Memotret Kekeringan di Gunung Kidul, Berbuah Penghargaan WAN-IFRA
Keberadaan air yang sangat vital bagi kehidupan serta berbagai problematika yang menyertainya selalu menjadi salah satu obyek ketertarikan saya selama hampir 10 tahun berkarya sebagai pewarta foto di Harian Kompas. Meski bukan jadi tujuan akhir liputan saya, salah satu foto itu berbuah penghargaan internasional WAN-IFRA.
Oleh
Ferganata Indra Riatmoko
·6 menit baca
Keberadaan air yang sangat vital bagi kehidupan serta berbagai problematika yang menyertainya selalu menjadi salah satu obyek ketertarikan saya selama hampir 10 tahun berkarya sebagai pewarta foto di harian Kompas. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan air serta menggunakan sumber daya itu secara bijak diyakini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui karya jurnalistik.
Semenjak bertugas di Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 2008, saya kerap melakukan liputan di daerah yang hampir setiap tahun mengalami kekeringan, yakni di Kabupaten Gunung Kidul. Wilayah yang berbatasan dengan Laut Selatan itu kerap didera kekeringan saat kemarau dengan salah satu wujudnya berupa mengeringnya sejumlah telaga yang menjadi andalan warga.
Tidak terlalu banyak perubahan terkait pemenuhan kebutuhan air bagi warga saat kemarau di Gunung Kidul selama bertahun-tahun. Hal itu membuat liputan kekeringan di wilayah yang diperkirakan telah dihuni sejak 700.000 tahun lalu itu seakan menjadi rutinitas.
Dari sudut pandang fotografi, liputan kekeringan di Gunung Kidul telah didominasi oleh gambar-gambar warga yang mengais air dari dasar telaga, mengantre air dari penjual truk yang menggunakan tangki, atau tanah kering yang retak-retak sebagai latar depan sebuah imaji. Saya merasa penyegaran foto liputan tentang kekeringan perlu dilakukan agar pembaca memperoleh sudut pandang atau gambaran baru tentang kebutuhan air warga setempat.
Berbekal keinginan untuk mendapatkan cara pandang yang baru, saya melengkapi peralatan liputan dengan peranti pesawat nirawak atau drone pada 18 Juli 2017. Pada liputan kekeringan tahun-tahun sebelumnya, saya hanya berbekal satu kamera DSLR, satu lensa sudut lebar, dan satu lensa tele 70-200 milimeter.
Pada malam hari sebelumnya, saya sudah mengisi penuh daya remote control dan dua baterai drone jenis Mavic Pro yang akan saya pergunakan. Selain itu, saya juga memastikan kartu memori micro SD sudah terpasang dengan benar di dalam badan drone dan dapat merekam dengan baik.
Saya berangkat dari Yogyakarta sekitar pukul 05.00 bersama dua rekan pewarta foto dengan harapan masih memperoleh aktivitas warga yang mencari air jika kami belum terlalu siang saat sampai di sana. Tempat yang kami tuju adalah Telaga Banteng di Desa Melikan, Kecamatan Rongkop, Gunung Kidul, yang berjarak 72 kilometer dari pusat kota Yogyakarta dengan waktu tempuh sekitar dua jam.
Pemilihan tempat itu berdasarkan pertimbangan kerapnya warga setempat kesulitan memperoleh air saat kemarau. Kondisi warga yang harus membeli air dengan harga berkisar Rp 120.000 per tangki kapasitas 5.000 liter saat kemarau masih terus berulang hingga saat ini.
Sesampainya di lokasi, saya menjumpai sejumlah ibu rumah tangga yang mengeruk dasar telaga dengan menggunakan gayung demi mendapatkan air. Air dikumpulkan melalui ceruk atau lubang yang digali dengan kedalaman 30-40 sentimeter dari permukaan tanah. Sambil berjongkok, air yang masih tersisa dipindahkan ke sejumlah ember dan jeriken yang dibawa dari rumah.
Setelah meminta izin memotret kepada sejumlah ibu yang sedang mengambil air tersebut, saya mulai memotret menggunakan kamera DSLR untuk mendapatkan gambar ”aman” dan kedua rekan saya juga melakukan hal serupa sementara peranti drone masih terlipat rapi di tas. Sekitar 10 menit melakukan pemotretan dengan berbagai sudut pengambilan gambar, saya segera beralih memotret menggunakan drone.
