Lima Menit Terlama dalam Hidup Saat Bertemu Penyerang Mapolda Riau
Hari Rabu (16/5/2018) pagi, situasi di Markas Polda Riau di persimpangan Jalan Sudirman dan Jalan Gajahmada Kota Pekanbaru, Riau, tidak seperti biasanya. Di gerbang pintu masuk sisi selatan, di Jalan Gajahmada, penjagaan lebih ketat. Dua polisi memakai rompi warna hitam bersenjata, berjaga di pintu. Warga tanpa kepentingan jelas dilarang masuk.
Padahal, biasanya pintu gerbang itu selalu terbuka. Masyarakat apalagi insan pers yang ingin menggali informasi dari Polda dapat leluasa masuk dan keluar. Pagi itu pintu selatan ditutup dan dijaga ketat.
Di koridor jalan menuju teras pintu masuk ruangan utama mapolda bersiaga sejumlah polisi bersenjata laras panjang dan memakai rompi hitam. Sempat muncul pemikiran, ”Ah, penjagaan ketat itu kan amanat Kepala Polri agar seluruh mapolda bersiaga terhadap serangan teror.”
Tepat pukul 09.00, saya masuk dari gerbang selatan tanpa banyak pertanyaan penjaga. Penjaga memaklumi karena pagi itu Kepala Polda Riau Inspektur Jenderal Nandang dijadwalkan memberi keterangan pers tentang penangkapan narkoba dalam jumlah signifikan. Jadi, awak media dipersilakan masuk asal menunjukkan identitas.
Sesampainya di teras ruangan utama mapolda terlihat sebuah meja panjang yang berisi barang bukti sabu dan ekstasi. Barang ilegal itu cukup banyak disusun dalam tumpukan sepanjang 2 meter. Di belakang meja terdapat empat kursi yang masih kosong.
Acara belum dimulai. Saya lalu menyalami rekan media televisi dari Net TV, Oki VJ Sulistio, dan Chairul Hadi dari situs Goriau.com. Di situ terlihat wartawan foto harian Tribun Pekanbaru, Dodi Vladimir, juru kamera MNC TV Rahmadi, dan juru kamera TV One Ryan Rahman, serta seorang jurnalis perempuan muda bertubuh mungil yang belum saya kenal.
Wartawan yang datang pagi itu berjumlah tujuh orang dari biasanya mencapai 20-30 orang.
Karena acara belum juga dimulai, saya berbincang-bincang dengan rekan media televisi walau Brigadir Kepala Al Muzammil dari Bidang Humas Polda Riau memotong perbincangan dan meminta jurnalis mengisi daftar hadir.
Seusai membubuhkan tanda tangan, tiba-tiba terdengar suara sangat keras dari gerbang utama di sisi barat, di Jalan Sudirman. Saya sempat menyangka suara itu ledakan bom. Namun, kecurigaan itu segera lenyap karena tiada kepulan asap tebal. Oki, rekan dari Net TV, menduga ada tabrakan mobil.
Namun, belum sempat beranjak menuju lokasi terdengar teriakan keras dari beberapa polisi yang berada di koridor jalan di depan gerbang utama menuju pintu masuk ruangan utama mapolda. Ternyata sebuah mobil berwarna putih yang melaju kencang menabrak seorang polisi. Belakangan diketahui, korban yang ditabrak itu Inspektur Dua Auzar, petugas bidang Lalu Lintas Polda Riau.
Bunyi keras yang diduga bom tadi adalah suara benturan keras bagian depan mobil Avanza bernomor polisi BM 1192 RO yang menghantam pintu gerbang utama dalam kondisi setengah terbuka.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Sunarto, sebelum mobil itu menabrak pintu, penjaga baru membuka gerbang karena ada kendaraan polisi yang masuk. Saat itulah mobil maut tersebut menabrak gerbang dengan keras.
Setelah menabrak Auzar, mobil itu menabrak sebuah kendaraan roda dua milik polisi dan berhenti di tikungan berbentuk L yang mengarah ke pintu masuk ruangan utama mapolda. Dua orang berbaju hitam-hitam memakai sebo dan sarung tangan bergegas turun dengan menghunus pedang. Keduanya langsung mengejar beberapa polisi berseragam.
