Meliput dan Menahan Haru di Toba
Melakukan tugas peliputan tragedi tenggelammnya Kapal Motor Sinar Bangun di Danau Toba, Sumatera Utara, tidak hanya menguras tenaga fisik. Yang paling melelahkan adalah menahan hati menyaksikan isak tangis, kesedihan, dan duka mendalam dari keluarga para korban yang menunggu dalam ketidakpastian.
Seorang wartawan seharusnya secara profesional bisa menjaga jarak dari peristiwa yang dilaporkan. Namun, hati siapa yang tidak rapuh mendengar isak tangis perempuan yang sedang hamil anak pertama yang suaminya hilang bersama kapal tenggelam. Lalu, bagaimana kita bisa menahan air mata melihat seorang ibu menggendong dua orang bayi menunggu kabar suaminya yang merupakan tulang punggung ekonomi keluarganya.
Tidak ada pelampung di kapal itu. Tidak ada manifes penumpang.
Di sudut lain, seorang ibu memeluk dan menciumi baju anaknya berhari-hari. Mereka tidur beralaskan tikar di sebuah ruangan kecil di Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, menunggu kabar orang yang mereka kasihi. Lalu ada bayi berusia 2,5 tahun digendong neneknya, sebab ayah dan ibunya ikut hilang bersama KM Sinar Bangun.
Tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun telah menimbulkan duka mendalam. Peristiwa naas itu menggambarkan kerakusan pengusaha pelayaran serta sikap otoritas yang koruptif, abai, dan lalai. KM Sinar Bangun yang berkapasitas 45 orang dijejali sedikitnya 188 orang dan sekitar 60 unit sepeda motor.
Tidak ada pelampung di kapal itu. Tidak ada manifes penumpang. Meskipun ada peringatan cuaca buruk, kapal kayu berukuran 17 gross ton yang memiliki tiga dek tersebut tetap berangkat dari Pelabuhan Simanindo di Kabupaten Samosir menuju Pelabuhan Tigaras di Kabupaten Tigaras, Senin (18/6/2018), sekitar pukul 16.30 WIB.
KM Sinar Bangun berangkat tanpa pengawasan dan pemeriksaan apa pun dari otoritas pemerintah, sebagaimana terjadi hampir di semua pelayaran di Danau Toba. Setelah setengah jam berlayar, kapal itu tidak kuat menahan ombak yang menghantam sisi kiri kapal. Kapal lalu terbalik ke sisi kanan dan tenggelam. Hingga pencarian ditutup pada Selasa (3/7/2018), sebanyak 164 penumpang dinyatakan hilang dan hanya 24 yang ditemukan, tiga di antaranya tewas.
Kabar tentang tenggelamnya KM Sinar Bangun terkabar di grup WhatsApp wartawan sejak Senin pukul 19.00, atau sekitar dua jam setelah kejadian. Awalnya, saya mengira pesan itu adalah kabar bohong.
Namun, saya sangat terkejut ketika Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Samosir Mahler Tamba membenarkannya. “Ya benar, KM Sinar Bangun tenggelam. Sampai sekarang sudah ditemukan, 18 orang selamat dan satu tewas. Kami perkirakan jumlah penumpang 80 orang,” kata Mahler ketika itu.
Setelah mendapat konfirmasi tersebut, saya pun langsung menulis berita untuk diterbitkan di Kompas esok harinya. Melihat peristiwa besar tersebut, malam itu pun saya berangkat ke Pelabuhan Tigaras yang berada sekitar 175 kilometer di selatan Kota Medan. Saya pun berangkat dari Medan Selasa sekitar pukul 02.00 dan tiba di Pelabuhan Tigaras sekitar pukul 06.30 WIB.
Di hari pertama peliputan tersebut, saya berupaya mencari fakta lapangan yang saat itu masih banyak yang kabur. Bahkan, belum ada jumlah pasti penumpang yang diangkut KM Sinar Bangun. Kronologi tenggelamnya kapal pun belum jelas. Saya pun menargetkan untuk mencari fakta tersebut dalam berita, ficer, dan foto-foto. Saya harus mendapat beberapa narasumber kunci, terutama korban selamat.
Saya pun berhasil bertemu dengan seorang korban selamat yakni Jamuda P Sinaga (17) di Pelabuhan Tigaras. Namun, kondisi fisik dan psikis Jamuda masih lemah.
Ia lebih banyak bercerita tentang pengalaman spritualnya. Menurut dia, ia sudah tenggelam beberapa meter. Lalu roh almarhum ayahnya, yang baru meninggal tiga minggu, datang menolongnya dan menuntunnya hingga bisa naik ke permukaan dan mendapat pelampung yang dilempar petugas dari kapal feri penyelamat. Cerita seperti itu tentu cukup sulit diterbitkan di media massa.
