Mengejar Matahari Sebelum Tenggelam
Longsor di Desa Pasirpanjang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, pada Kamis (22/2/2018) pagi mengagetkan banyak pihak. Belasan orang diduga tertimbun longsoran. Sebagai wartawan Kompas terdekat dari lokasi kejadian, saya secepat mungkin menuju lokasi untuk mengabarkan berita itu. Bahkan, sedapat mungkin, saya tiba sebelum matahari tenggelam!
Hari Kamis sekitar pukul 04.00 WIB, saya sudah bersiap meliput keselamatan kerja di Pertamina di Cilacap. Cilacap terletak sekitar 60 kilometer di sisi selatan Purwokerto, tempat saya bermukim.
Begitu memasuki kilang, prosedurnya adalah menitipkan telepon seluler kepada petugas. Perpisahan selama tiga jam dengan telepon genggam begitu menggelisahkan. Mengapa? Karena mayoritas informasi datang melalui telepon seluler. Dan, informasi begitu penting bagi wartawan.
Perpisahan selama tiga jam dengan telepon genggam begitu menggelisahkan.
Keluar dari kilang sekitar pukul 10.00, untungnya belum ada kejadian signifikan yang terlewat. Kami memutuskan langsung kembali ke Purwokerto.
Di perjalanan, karena tidak menyetir, saya menghemat energi dengan tidur, meski sesekali bangun untuk mengecek informasi melalui grup Whatsapp (WA). Kira-kira pukul 11.30, kami mendapat informasi tentang tanah longsor di Salem, Brebes.
Kami pun berburu informasi.
Siap ditugaskan
Kebetulan, wartawan di wilayah Banyumas, termasuk saya, wilayah liputannya meliputi Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, Banjarnegara, dan Wonosobo. Kabupaten Brebes bukan wilayah liputan saya meski beberapa teman menyarankan agar saya siap-siap berangkat.
Mengapa? Pertama, saat ini, tidak ada wartawan harian Kompas di wilayah pantai utara (pantura), seperti Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan. Kedua, Purwokerto adalah lokasi terdekat untuk menuju Salem dibandingkan perjalanan dari Semarang atau Cirebon, lokasi wartawan Kompas lainnya berada.
Kegelisahan bercampur kesiapsiagaan mulai mendera saya. Intinya, saya bersiap berangkat. Menjelang tengah hari, redaksi dari Jakarta mulai menugaskan wartawan menuju lokasi kejadian. Wartawan Kompas dari Semarang pun diberangkatkan.
Namun, karena lokasi saya paling dekat dengan lokasi kejadian, pukul 14.30, Kantor Jakarta meminta saya berangkat. Beruntung, sebelumnya saya sempat tidur dalam perjalanan Cilacap-Purwokerto sehingga masih terasa ada energi meski siang telah berlalu.
Ketika Purwokerto masih diguyur hujan lebat, saya berangkat. Jujur saja, saya buta medan menuju lokasi kejadian. Sambil pamit dengan rekan-rekan wartawan Banyumas di grup WA, saya bertanya kepada mereka meski jawabannya kurang memuaskan.
Kemudian, saya mempelajari Google Maps. Setidaknya, ada dua pilihan rute yang masing-masing berjarak 80-90 kilometer. Ada rute yang melalui Majenang dan Bumiayu. Saya mendapat informasi bahwa jalur melalui Bumiayu tertutup longsoran, tetapi ternyata informasi itu tidak tepat.
Meski jaraknya paling dekat, salah satu rekan wartawan mengingatkan bahwa jalur melalui Bumiayu naik, terjal, dan berbahaya. Waktu tempuhnya kira-kira 3-4 jam.
Saya kemudian berupaya memacu mobil secepat mungkin walau ruas Purwokerto-Bumiayu diguyur hujan. Ruas jalan Purwokerto-Bumiayu pun seperti biasa, dipadati truk-truk besar. Namun, karena pihak redaksi memesan foto dari lokasi kejadian, saya harus tiba di lokasi kejadian sebelum matahari terbenam untuk mendapatkan foto yang baik.
