Berburu Sape’ ke Pedalaman Kalimantan, Cerita Tak Terlupakan
Menuju jantung sape’ di Kalimantan Barat berarti menuju ke cerita tak terlupakan. Terik matahari yang merata dari ”Kota Khatulistiwa” sampai ke pedalamannya memanggang raga. Sementara menanti penerbangan yang terlambat hingga total empat jam membakar emosi jiwa.
Inilah perjalanan ketiga tim ekspedisi Alat Musik Nusantara Kompas yang terdiri dari Mohammad Hilmi Faiq dan Fransisca Romana Ninik (reporter), Agus Susanto (fotografer dan videografer), dan Dicky Indratno (grafis). Dua anggota tim program Bentara Budaya, Ika W Burhan dan Ni Wayan Idayati, turut serta dalam perjalanan menyenangkan sekaligus melelahkan ini.
Baca juga Tutur Visual: Sape’ Luwes Merespons Zaman
Fokus ekspedisi kali ini adalah alat musik petik khas Dayak Kayaan dan Dayak Kenyah, sape’. Alat musik ini sudah masuk dalam warisan budaya tak benda. Namun, referensi atau penelitian mendalam tentang sape’ sangat minim.
Liputan dijadwalkan dalam dua putaran. Putaran pertama berlangsung sepekan pada 21-26 Maret 2018 dengan anggota tim penuh untuk mengulik seluk-beluk sape’ di Kota Pontianak dan Putussibau di Kabupaten Kapuas Hulu. Putaran kedua selama tiga hari pada 20-22 April 2018 yang dilakukan Faiq seorang diri di Desa Datah Diaan, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu.
Begitu tiba di Pontianak, kami langsung disambut hari titik kulminasi matahari (vernal equinox). Turun dari pesawat, tujuan pertama kali jelas ke Taman Khatulistiwa untuk melihat diri kami ”tanpa bayangan”. Ini merupakan fenomena alam ketika matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa yang terjadi dua kali setahun, yakni pada 21 Maret dan 23 September.
Posisi itu membuat obyek-obyek di sekitar Tugu Khatulistiwa kehilangan bayang-bayang meskipun tidak hilang secara harfiah. Bayangan jatuh tegak lurus atau di bawah kaki sehingga seolah-olah hilang.
Taman Khatulistiwa sudah penuh pengunjung yang menikmati keramaian dan fenomena alam tersebut. Salah satu atraksi menarik adalah mendirikan telur. Banyak pengunjung mencoba, ada yang berhasil, banyak yang gagal. Masih misterius hubungan antara hari tanpa bayangan dan telur tegak berdiri. Tetapi justru misteri itu yang menjadi salah satu daya tariknya.
Selama dua hari di Pontianak, kami menemui beberapa orang yang menggeluti sape’. Bersama seniman dan pemerhati musik Dayak, Yohanes Eugenio Palaunsoeka, kami mendapat pemahaman awal tentang sape’. Alat musik ini sudah berkembang dari awalnya berdawai dua untuk pengiring ritual tradisional menjadi berdawai tiga atau lebih untuk hiburan kontemporer. Dia juga menunjukkan beberapa alat musik lain yang terkait dengan sape’, seperti keledi.
Proses pembuatan sape’ ini amat penting untuk kami dokumentasikan sebagai tambahan informasi visual.
Kami juga bertemu anak muda yang beralih dari seniman tato menjadi pembuat sape’, Dian Pangestu alias Atong (26). Dengan pembawaannya yang santai, dia menunjukkan cara membuat sape’ sejak dari awal berbentuk balok kayu hingga bisa berdenting merdu.
Proses pembuatan sape’ ini amat penting untuk kami dokumentasikan sebagai tambahan infomasi visual. Ketika memasuki tahap pemasangan dawai, Atong menghentikan aktivitasnya. Dia lalu menelepon rekannya dalam bahasa Ahe, subsuku Dayak. Kami mengira dia memasang dawai atau senar gitar untuk sape. ”Bukan. Ini lagi mau pasang togel,” katanya yang memicu tawa kami.
Kami bersua pula dengan Ferinandus Lah alias Fery Sape’ (39), pemain sape’, yang telah membawa sape’ keluar dari ”sarang” dan mendunia. Dia memainkan lagu-lagu daerah dengan iringan sape’ kontemporer, begitu juga lagu pop Indonesia dan Barat.