Jamuda pun belum bisa bercerita banyak. Dua orang saudara perempuannya yang berangkat bersama dia masih hilang.
Saya pun memutuskan untuk mencari korban selamat lainnya. Berdasarkan data di posko Pelabuhan Tigaras, korban selamat lainnya berada di Puskesmas Simarmata, Samosir. Saya harus menyeberang ke Samosir untuk mencapai puskesmas itu, sementara seluruh penyeberangan Tigaras – Simanindo ditutup akibat peristiwa itu. Beruntung, ada KMP Sumut II berangkat melakukan pencarian sekaligus membawa para pejabat mengunjungi korban selamat. Saya pun ikut kapal tersebut.
Setelah berlayar sekitar 45 menit, kami pun bersandar di Pelabuhan Simanindo. Para pejabat yang terdiri dari Sekretaris Daerah Pemprov Sumut Sabrina, Bupati Simalungun JR Saragih, Bupati Samosir Rapidin Simbolon, dan Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah Parlindungan Purba langsung berangkat menuju Puskesmas Simarmata menggunakan mobil yang sudah disediakan.
Saya pun tidak bisa berangkat menuju puskesmas karena tidak ada angkutan. Namun, setelah beberapa menit, saya melihat ada teman wartawan yang hendak berangkat ke sana. Saya pun menumpang ke mobil tersebut.
Di Puskesmas Simarmata, saya bertemu dengan sebelas orang korban selamat. Lima di antaranya saya wawancarai secara mendalam tentang kronologis kapal tenggelam yakni Hafni Sinaga (20), Suhendra (22), Toni Susanto (30), Rudi Rubowo (22), dan Riko Saputra (26). “Kami sangat takut ketika kapal dihantam ombak berkali-kali. Tiang kapal berderik kuat mengalahkan suara musik yang dihidupkan keras-keras. Kapal pun dihantam ombak dari sisi kiri lalu terguling,” kata Hafni.
Hafni mengatakan, sekitar 50 – 70 penumpang sempat berpegangan di sisi kapal yang sudah terbalik. Namun, setelah sekitar lima menit, kapal tersebut pun tenggelam dan orang-orang tidak punya pegangan lagi. Mereka tenggelam satu per satu. Suasana saat itu, kata mereka, sangat menakutkan dan mencekam.
Meskipun mereka berpegang pada pelampung atau helm, ombak setinggi satu meter beberapa kali menghantam mereka. Angin kencang, langit mendung, dan gerimis, menambah kegelisahan mereka. “Saya masih seperti bermimpi mengingat peristiwa itu,” kata Toni.
Suasana di tengah danau yang awalnya riuh oleh tangis histeris dan teriakan minta tolong berlahan-lahan menjadi sepi.
Para korban selamat awalnya merasa tenang melihat kapal feri KMP Sumut I dan KMP Sumut II mendekati mereka yang sedang terombang ambing di danau. Namun, hanya tiga orang saja yang bisa diselamatkan feri itu. Sementara sisanya ditinggalkan di tengah danau.
Suasana di tengah danau yang awalnya riuh oleh tangis histeris dan teriakan minta tolong berlahan-lahan menjadi sepi. Mereka pun sangat bersyukur ketika sebuah kapal kayu KM Sinta Damai datang menolong mereka. Cerita tentang apa yang mereka alami tersebut pun menjadi sebuah ficer di berjudul “Saat Pelayaran Abaikan Keselamatan”.
Pada pencarian hari berikutnya, saya pun fokus mencari foto evakuasi korban. Saya memperkirakan akan ada korban tewas yang ditemukan dan dievakuasi dari danau. Namun, ketika saya berjalan ke Pelabuhan Tigaras, Rabu (20/6/2018) sekitar pukul 07.00 WIB, sebuah mobil ambulans melintas di dekat saya. Saya sangat kesal ketika itu karena melewatkan satu momen evakuasi jenazah.
Saya pun akhirnya memutuskan ikut Kapal SAR 412 untuk memotret gambar pencarian di tengah danau. Saya berharap ada temuan korban kapal tersebut. Setelah sekitar satu jam melakukan pencarian, seorang petugas SAR menerima telepon dari warga yang melaporkan penemuan jenazah di tepi danau. Kapal pun dipacu dengan kecepatan penuh ke lokasi tersebut.
Namun, setelah sekitar setengah jam, telepon kembali masuk dan mengatakan bahwa jenazah tersebut telah diantar oleh warga ke Pelabuhan Tigaras dengan menggunakan kapal cepat milik warga. Saya bersama beberapa fotografer yang ada di kapal tersebut pun akhirnya ketinggalan momen itu.