Karena pihak redaksi memesan foto dari lokasi kejadian, saya harus tiba di lokasi kejadian sebelum matahari terbenam untuk mendapatkan foto yang baik.
Sekitar pukul 16.00, saya tiba di Pasar Bumiayu. Sambil menunggu kenalan datang dari Tegal, saya belanja logistik, seperti makanan dan minuman. Setelah menunggu selama 30 menit, teman saya tidak muncul sehingga saya memutuskan untuk melaju sendirian menuju Salem.
Dari salah satu grup WA, diketahui ada rekan wartawan dari Banyumas yang sudah tiba di lokasi. Memanfaatkan teknologi, saya pun meminta dia untuk ”share location”. Akan tetapi, setelah saya klik, rutenya menyulitkan dan justru mengarahkan saya melewati Songgom, Ketanggungan.
Karena ragu, saya akhirnya memutuskan cara lama dengan bertanya kepada penduduk setempat. Informasi dari warga ternyata berbeda dengan petunjuk dari Google Maps. Dari beberapa pengalaman menggunakan Google Maps, kerap kali kondisi medan jalan tidak diperhitungkan.
”Lurus terus mengikuti jalan raya ini hingga melewati Bantarkawung. Setelah itu, naik gunung. Jaraknya 120-an kilometer,” ujar seorang warga di Bumiayu. Dari sisi jarak saja, ternyata informasi warga dan perhitungan Google Maps sudah berbeda.
Pukul 16.30, saya melaju dari Bumiayu. Di atas kertas, dalam kondisi normal, jarak 120 kilometer itu harus ditempuh dalam dua jam. Saya mulai gelisah. Mungkinkah tiba di lokasi kejadian sebelum gelap?
Saya mulai memacu mobil dengan kecepatan tinggi, terlebih lagi saat medan mendatar. Selepas Bantarkawung, karena jalan mulai menanjak, kecepatan saya kurangi. Ketika jalan makin terjal, saya pun makin perlahan. Maklum, saya buta medan.
Jalan yang tadinya lurus dan halus pun berganti dengan kelokan yang diimbuhi lubang di sana-sini. Lambat laun, garis marka putih di jalan mulai pudar. Kabut pun mulai turun sehingga menyulitkan pandangan mata. Longsoran mulai tampak di bahu jalan. Sejumlah titik jalan juga ambles serta pecah-pecah. Ngeri-ngeri sedap rasanya.
Sore semakin pekat. Hujan masih terus mengguyur. Lebih dari lima kali, saya bertanya kepada warga untuk memastikan jalur itu benar dan dapat dilalui. Puji Tuhan, sekitar pukul 17.45, saya tiba di lokasi kejadian, di Desa Pasirpanjang, dengan selamat.
Tiba di lokasi
Di lokasi kejadian, ternyata sudah banyak terparkir mobil dan truk dari TNI/Polri, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan Basarnas. Setelah parkir, saya langsung mencari informasi lokasi longsor. Ternyata, letaknya masih sekitar 400 meter.
Tergesa-gesa, saya berlari menyusuri jalan desa yang menanjak. Energi pun terkuras. Saya tersadar, mengapa seorang wartawan juga membutuhkan fisik yang prima karena kapan pun, tanpa diduga, kami harus siap meliput di kawasan bencana.
Matahari telah terbenam dan suasana terasa temaram. Lampu di rumah-rumah warga pun belum menyala walau ternyata aliran listrik dimatikan. Kondisi listrik padam ini biasa terjadi di lokasi bencana.
Dari arah lokasi longsor, saya berpapasan dengan lima anggota BPBD. ”Mau ke mana, Mas?” tanya salah seorang dari mereka.
”Mau motret lokasi longsor, Pak. Saya wartawan. Masih jauh atau tidak?”
”Tidak jauh, itu setelah garis polisi. Tetapi sudah sepi, tidak ada orang. Mas berani atau tidak?” jawab mereka.
