Ikut Merasakan Suasana Mudik dengan KM Nggapulu
Tahun ini, pemudik di tanah Jawa, saya dengar bersukacita akibat membaiknya infrastruktur jalan. Namun, Indonesia tidak hanya Pulau Jawa. Selama empat tahun meliput arus mudik di Maluku, kisah getir yang dialami pemudik jalur laut bak episode film yang terus diputar ulang.
Kondisi itu terjadi tiap tahun karena keterbatasan sarana kapal sehingga tiket cepat ludes. Pemudik juga memaksakan diri pulang kampung walau dengan kapal barang yang sesungguhnya minim alat keselamatan. Belum lagi, ada drama kericuhan di loket-loket di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon.
Pada tahun kelima ini, saya ingin memotret lebih dalam tak sebatas mengikuti pemudik hingga ke bibir dermaga saja. Saya memutuskan berlayar dengan KM Nggapulu dari Ambon ke Kepulauan Banda Naira di Kabupaten Maluku Tengah dan selanjutnya ke Kota Tual.
Beberapa buruh terlihat menyerbu pintu angkot dan menawarkan diri untuk membawa barang pemudik ke atas kapal. Mereka berlari di jalur kendaraan tanpa peduli dengan laju kendaraan di belakangnya.
Pengendara sepeda motor pun wajib waspada. Situasinya lebih kurang seperti mengemudi kendaraan di gang sempit dimana ada banyak anak kecil bermain. Jalan pun seolah menjadi halaman bermain mereka. Rasa kesal sudah mulai muncul sejak di gerbang pelabuhan itu.
Memasuki halaman depan loket pemeriksaan tiket, lautan manusia sudah mengantre di sana. Sebagian dari mereka juga telah memenuhi ruang tunggu keberangkatan.
Mengapa? Di titik ini sering terjadi debat kusir yang memakan waktu dan menguras energi. Terkadang, ada orang tanpa berbekal tiket menyamar sebagai pengantar agar bisa masuk ke ruang tunggu, dan selanjutnya naik ke atas kapal.
Padahal, di depan loket itu terpampang spanduk yang berisi bahwa pengantar tak boleh masuk. Tulisan itu cukup besar sehingga jelas terbaca oleh siapapun yang berniat baik untuk membaca.
Masih ada modus lain, yakni bekerja sama dengan oknum buruh. Pernah ada buruh yang meminjamkan seragamnya ke orang yang tidak memiliki tiket. Dengan modal seragam itu, sang calon penumpang gelap dapat masuk ke ruang tunggu kemudian naik kapal.
Pernah ada buruh yang meminjamkan seragamnya ke orang yang tidak memiliki tiket.
Di pintu masuk kapal memang tidak ada lagi pemeriksaan. Setelah di dalam kapal, baju itu dititipkan kembali kepada buruh lainnya untuk kemudian dibawa kembali ke dermaga.
Lalu, bagaimana dengan pemeriksaan tiket saat kapal sudah berlayar? Mereka yang tidak mengantongi tiket itu biasanya memberikan uang tunai kepada anak buah kapal. Jika uang yang diberikan jauh di bawah harga tiket, ya tetap saja diterima. Tak mungkin pula, mereka diminta turun di tengah laut. Ini jelas bukan angkot.
Selain dengan petugas, adu mulut antarpemudik dan buruh juga sering terjadi di ruang tunggu Pelabuhan Yos Sudarso yang sempit dan pengap. Ketika ruang tunggu sudah disesaki dengan penumpang yang berdiri, petugas malah mengizinkan buruh dengan barang bawaan masuk ke dalam ruang tunggu.
Tanpa ada permisi, para buruh itu kerap menabrak penumpang. Di tengah malam itu, saya sempat menegur seorang buruh yang menabrak anak kecil. Kardus yang dibawanya begitu saja menghantam kepala seorang anak sehingga emosi saya meluap.
Di tengah malam itu, saya sempat menegur seorang buruh yang menabrak anak kecil.
Menurut Affan Tabona, Kepala Pos Komando Angkutan Lebaran di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon, selama arus mudik memang terjadi lonjakan penumpang, Otoritas Pelabuhan, kata Affan, sering menjadi sasaran amukan calon penumpang karena kapasitas kapal tidak memadai.
"Kami juga sering pasang badan menghadapi calon penumpang. Apalagi, mereka tidak segan memancing ricuh," ujar Affan.
