Lika-liku Liputan Pembebasan Sandera Abu Sayyaf
Hari Sabtu (26/3/2016) petang, saat berada di Pendopo Lounge, Hotel Borobudur, Jakarta, seorang sahabat yang menjadi aparat keamanan di salah satu negara ASEAN menginformasikan penyanderaan warga negara Indonesia di Laut Sulu. Benarkah terulang kembali penyanderaan di laut tersebut?
Tanpa membuang waktu, saya mengontak seorang perwira tinggi di Markas Besar TNI AL. Beliau bertanya, ”Tahu dari mana?” Tunggu sebentar ya….”
Tidak lama kemudian, ia meneruskan begitu saja jawaban dari mitranya di Markas Besar Angkatan Laut Malaysia. Kabar itu terkonfirmasi. Terdapat 10 WNI yang tidak diketahui keberadaannya dan lokasi terakhirnya di antara Kepulauan Sulu, Filipina, dan pantai timur Sabah, Malaysia.
Mereka adalah 10 WNI anak buah kapal tunda Brahma 12 yang menarik tongkang batubara dari Kalimantan Selatan menuju Pelabuhan Batangas, Filipina. Mereka dipekerjakan oleh anak perusahaan Grup Astra.
Filipina memang bergantung pada pasokan batubara dari Indonesia untuk pembangkit listrik. Pasokan batubara berasal dari Kalimantan dengan rute Selat Makassar-Laut Sulu masuk ke wilayah tengah Visayas dan Luzon di Filipina bagian utara.
Hilangnya Brahma 12 yang berlayar dengan kecepatan 5-8 knot per jam itu langsung membangkitkan kecurigaan tentang aktivitas kidnap for ransom. Bisnis penculikan di Filipina Selatan itu ”dirintis” kelompok Abu Sayyaf. Modusnya adalah penyergapan kapal-kapal atau warga di daerah pesisir Sabah atau Mindanao dengan kapal cepat berkecepatan tinggi.
Biasanya, kelompok Abu Sayyaf mengincar warga negara asing. terutama dari Eropa, Amerika, atau warga negara Malaysia dan Filipina dari kelompok Tagalog atau Castilla (berdarah Eropa dari wilayah utara) dengan identitas kultural berbeda.
Bajak laut
Basis kekuasaan kelompok ini berkisar di kawasan Basuta atau Basilan-Sulu dan Tawi-Tawi di Kepulauan Sulu yang membentang antara pantai timur Sabah di Lahad Datu, Sandakan di Pulau Kalimantan, dan Zamboanga di ujung barat Pulau Mindanao.
Wilayah Kepulauan Sulu ini bergejolak sejak lama. Di harian Kompas, Kamis, 31 Maret 2016, saya menulis soal karya sejarawan maritim Adrian B Lapian (alm), yakni buku Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut. Di buku itu, dia menulis, Kepulauan Sulu dan Mindanao sejak tahun 1700-an dan 1800-an sudah ditakuti karena aktivitas bajak laut dan perompakan.
Kepulauan Sulu dan Mindanao sejak tahun 1700-an dan 1800-an sudah ditakuti karena aktivitas bajak laut dan perompakan.
Dalam kosakata Melayu di Indonesia dikenal sebutan ”perompak lanun”. Lanun itu merujuk pada wilayah Lanao di sebelah barat Mindanao, dekat dengan wilayah Kepulauan dan Kesultanan Sulu.
Orang Spanyol di Filipina menyamaratakan ”Lanun” untuk menyebut etnis Maranao, Ilanun, Mangindano Tausug, dan Samal meski hanya etnis Tausug dan Samal yang menghuni Kepulauan Sulu.
Lapian dalam buku For Better of Worse menjelaskan, tahun 1600-an, sekitar Kepulauan Sulu-Mindanao-Sulawesi Utara dan Kalimantan Utara merupakan salah satu pusat ekonomi dan politik. Dia juga menuliskan, pada 1700-an dan medio 1800-an, para penjelajah Barat menyaksikan Kesultanan Sulu masih kuat.
Namun, pada awal 1800-an, Kesultanan Sulu sudah merosot. Salah satu penjelajah Barat itu adalah Thomas Forrest. Dia adalah orang Amerika yang membantu Thomas Raffles menulis karya History of Java.
Adanya tradisi memungut upeti atas kapal-kapal di perairan Sulu mengakibatkan Spanyol melancarkan perang tahun 1851. Sejak itulah wilayah Sulu-Mindanao menjadi panas. Perang Sulu terjadi enam kali hingga kekuasaan Spanyol berakhir tahun 1861.