Polisi melawan
Komisaris Farid Abdullah yang paling dekat dengan orang itu langsung dibacok pedang di bagian belakang kepalanya. Baru pada saat itu terdengar jelas beberapa polisi meneriakkan kata ”teroris menyerang, teroris” berulang-ulang dengan lantang. Polisi yang sudah siaga dengan bersenjata langsung melawan dengan tembakan terarah untuk melumpuhkan.
Polisi yang sudah siaga dengan bersenjata langsung melawan dengan tembakan terarah untuk melumpuhkan.
Sesaat kemudian, mobil putih itu kemudian meluncur kencang menuju arah pintu masuk utama ruangan mapolda. Seluruh polisi dan wartawan, termasuk saya, langsung berlari menyelamatkan diri ke segala arah. Pikiran yang muncul saat itu, teroris pasti membawa bom atau paling tidak senjata api.
Mobil itu kemudian berhenti di depan teras dan menurunkan seorang penumpang lainnya. Saya sudah bersembunyi di belakang tempat parkir mobil petinggi polisi. Suara letusan pistol dan senjata laras panjang terdengar bersahut-sahutan.
Mobil minivan putih jenis Avanza yang dipakai kelompok teroris dalam aksi di Mapolda Riau, Rabu (16/5/2018). Oki dan Vladimir bersama beberapa polisi berlari berlawanan arah dengan saya. Mereka lari ke tempat parkir depan di bawah plang Mapolda Riau ke arah jalan Sudirman. Mereka bersembunyi di belakang deretan mobil yang diparkir. Oki mengatakan, saat bersembunyi itu, ia melihat seorang polisi yang tidak bersenjata menengadahkan tangan untuk berdoa.
”Saya mendengar polisi itu berdoa. Saya sebenarnya takut juga, tetapi kamera saya tetap berada di atas. Kamera tetap on bang biar dapat gambar,” kata Oki kepada saya setelah kejadian.
Vladimir, yang berada di dekat Oki, juga tetap mengabadikan foto-foto dari sudut tersembunyi.
Saya yang semula bersembunyi di belakang tempat parkir petinggi polisi berlari pelan menuju pintu keluar di Jalan Gajahmada. Bayangan tentang bom tetap menggelayuti di kepala. Namun, sesampainya di lokasi itu, pemandangan justru lebih horor. Mobil putih itu sudah berada di situ. Beberapa polisi sedang menembak seorang teroris. Laki-laki itu terjatuh. Suara tembakan sangat keras di telinga saya.
Orang berpakaian hitam itu tersungkur. Sempat terlihat Rahmadi, juru kamera MNC TV, meringkuk di aspal. Belakangan diketahui Rahmadi dan Ryan Rahman, juru kamera TV One, diserempet mobil teroris itu saat coba menyelamatkan diri keluar dari mapolda.
Melihat kondisi seperti itu, saya berbalik arah masuk kembali ke mapolda. Namun, seorang teroris berbaju hitam datang dari arah dalam. Saya berpapasan dan berhadap-hadapan langsung dengan teroris itu. Jaraknya hanya sekitar 2 meter.
Saya berpapasan dan berhadap-hadapan langsung dengan teroris itu. Jaraknya hanya sekitar 2 meter.
Dalam pikiran saya, tidak ada kesempatan melarikan diri. Kalau teroris itu memegang senjata api dan memuntahkan peluru, pasti saya akan terkena. Kalau teroris itu meledakkan bom, pasti tubuh saya akan menjadi serpihan. Untungnya, teroris itu tidak memedulikan saya. Ia terus berlari menuju pagar selatan.
Suasana masih kalut. Seorang polisi yang berpapasan dengan saya malah berkata,” Ada peluru, ada peluru, bagi kepada saya.” Saya hanya diam. Tentu saja, saya tidak membawa peluru. Pistol saja tidak punya.
Saya kembali bersembunyi di balik mobil petinggi polisi di tempat parkir. Saya mulai menghidupkan kamera telepon genggam untuk mengambil gambar dan video.
Seorang polisi mengejar teroris itu dari belakang. Dengan tenang, dia menembak teroris itu dari jarak sekitar 10 meter. Lelaki berbaju hitam itu langsung roboh.
