Samosir hingga Diganggu ”Konser” di Medan
Tanah Batak tidak asing bagi saya. Sebab, selama empat tahun, 2010-2014, saya bertugas di Medan yang wilayah liputannya di seantero Sumatera Utara. Tidak heran bila tanah Batak kerap saya kunjungi. Danau Toba tentu menjadi salah satu lokasi yang paling sering bersentuhan dengan kepentingan liputan saya waktu itu.
Kali ini, dalam meliput Ekspedisi Alat Musik Nusantara episode gondang, saya ditemani fotografer Kompas, Wawan Hadi Prabowo, dan tenaga grafis Arjendro Derpito. Sejak Minggu 5, Agustus, sampai 11 Agustus 2018, kami keliling tanah Batak.
Baca: Liputan tentang Gondang Batak
Bagi saya, ini seperti ada rasa nostalgia ketika mengunjungi beberapa tempat, seperti Balige, Ajibata, dan Medan.
Minggu pagi, saya dan Arjendro terbang dari Jakarta ke Bandara Internasional Silangit, di Kabupaten Tapanuli Utara. Kami memilih rute ini karena lebih menyingkat waktu dibanding jika harus mendarat di Medan. Sebab, dari Medan ke Danau Toba masih butuh waktu perjalanan tiga sampai empat jam lagi.
Dari Silangit, kami langsung bertemu Velda Sitorus, pemain gondang (pargonsi). Dia menginformasikan kepada kami tentang sebuah pernikahan yang digelar keesokan hari. Kebetulan, Velda akan memimpin permainan gondang dalam pernikahan yang digelar secara adat tersebut.
Setelah berbincang singkat dengan Velda, tentang waktu dan lokasi pernikahan, kami meluncur ke Pelabuhan Penyeberangan Ajibata. Mobil kami berusaha secepat mungkin tiba di Ajibata.
Ketika tiba pukul 14.42, ternyata kami telat 12 menit. KM Fery Tao Toba telah berlayar menuju Pulau Samosir. Setidaknya, kami harus menunggu 2,5 jam lagi sebelum ada jadwal penyeberangan berikutnya.
Daripada membuang waktu, kami putuskan menyeberang naik KM Roganda. Kapal itu serupa dengan KM Sinar Bangun yang tenggelam tempo hari. Membayangkan tragedi itu, saya sempat waswas.
Akan tetapi, setelah mengecek persiapan kapal dan jumlah penumpang, tampaknya tidak masalah. Kapal yang berkapasitas 50-an orang ini waktu itu hanya terisi dua pertiganya.
Lagi pula, nama-nama penumpang sudah didaftar sejak awal. ”Kami diminta lebih teliti, Bang,” ucap penjaga tiket. Dia mengatakan, manajemen penumpang kini dilakukan secara lebih baik sehingga tidak mengulang tragedi KM Sinar Bangun.
Kapal ini berangkat pukul 15.30, tetapi tidak bisa mengangkut mobil. Jadi, mobil sewaan kami tinggal di Ajibata. Sampai di Samosir, kami disambut pelangi di sore hari.
Hari berikutnya, kami menghadiri pernikahan Bethia Letape Tambunan dan Manjamot Sirait di Lumban Nainggolan, Desa Narumontak, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir. Sehari penuh kami berada di Lumban Nainggolan untuk melihat prosesi pernikahan yang diiringi gondang sabagungan.
Sore harinya, kami menepi ke Balige untuk menginap di sebuah hotel di tepi Danau Toba.
Pada hari ketiga, kami memenuhi janji bertemu Jintar Naipospos, Ulu Punguan Parmalim di Sibadihon, Kabupaten Toba Samosir. Dia merupakan pemimpin cabang kelompok pemenang Ugamo Malim atau Parmalim. Kami menggali tentang filosofi gondang dalam kehidupan.
Siang harinya, kami meluncur ke Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, sekitar 71 kilometer dati Sibadihon. Kali ini kami hendak melihat proses pembuatan taganing, salah satu instrumen utama dalam orkestrasi gondang.