Kapal ditemukan
Selang sehari kemudian, Minggu (27/3/2016), Brahma 12 ditemukan oleh aparat keamanan Filipina di Tawi-Tawi, Kepulauan Sulu. Terdapat coretan tulisan di kabin: Al Habsyi Misaya. Ternyata itu adalah nama komandan dari salah satu faksi Abu Sayyaf yang menyandera ABK Brahma 12.
Komunikasi pun berjalan antara tim negosiasi dari pihak perusahaan serta aparat pemerintahan dan keamanan. Lembaga yang terlibat antara lain Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen Negara (BIN), NCB Interpol Polri, dan Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI.
Ringkas cerita, saya tiba-tiba dihubungi seseorang dari perusahaan yang mempekerjakan ABK Brahma 12. Karena ketika itu saya sedang mengurus istri yang hamil tua, pertemuan berlangsung di depan sebuah rumah bersalin di kawasan Theresia, Menteng.
Pria itu, yang kemudian mengaku mewakili perusahaan itu, bertanya seputar modus operandi penculikan oleh Abu Sayyaf dan seluk beluk Filipina Selatan-Sabah-Kalimantan Utara, dan Sulawesi Utara. Kami pun berdiskusi.
Satu jaringan
Setelah itu, pria tersebut menanyakan kontak perseorangan atau lembaga di Indonesia yang memiliki jejaring luas di Istana Malacanang. Saya menyebut sebuah nama. Pria tersebut kemudian tersenyum dan menyodorkan tangan kemudian menjabat erat saya.
”Saya juga bekerja sama dengan orang yang Anda sebutkan. Kita satu jaringan,” ujar pria itu.
Dalam pertemuan rutin dengan tim perunding, akhirnya saya kerap diajak. Setiap petang, biasanya pukul 15.00 WIB, telepon masuk dari Filipina ke juru runding di Jakarta yang dipantau pihak perusahaan dan aparat Pemerintah RI.
Ketika dilakukan profiling suara, saya juga sempat diajak. Para penyandera bercakap dengan bahasa Melayu dengan nada kasar tetapi bukan penuturan dialek di Sabah, Kalimantan Utara, atau Sulawesi Utara.
Orang yang memegang telepon tersebut dipanggil dengan sebutan ”Pak Cik” atau paman. Terkadang, dia mempersilakan Kapten Brahma 12, yakni Peter Towsen Barahama, atau anak buahnya berbicara dengan perwakilan perusahaan ataupun juru runding.
Para ABK juga berhubungan dengan keluarga mereka yang tersebar di Sulawesi Utara, Jakarta, dan Kalimantan Selatan. Mereka meminta perusahaan mengikuti permintaan penyandera agar mereka dapat dibebaskan dan selamat kembali ke Tanah Air.
Komunikasi rutin dilakukan terutama untuk membangun kepercayaan dengan penyandera, yakni kelompok Al Habsyi Misaya, dan beberapa komandan lokal ASG, seperti Jim Dragon alias Junior Lahab.
Berbagai rapat pun dilakukan antara pihak perusahaan dan Pemerintah RI. Kementerian Luar Negeri melalui Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, dan Bais TNI akhirnya semakin aktif membantu upaya perundingan dan pembebasan sandera.
Pihak perunding memperkuat kontak dengan jejaring intelijen di ASEAN dari Kuala Lumpur, Singapura, dan Manila. Tidak ketinggalan, upaya pembebasan turut melibatkan faksi-faksi di Filipina Selatan, seperti Gubernur Autonomous Region Muslim Moro (ARMM) Mujiv Hataman di Pulau Basilan, Nur Misuari (MNLF) di Jolo di Pulau Sulu, dan Haji Murad Ebrahim (MNLF) di Cotabato, Mindanao sebelah barat dekat Kota Marawi, serta otoritas militer Filipina, yakni West Mindanao Command (Wesmincom) di Kota Zamboanga, ujung barat Pulau Mindanao.
Komunikasi dengan penyandera juga terus berlangsung dengan telepon genggam setiap petang dari bilangan perbatasan Jakarta-Bekasi dengan penyandera di Pulau Jolo di Filipina Selatan. Lambat laun, situasi mencair. Bahkan, juru runding dari pihak Abu Sayyaf berani meminta bingkisan yang dipenuhi perunding. Beberapa permintaan dipenuhi, termasuk sepasang arloji merek atas yang digunakan Daniel Craig dalam salah satu film James Bond.