Memperkenalkan sape’ kepada masyarakat yang lebih luas adalah misi Fery. Dia bahkan mewakafkan dirinya untuk mengembangkan sape’ sebagai identitas budayanya, Dayak Kayaan.
Menuju Mendalam
Petualangan yang kami nantikan akhirnya tiba. Menggunakan pesawat ATR, kami menuju ke Bandara Pangsuma di Putussibau untuk melihat secara langsung dinamika sape’ di jantungnya. Banyak yang menyarankan agar kami menempuh jalan darat dari Pontianak ke Putussibau yang memakan waktu semalaman untuk merasakan alam Kalimantan yang sesungguhnya. Ada pula yang mengusulkan kami menempuh perjalanan menyusuri Sungai Kapuas dengan kapal agar petualangan lebih seru.
Namun, berkejaran dengan jadwal yang sudah disusun, perjalanan dengan pesawat baling-baling menjadi pilihan. Ada dua maskapai yang melayani penerbangan Pontianak-Putussibau. Kami mendapat salah satu yang dikenal sering terlambat hingga berjam-jam. Kami beruntung saat berangkat pesawat lepas landas dan mendarat tepat waktu.
Setelah bertemu Dominikus Uyub, musisi dan pelestari sape’, kami diajaknya ke kampung halamannya, sekitar satu jam perjalanan dari Kota Putussibau ke dalam hutan. Di Desa Datah Diaan yang berada di daerah aliran Sungai Mendalam itulah sape’ dibuat, dimainkan, dan dipergunakan dalam segala aspeknya.
Mobil belum bisa masuk desa karena harus menyeberangi Sungai Mendalam yang belum berjembatan. ”Pemerintah baru membuat jembatan yang mungkin akhir tahun ini selesai. Namun, jembatan itu hanya boleh untuk ambulans,” kata Uyub.
Kami menyeberangi sungai menggunakan jasa penyeberangan dengan membayar Rp 10.000. Perahu bermesin yang mengangkut kami sering kali membawa serta sepeda motor warga yang hendak ke kota dari Desa Datah Diaan.
Berkeliling Desa Datah Diaan hingga ke Desa Padua Mendalam, bertemu dan bercakap-cakap dengan warga, menyesap kopi sambil menyaksikan langsung permainan sape’ dari ”masternya”, juga bermain-main di karangan (pulau kecil di tengah sungai) Sungai Mendalam, membuat kami bolak-balik Putussibau-Mendalam hingga tiga kali hingga hari terakhir kunjungan.
Berulang kali kembali ke kawasan Mendalam ini seperti pulang. Sebab, warga di sana sangat ramah dan suasana alamnya demikian menggoda: asri dan tenang. Suara kicau burung menyelingi semilir angin yang menabuh dedaunan. Bunyi kokok ayam menghangatkan sore. Yang paling mengesankan, desa di tepi sungai ini sangat bersih. Nyaris tak ada sampah berserak di jalan.
Kesan itu tak ingin hilang begitu saja. Tentu salah satunya adalah memperbanyak foto. Cara lainnya, kami memesan sape’ mini dengan panjang 68 sentimeter. Kelak alat musik berdawai ini akan mengobati rindu ketika kami ingin kembali ke Mendalam.
Pada hari terakhir, kami berburu cendera mata, seperti gelang, sendok kayu, dan madu hutan Kalimantan. Pengemasan oleh-oleh ini tidak begitu repot lantaran koper cukup lega. Kecuali Ida yang terpaksa membeli koper lantaran tempo hari waktu berangkat hanya membawa tas.
Akhir petualangan yang seru menjadi kurang menyenangkan karena kami harus menunggu pesawat menuju Pontianak yang ditunda selama 2,5 jam tanpa pemberitahuan sebelumnya. Jadi, kami terpaksa keleleran di bandara sambil deg-degan dengan penerbangan selanjutnya ke Jakarta. Sekotak nasi yang menjadi kompensasi keterlambatan tak ampuh mengusir rasa gondok kami.
Ketika akhirnya kami terbang dan mendarat di Pontianak dan hendak menyambung pesawat ke Jakarta, penerbangan kembali ditunda selama satu jam tanpa keterangan yang jelas, kecuali hanya disebut karena alasan teknis. Seharusnya kami sudah tiba kembali di Jakarta sore hari, tetapi baru menjelang tengah malam kami tiba di tujuan dengan lelah berlipat-lipat. Lelah jiwa dan raga karena pesawat ditunda.