Dengan rendah hati, saya katakan bahwa saya tidak berani dan minta tolong ditemani. Apalagi, saya tahu tidak lama lagi kondisi akan makin gelap. Hujan juga masih turun. Belum lagi, di bawah longsoran tanah itu saya tahu masih ada belasan orang yang diduga masih tertimbun. Merinding juga saya.
Namun, lebih dari itu, saya membutuhkan petugas BPBD untuk masuk ke frame foto saya. Foto lokasi tanah longsor lengkap dengan petugas BPBD pasti lebih baik daripada sekadar tanah berlongsoran. Akhirnya, dua petugas BPBD menemani saya ke lokasi.
Saya pun mulai memotret. Cekrek. Cekrek. Karena matahari sudah tenggelam, beberapa foto terlihat ”pecah” karena pencahayaan lemah. Namun, bagaimana lagi, berlama-lama di sana pun akan tidak efektif dan takkan mengubah foto menjadi lebih baik. Saya pasrah saja.
Setelah itu, kami bertiga kembali ke posko. Saya melanjutkan tugas jurnalistik dengan mewawancarai perangkat desa, kepolisian, dan warga yang selamat dari maut.
Sekitar pukul 19.00, rekan saya wartawan harian Kompas dari Semarang, Adit, menelepon. Ternyata, dia telah berada di Kecamatan Banjarharjo, tetapi tidak mampu menuju lokasi tanah longsor karena akses jalan provinsi itu terputus longsor.
Untuk sampai ke Desa Pasirpanjang, ternyata dia harus memutar lewat Bumiayu yang membutuhkan waktu lebih dari dua jam.
Sekitar pukul 21.00, data telah terkumpul. Saya lalu menuju puskesmas di Bentar, sekitar 4 kilometer dari Desa Pasirpanjang. Di sana, saya menulis berita dan mencari sinyal untuk mengirim foto dan tulisan.
Kira-kira pukul 21.45, telepon datang dari Jakarta. Desk Foto mengabarkan, semua foto yang saya potret ternyata pecah jika diperbesar.
”Ambil fotonya pakai HP atau kamera?” kata pihak redaksi. Saya menjelaskan bahwa penerangannya buruk. Puji Tuhan, foto saya akhirnya dipakai sebagai foto utama di halaman 1 Kompas edisi Jumat (23/2/2018). Foto yang terdapat petugas BPBD tidak dapat digunakan karena fotonya ”pecah”.
Urusan malam itu belum selesai, tim dari grafis meminta saya mengirim koordinat longsor. Saya pun menjelaskan bahwa lokasinya relatif jauh dijangkau. Jalan desa pun tanpa penerangan. Untung saja, mereka memahami keterbatasan di lapangan.
Malam itu, setelah serangkaian peristiwa yang memompa adrenalin, akhirnya saya dan beberapa wartawan lain menginap di puskesmas. Hari berikutnya, tiga wartawan Kompas dari Jakarta dan Adit yang semalam harus memutar lewat Bumiayu pun datang. Kami berbagi tugas meliput, mengambil gambar dan video, serta melengkapi data grafis.
Malam-malam selanjutnya, kami menginap di rumah warga. Kami menginap di kediaman Bapak Hasan dan Ibu Rustini atau biasa dipanggil Ibu Rosi.
Semua warga ramah dan baik hati menerima kedatangan kami, para wartawan, serta ribuan relawan yang membantu proses evakuasi. Saya bertugas selama delapan hari sampai operasi pencarian korban dihentikan pada Rabu (28/2/2018) siang dan kantor memperbolehkan saya kembali ke Purwokerto pada Kamis (1/3/2018).
Hingga penugasan saya berakhir, enam orang masih dinyatakan hilang. Sebanyak 12 orang ditemukan meninggal, sedangkan 18 orang luka dan selamat. Operasi pencarian ini melibatkan sedikitnya 53 organisasi dari pemerintah, masyarakat, serta Basarnas. Total terdapat 1.226 orang yang membantu evakuasi.
Semoga peristiwa serupa tidak terulang.