Pada siang harinya, sekitar lima orang polisi bersama satu orang warga berlari lalu melompat ke perahu karet. Insting saya waktu itu menyatakan ada temuan korban sehingga saya ikut melompat ke perahu itu. Setelah melaju beberapa meter, saya bertanya ke mereka dan benar ada dugaan temuan jenazah.
Beberapa saat setelah kapal melaju, saya menyadari saya tidak memakai jaket pelampung. Nyali saya seketika ciut. Dengan menggunakan perahu karet, permukaan air Danau Toba berada sangat dekat di samping saya. Airnya tampak biru menandakan kedalamannya. Sepanjang berlayar itu, saya pegang tali di sisi perahu kuat-kuat. Sesekali saya turun ke lantai perahu, tidak berani duduk di samping. Air empasan ombak pun menerjang kami berkali-kali, menambah rasa takut.
Setelah melaju lebih dari satu jam, kami pun tiba di Desa Sipolha. Namun, yang kami lihat di sana justru para wisatawan yang sedang asyik memancing di tepi danau, duduk di atas batu-batu besar hasil letusan Gunung Api Toba purba. Lalu petugas polisi menanyakan keberadaan jenazah yang mereka sebutkan. “Tidak ada, kami hanya menemukan corong minyak, itu pun sudah dibawa orang. Ini tadi fotonya,” kata warga yang menunggu di sana.
Petugas polisi tersebut pun sempat marah. Ternyata warga yang melapor tersebut hanya dikerjai temannya.
Isak tangis keluarga korban
Pada pencarian hari-hari berikutnya, isak tangis dan kesedihan keluarga korban lebih banyak mewarnai. Dalam setiap wawancara dengan keluarga korban, sering sekali saya harus berhenti dan pergi karena tidak bisa menahan haru. Setiap ada ibadah penghiburan, Pelabuhan Tigaras berubah menjadi lautan tangis.
Sarni boru Simarmata (48), warga Simalungun, menyanyikan kidung rohani sambil terisak-isak sepanjang lagu. Ia menangisi anaknya, Ranto Pajar Siregar (25), yang hilang bersama KM Sinar Bangun. Saya pun menyaksikan Sarni setiap malam tidur meringkuk beralaskan tikar di sebuah ruangan kecil di pelabuhan. Setiap kali memotretnya, saya tidak bisa menahan air mata melihat ia yang selalu bermuram durja.
Yang paling memilukan adalah melihat Alif, yang usianya belum genap setahun, digendong oleh neneknya. Anak itu kadang menangis dan kadang ceria. Ia tidak mengerti kalau ayah dan ibunya, Dodi Septian dan Arin, yang sangat menyayanginya mungkin tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Ia sebatang kara. Alif sebenarnya sudah berpakaian rapi dan akan ikut berangkat liburan bersama ayah dan ibunya. Namun, neneknya mengambil Alif dari gendongan ibunya. Mereka sempat tarik-menarik, namun akhirnya ibunya yang mengalah.
Di sudut lain, di sebuah tenda, Sri Santika (25) yang sedang hamil anak pertama duduk termenung. Tatapannya kosong. Ia salah satu korban selamat, tetapi suaminya, M Irfan (22), hilang. Saya duduk hampir setengah jam di sampingnya sebelum memulai wawancara. Saya tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana untuk bertanya kepada Sri yang sedang hamil dua bulan itu.
Sri dan Irfan, yang baru menikah tiga bulan, sempat mengapung di air dan berpegangan di kapal yang sudah terguling. “Kita harus membesarkan anak kita sama-sama,” kata Sri kepada suaminya ketika itu.
Namun, ketika kapal tenggelam, mereka terbawa arus ke dalam air. Sri pun berhasil naik ke permukaan, namun suaminya tidak muncul. Sri beruntung mendapat helm sebagai pelampung sesaat. Ia akhirnya berbagi jaket pelampung dengan seorang pria yang belakangan ia ketahui bernama Rahman Saputra (22). Mereka berdua akhirnya selamat.
Pencarian KM Sinar Bangun pun sudah dihentikan. Namun, bayang-bayang tentang isak tangis di tepi Danau Toba, belum juga hilang dari pikiran dan hati siapa saja yang menyaksikannya. Sebuah monumen bertuliskan nama-nama korban akan didirikan di sekitar Pelabuhan Tigaras untuk mengenang tragedi dan para korban. Cukup banyak air mata yang telah bercucuran. Peristiwa yang seharusnya bisa dihindarkan itu harus jadi pelajaran bagi pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
Terlalu mahal harga yang harus kita bayar jika tragedi KM Sinar Bangun tidak menjadi pelajaran dalam membenahi pelayaran di Danau Toba. Tragedi ini bukan yang pertama, tetapi semoga menjadi yang terakhir...