Drone disiapkan dengan menancapkan telepon pintar pada peranti remote control melalui perantaraan kabel data. Gawai telepon pintar tersebut berfungsi sebagai layar agar saya dapat melihat secara pasti imaji apa yang dipotret.
Menerbangkan drone di wilayah itu relatif tanpa kendala karena keberadaan interferensi sinyal yang berpotensi mengganggu penerbangan relatif minim sehingga drone dapat diterbangkan secara leluasa. Saya mewaspadai keberadaan pohon-pohon di sekitar telaga yang dapat membahayakan drone jika terbang terlalu dekat dan tersangkut dahan.
Saat menerbangkan dan mendaratkannya pun saya juga harus menggunakan teknik menangkap dengan tangan. Hal itu dilakukan agar debu yang berada di permukaan tanah dasar telaga tidak beterbangan dan terisap ke mesin baling-baling drone jika menerbangkannya melalui cara konvensional (dari permukaan tanah).
Melalui drone saya dapat memperoleh imaji keretakan tanah di dasar telaga yang telah mengering. Retakan tanah itu memunculkan struktur unik pada gambar yang diperoleh.
Pengambilan gambar dari atas dengan ketinggian sekitar 30 meter dapat menampilkan skala perbandingan antara warga pencari air dan luasnya telaga yang mengering. Selain itu, jejak kaki para pencari air yang tercetak pada tanah juga bisa menjadi simbol perjuangan mereka dalam memperoleh air untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Foto tersebut kemudian terpampang sebagai foto headline atau foto utama halaman pertama Kompas keesokan harinya.
Melalui foto ini, saya berhasil mewakili Kompas memperoleh Penghargaan Media Asia atau Asian Media Awards 2018 dengan meraih medali perak untuk kategori foto feature dalam ajang WAN-IFRA. Penyerahan penghargaan pada ajang konferensi antarmedia tingkat Asia itu dilakukan dalam ajang Publish Asia di Nusa Dua, Bali, 25 April 2018.
Liputan ke Telaga Banteng telah saya lakukan beberapa kali sebelumnya. Lebih jauh lagi, hal itu tidak dilakukan untuk mengeksploitasi mereka demi mendapatkan gambar yang menarik, tetapi demi menyampaikan kepada publik bahwa masalah kekeringan di tempat itu masih berulang selama bertahun-tahun tanpa adanya banyak perubahan.
Kekeringan juga masih kerap dialami di sejumlah wilayah lain di Gunung Kidul saat musim kemarau. Melalui imaji yang tertuang dalam koran diharapkan para pengambil kebijakan dapat tergugah untuk melakukan perubahan dan mengatasi permasalahan kekeringan yang seakan hanya menjadi hal rutin ini.
Upaya warga Gunung Kidul untuk melestarikan air juga menarik perhatian saya. Salah satu kegiatan yang pernah saya liput adalah tradisi Merti Telaga di tepi Telaga Sri Lulut, Dusun Serpeng, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu.
Tradisi sebagai wujud syukur atas keberadaan air telaga itu hanya diselenggarakan setiap lima tahun sekali sehingga untuk mendapatkan momen tersebut sangat berarti bagi saya.
Gunung Kidul tidak selalu identik dengan kekeringan. Pada belahan wilayah lain juga terdapat daerah yang keberadaan airnya melimpah. Bahkan, melimpahnya air dapat dimanfaatkan sebagai penggerak industri pariwisata, seperti salah satunya di Goa Pindul, Kecamatan Karangmojo.
Saat ini, obyek wisata itu menjadi sumber mata pencarian bagi warga setempat. Saat musim liburan panjang dapat dipastikan pengunjung tempat itu membeludak seperti yang saya abadikan pada 6 Mei 2016.
Dua sisi alam Gunung Kidul ini akan terus menarik untuk diikuti karena selalu menyimpan berbagai cerita humanis di balik suka-duka warga dalam berjibaku mencari air atau memanfaatkan airnya yang melimpah untuk kesejahteraan warga. Tanpa gebrakan berarti dari para pemangku kebijakan dikhawatirkan kesulitan air bersih di Gunung Kidul masih akan terus berlangsung hingga bertahun-tahun mendatang sehingga perubahan dari segi peliputan mungkin tidak akan signifikan.
Perulangan hasil liputan pun mungkin susah dihindari. Namun, bagi saya, selalu mencari hal baru dalam menghasilkan karya foto jurnalistik merupakan salah satu cara mengusir kejenuhan yang kadang muncul dari aktivitas pengulangan tersebut.