Berebutan
Ketika kapal sandar, saya bersama ribuan pemudik berdesakan naik ke atas kapal. Saling dorong pun tak terelak. Kenapa saling dorong dan berebut naik? Karena yang lebih dulu naik kapal, berpeluang untuk mendapatkan kasur untuk tidur.
Kondisi ini sering dimanfaatkan oknum buruh. Ada yang menguasai kasur dan menjualnya kepada penumpang. Saya sempat ditawari kasur seharga Rp 100.000. Mereka menawarkan secara terbuka kasur itu tepat di hadapan petugas dan tentara yang diperbantukan di atas kapal itu. Tentu saja, saya mengantongi identitas diri sebagai wartawan.
Setelah selesai bongkar muat, pada hari Jumat (8/6/2018) sekitar pukul 03.30, KM Nggapulu yang mengangkut 2.134 orang penumpang lepas tali dari Pelabuhan Yos Sudarso Ambon menuju Banda Naira.
Penumpang pun mulai terpencar. Mereka yang tak mendapatkan kasur, membeli tikar dan membentangkannya di lorong kapal maupun di dek bagian luar dekat pagar.
Setelah berlayar sejauh 244 kilometer (km) selama 8 jam, kapal tersebut sandar di Pelabuhan Banda Naira sekitar pukul 11.30 WIT pada hari yang sama. Sekitar 1.000 pemudik turun di sana.
Selanjutnya kapal berlayar menuju Tual selama 12 jam dan sandar pada keesokan harinya pukul 01.30 WIT. Perjalanan saya pun berakhir di Tual.
Kebetulan dalam perjalanan itu, saya bertemu dengan Slamat Tamnge, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ambon. Ia mudik ke Tual. Selama perjalanan itu, dia menemani saya ngobrol.
Dari Slamat, saya menjadi paham kalau angkutan laut dipilih oleh karena murah. Tarifnya hanya Rp 237.000 per orang dari Ambon menuju Tual. Bandingkan dengan tarif penerbangan Ambon-Tual yang mencapai Rp 1,7 juta.
Bayangkan, satu keluarga dengan dua anak membutuhkan dana Rp 6,8 juta untuk mudik andaikata mereka memutuskan pulang dengan maskapai penerbangan. Pulang-pergi artinya membutuhkan dana hingga Rp 13,6 juta.
Selama perjalanan itu, saya juga ikut sahur dan buka puasa bersama Slamat. Saya ingin meresapi perjalanan sebagai pemudik sungguhan.
Saya menyiapkan makanan berbuka dan sahur untuk kami berdua selama dua hari itu. Sebagai penganut Katolik, saya juga pernah berpuasa dan pantang ketika Jumat Agung. Namun, frekuensi berpuasa yang minim membuat tubuh saya tidak terbiasa. Saya bahkan sempat lemas di atas kapal.
Dalam perjalanan itu, setelah membuka identitas diri, saya juga berkesempatan mewawancarai nahkoda KM Nggapulu Robert Yan Makalew di ruang kemudi. Ternyata, Robert memimpin 102 anak buah kapal untuk melayani rute tersebut. Selama pelayaran, anak buah kapal bergantian jaga setiap empat jam.
Kami banyak berbincang. Saya juga sempat menceritakan perihal jual beli kasur di kapalnya. Menurut Robert, hal itu sebenarnya bukan kebijakan dari manajemen kapal. Namun, ia tetap berjanji mengeceknya.
Robert kemudian juga sempat menceritakan suka duka sebagai pelaut. Pada saat arus mudik, misalnya, nahkoda, kepala kamar mesin, dan mualim I tak boleh cuti. Selama bertahun-tahun, mereka juga kerap merayakan hari keagamaan di atas kapal. Sebuah pengabdian untuk kebahagiaan sesama.
Setelah tiba di Tual, pada Minggu (10/2/2018) pagi, saya terbang pulang ke Ambon. Namun, pengalaman mengikuti pemudik dengan kapal laut jelas menjadi pengalaman berharga saya sebagai jurnalis. Sungguh, dibutuhkan perjuangan tidak ringan untuk dapat berkumpul dengan keluarga.
Saya juga berharap mudah-mudahan suatu hari nanti, perjalanan mudik di Ambon, di negeri kepulauan ini, semudah perjalanan mudik saudara-saudara kami di Jawa.