Beberapa permintaan dipenuhi, termasuk sepasang arloji merek atas yang digunakan Daniel Craig dalam salah satu film James Bond.
Berangkat ke Manila
Akhirnya, situasi pun mengerucut pada upaya pembebasan sandera ABK Brahma 12. Hari Jumat (22/4/2016), saya yang sedang menunggu kelahiran anak kedua di sebuah RS Bersalin di Menteng, Jakarta Pusat, mendapat kabar adanya bukti hidup dari para ABK.
Setelah berkali-kali berpindah tangan, bukti hidup berupa rekaman video itu tiba di Jakarta. Kemudian, rekaman itu segera dibawa ke Menteri Luar Negeri Retno L Marsudi yang memimpin crisis centre penyanderaan WNI di Kementerian Luar Negeri di Pejambon, Jakarta Pusat.
Setelah melihat rekaman itu, permintaan bantuan kemanusiaan disetujui pihak perusahaan. Di sisi lain, Menteri Luar Negeri menyetujui misi pembebasan sandera.
Ketika operasi caesar anak kedua saya selesai, tim perunding mengundang untuk hadir bergabung di Manila atau Zamboanga sesegera mungkin. Namun ternyata, putra saya harus masuk fasilitas natal intensive care unit karena paru-parunya belum berfungsi. Saya sempat ragu untuk berangkat.
Setelah mendapat kabar dari dokter bahwa kondisi putra saya mulai membaik, akhirnya saya memutuskan berangkat ke Manila pada Minggu (24/4/2016) malam.
Istri saya awalnya tidak menyetujui keberangkatan ke Manila. Menurut dia, saya bukan tentara sehingga tidak perlu terlibat. Namun, passion terhadap dunia jurnalistik yang mendorong saya tetap terbang ke Manila.
Passion terhadap dunia jurnalistik yang mendorong saya tetap terbang ke Manila.
Kompas terbang menuju Singapura dengan pertimbangan lebih mudah mencari pesawat ke Manila dari Bandara Changi, Singapura. Setiba di Bandara Changi, ternyata tersedia penerbangan Tiger Airways yang berangkat lepas tengah malam dan tiba di Manila pagi hari.
Begitu mendarat di Manila, Kompas langsung menuju safe house. Saya adalah satu-satunya wartawan dari Indonesia yang ikut beraktivitas di safe house itu. Sebelum memasuki safe house, orientasi lingkungan dilakukan dengan berkeliling. Terdapat sebuah pos polisi, beberapa minimarket 24 jam, karaoke, panti pijat, warung, serta kantor biro Balik Bayan—sejenis jasa penempatan buruh migran.
Beberapa restoran halal dan penukaran uang skala kecil dan masjid terdapat di sana. Bisnis money changer wilayah utara Filipina didominasi warga Muslim asal Filipina Selatan sehingga otomatis bisnis penukaran uang itu tumbuh bersama masjid dan warung makan halal.
Di Pos Komando Manila, Kompas mengikuti rapat teknis pembebasan sandera dengan tim perunding lapangan di Davao dan Zamboanga yang dibantu KJRI serta Tim Bais TNI.
Tidak melibatkan militer
Bersama tim Bais TNI, Kompas kemudian terbang menuju Zamboanga. Seperti dalam film Munich (2005), anggota tim berada dalam satu penerbangan tetapi duduk secara terpisah. Kami tidak saling menyapa, tetapi saling mengawasi dan menjaga.
Setiba di Zamboanga, digelar berbagai pertemuan bersama tim dari Kementerian Luar Negeri RI dan Bais TNI dengan Palang Merah Internasional, militer Filipina—yang diwakili West Mindanao Command (Wesmincom) dan beberapa jaringan setempat.
Tim di Zamboanga menempati safe house yang diatur KJRI Davao. Rumah itu tidak jauh dari bandara dan pelabuhan Zamboanga sehingga memudahkan pergerakan sewaktu-waktu untuk meloloskan diri (escape plan) lewat udara ataupun laut.
Safe house didirikan dengan pendamping seorang politisi lokal Muslim Tionghoa yang berasal dari Pulau Jolo. Dia mendampingi tim selama 24 jam setiap hari bersama tim pendukung.
Pembicaraan demi pembicaraan kembali dilakukan. Suatu malam, di sebuah hotel mewah di seberang Bandara Zamboanga, perwakilan Palang Merah Internasional–sepasang pria penutur Perancis dan Spanyol, menekankan agar pembebasan sandera tidak melibatkan personel militer dari Filipina ataupun dari Indonesia.