Setelah itu tidak ada suara tembakan. Saya melihat dua mayat lain yang tergeletak di aspal. Pertama di jalan koridor persis di tikungan awal ketika mobil putih itu berhenti. Kedua di depan teras pintu masuk mapolda. Jadi ada total empat mayat.
Pada pukul 09.11, atau enam menit setelah kejadian itu, saya menelepon Kepala Biro Sumatera di Medan Aufrida Wismi. Namun, telepon tidak diangkat. Setelah diam sejenak, saya menelepon Redaktur Pelaksana Kompas Mohammad Bakir. Cak Bakir, begitu panggilannya, meminta saya menenangkan diri terlebih dahulu baru bersiap mengirimkan berita.
Secara tidak sengaja, saya mendengar pembicaraan Kepala Polresta Pekanbaru Komisaris Besar Susanto. Dia memerintahkan anak buahnya mencatat nomor polisi mobil putih. Ia kemudian meminta anggotanya menelusuri pemilik nomor mobil itu untuk melakukan pengejaran.
Dari penelusuran nomor polisi itu diketahui bahwa mobil itu berasal dari Kota Dumai, yang berjarak sekitar 170 kilometer dari Pekanbaru. Belakangan ada delapan orang diciduk di Dumai setelah teror di Mapolda Riau.
Saya kemudian melihat Brigadir Jhon Hendrik dipapah masuk dari luar pagar Jalan Gajahmada. Keningnya berdarah. Tidak lama kemudian, terlihat pula Komisaris Farid Abdullah dibopong oleh rekannya. Baju Farid berlumuran darah. Darah masih mengalir dari bagian belakang kepalanya sampai ke leher.
Tubuh Auzar, Farid, dan Jhon segera dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara yang berjarak 500 meter dari mapolda. Namun, nyawa Auzar tidak tertolong.
Jenazah anggota polisi Iptu Auzar dimakamkan dengan cara kebesaran Polri. Auzar adalah korban teror teroris di Mapolda Riau pada Rabu (16/5/2018). Setelah setengah jam bertahan di mapolda, Kombes Susanto memerintahkan anggotanya untuk mensterilkan lokasi. Saya dan Hadi, wartawan lain yang tersisa, diminta keluar dari mapolda. Seluruh lingkungan di luar mapolda sudah dijaga ketat oleh anggota Brimob.
Saya berjalan keluar perlahan melewati gerbang selatan. Pikiran saya kosong. Secara refleks saya berbelok ke kiri menuju Balai Wartawan di Jalan Sumatera, tidak jauh dari mapolda. Namun, seorang anggota Brimob yang berdiri di tengah jalan membentak saya dengan keras agar jangan berjalan ke arah kiri.
Brimob itu menuding saya berniat melihat barang bukti mobil teroris yang sudah diparkir di pinggir Jalan Gajahmada. Saya hanya diam, tidak membalas.
Saya kemudian berjalan menuju Tugu Zapin atau tugu titik nol kilometer Riau. Di situ sudah ada beberapa wartawan. Jalan di depan mapolda sudah ditutup total. Semua kendaraan disuruh memutar.
Di pinggir jalan, dekat dengan kantor Kejaksaan Tinggi Riau, terlihat seorang polisi berpakaian preman berjaket coklat muda memerintahkan dua orang yang membawa ransel berhenti. Pistolnya tidak mengacung, tetapi dipegang erat ke arah bawah.
”Buka ranselmu, keluarkan isinya. Tarik bajumu ke atas. Cepat, ikuti perintah saya,” kata polisi itu.
Dua orang itu mengikuti perintah. Karena tidak ada yang dicurigai, mereka disuruh pergi menjauh dari mapolda. Situasi akhirnya dapat dikendalikan secara penuh oleh polisi.
Hari Kamis (17/5/2018), kehidupan di sekitar Mapolda Riau kembali seperti biasa. Namun, bekas serangan itu masih membekas, meninggalkan luka besar yang akan diingat lama.
Benar kata Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin bahwa teror tidak pernah dapat diduga. Kapan saja dan di mana saja teror dapat terjadi, bahkan di kantor polisi.
Jadi, waspadalah, waspadalah.