Dari Tarutung, kami meluncur ke Dolok Sanggul, lalu ke Tele, dan berakhir di Pangururan, Samosir. Jarak 126 kilometer kami tempuh selama tiga setengah jam dari Tarutung. Kami menginap di Pangururan karena keesokan harinya harus meluncur ke Onan Runggu, sekitar 54 kilometer dari Pangururan.
Hari masih gelap. Kami melaju ke Onan Runggu untuk mengejar matahari terbit sebelum menghadiri Pesta Bolon Raja Sonang, sebuah acara adat berkumpulnya keturunan Raja Sonang dari seluruh penjuru dunia.
Sayangnya, hari itu mendung, matahari terbit gagal kami dapat. Tapi tidak mengapa karena kami masih ada agenda meliput Pesta Bolon.
Sekitar pukul 07.30, kami menuju acara pesta yang digelar di Tugu Raja Sonang, di tengah sawah. Panitia menyulap sawah menjadi tempat pesta berhias tenda nan megah. Pesta itu meriah sekali.
Seusai meliput, menurut rencana, pukul 12.00 kami bergeser ke Simanindo melihat Si Gale-gale, kemudian menyeberang ke Ajibata. Sayang sekali, rencana ini berantakan.
Akar persoalannya, panitia Pesta Bolon tidak menyediakan lahan parkir yang memadai dan tenaga tukang parkir yang cakap. Mobil-mobil dibiarkan diparkir begitu saja.
Mobil kami tak dapat keluar karena terhalang enam mobil lain. Berkali-kali kami memberi tahu panitia untuk mengumumkan kepada pemilik mobil agar menggeser mobilnya memberi jalan, tetapi tidak juga dikerjakan. Semua orang sibuk berpesta!
Alhasil, baru tiga jam kemudian, sekitar pukul 15.00, kami dapat keluar dari area parkir itu!
Alhasil, baru tiga jam kemudian, sekitar pukul 15.00, kami dapat keluar dari area parkir itu!
Acara ke Simanindo akhirnya batal karena jadwal penyeberangan KM Fery Tao Toba tinggal yang terakhir untuk hari itu. Bagi kami, wartawan yang senantiasa diburu deadline, tidak dapat liputan ke daerah lain hanya karena terjebak di dalam area parkir sungguh mengesalkan.
Di Medan, kami menginap dua malam di sebuah hotel di Jalan Imam Bonjol. Hotel ini sebenarnya pilihan kedua setelah hotel pilihan pertama penuh tamu.
Karena lelah, saya tidur lebih awal, sekitar pukul 23.00. Namun, sekitar sejam kemudian, saya kaget terbangun karena kamar sebelah sangat ribut.
Kebetulan, kamar saya memiliki pintu penghubung (connecting door) yang berbahan kayu dan tidak begitu rapat. Celah-celah pintu itu memungkinkan suara dari kamar sebelah terdengar dengan jelas dari kamar saya.
Jika hanya suara orang ngorok atau berbincang, tidak jadi soal. Ini suara orang menjerit, berteriak, menyanyi, dan ngobrol entah apa isinya. Saya tidak paham karena dugaan saya mereka memakai bahasa India. Musik yang mereka putar pun lagu India. Intinya, mereka ribut sekali seperti di pasar.
Bagaimana saya dapat beristirahat sebelum melanjutkan liputan keesokan harinya?
Selidik punya selidik, ada sekitar 15 orang dalam rombongan mereka ini. Mereka berasal dari negeri jiran. Satu kamar terkadang berisi sampai lima orang. Yang tadi malam itu, sepertinya ada empat orang di dalam satu kamar.
Mereka gemar sekali berteriak-teriak tanpa tahu tempat. Di area parkir, di lobi, di kamar, mereka anggap sama saja dengan di pasar. ”Kami juga pusing, Bang. Susah kali mereka diatur,” kata petugas satpam ketika saya mengeluh.
Akhirnya saya minta pindah kamar. ”Soalnya saya ingin istirahat, bukan nonton konser,” kata saya kepada resepsionis ketika ditanya alasan minta pindah kamar.