Walau demikian, seorang anggota pasukan khusus Filipina, yang lulus dari Akademi Militer Filipina tahun 1994, yakni Kolonel Paolo ”Tiny” Perez, berkontribusi dengan memberikan informasi. Sayangnya, beberapa bulan sesudah operasi pembebasan sandera ABK Brahma 12, Kolonel Paolo Perez gugur akibat luka tembak setelah diberondong orang tidak dikenal di Zamboanga.
Meski personel militer tidak dilibatkan dalam operasi tersebut, intelijen Filipina dikabarkan mengirimkan tim untuk mengamankan tim Indonesia di safe house di Zamboanga ataupun ketika bergerak di lapangan.
Kemudian, ada perkembangan situasi, yakni tempat pelepasan sandera telah direncanakan di sebuah pulau tidak jauh dari pantai Zamboanga. Tiap hari, tim beristirahat pada pagi-siang hari sebaliknya berjaga-jaga sejak petang hingga subuh untuk menunggu perkembangan dan kepastian pembebasan sandera.
Kedatangan ”Viktor”
Selang beberapa hari, Kompas diminta kembali ke posko di Manila. Sabtu (30/4/2016) malam, anggota tim dari Kementerian Luar Negeri mendapat pertanyaan dari Istana Malacanang soal kedatangan jet pribadi dari Jakarta yang menyebut nama ”Viktor”.
Kompas menjawab, mohon dicek apakah yang dimaksud adalah Viktor B Laiskodat. Tidak lama kemudian, anggota tim tersebut kembali dan membenarkan rombongan di dalam jet pribadi dari Jakarta itu dipimpin anggota DPR RI, Viktor B Laiskodat.
Ketika itu, sudah diputuskan sandera dibebaskan pada Minggu (1/5/2016). Namun, belum ditetapkan apakah penjemputan di Pulau Sulu atau di Pulau Basilan. Kemudian, belum juga diputuskan tim mana yang akan menyerahkan bantuan kemanusiaan bagi penyandera.
Minggu siang, para ABK Brahma 12 kemudian dibawa ke Jolo dan dijemput tim relawan kemanusiaan yang dipimpin Viktor B Laiskodat. Viktor sebelumnya berhubungan dengan misi kemanusiaan dari yayasan yang dipimpin Surya Paloh. Yayasan yang dibangun Surya Paloh memang banyak membantu anak-anak di daerah konflik di Aceh, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan.
Menurut salah seorang anggota tim kemanusiaan, lampu hijau untuk membantu pembebasan sandera di Filipina Selatan diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Itu setelah Presiden bertemu Surya Paloh di London, Inggris. Ketika itu, Presiden Joko Widodo sedang melakukan kunjungan kerja, sedangkan Surya Paloh juga sedang di London.
Sandera dibebaskan
Para personel di posko di Manila terus memantau perkembangan. Ketika mengetahui sandera sudah berjumpa Gubernur Sulu Abdusakur Toto Tan dan dijemput tim relawan kemanusiaan untuk diterbangkan keluar dari Filipina, Posko Manila diputuskan berakhir pada Minggu malam itu.
”Semua dipersilakan pulang,” ujar pimpinan negosiasi dari pihak perusahaan. Malam itu juga semua personel di posko membubarkan diri. Ada yang langsung terbang ke Jakarta, Kuala Lumpur, atau Singapura, yang terpenting meninggalkan Manila untuk keamanan diri.
Kompas memutuskan pulang pada Senin (2/5/2016) siang dengan penerbangan Philippines Airlines (PAL) Manila-Jakarta.
Di dalam pesawat, tidak sengaja Kompas bertemu seorang pria kulit putih yang menghindari kontak mata. Wajah pria tersebut sering Kompas lihat di beberapa acara terpisah di kediaman duta besar negara sahabat di bilangan Taman Teuku Umar.
Setiba di Jakarta, para anggota tim tidak bertemu. Setelah beberapa bulan, baru kami bertemu untuk saling mengisahkan apa yang dialami di berbagai tempat terpisah dalam mengupayakan pembebasan ABK Tug Boat Brahma 12.
Apa pun yang terjadi selama proses pembebasan ABK kapal itu, yang terpenting adalah para sandera dapat diselamatkan. Mission accomplished, mereka dapat kembali berkumpul degan keluarga.…