Saat Banda Aceh Terisolasi
Gempa dahsyat pada Minggu, 26 Desember 2004, pukul 08.00 yang diikuti tsunami dua jam kemudian telah meluluhlantakkan sebagian besar pantai barat dan utara Aceh. Patahan bumi akibat gempa di kedalaman 20 kilometer Samudra Hindia tersebut memicu gelombang air setinggi sekitar 8 meter yang melaju ke daratan dengan kecepatan sekitar 750 kilometer per jam, setara pesawat jumbo jet 747-400.
Saat itu, saluran komunikasi ke dan dari Banda Aceh terputus. Kompas coba menghubungi sejumlah kerabat dan kolega yang berada di Banda Aceh dan sekitarnya. Hasilnya nihil. Tidak satu pun nomor telepon seluler dan telepon rumah yang bisa dihubungi, termasuk wartawan Kompas yang bertugas di Banda Aceh, Nadjamuddin Oemar. Banda Aceh terisolasi.
Setelah berusaha mengontak ke mana-mana, satu-satunya informasi adalah ada suatu kejadian di Banda Aceh yang didapat dari Manajer Pemasaran Garuda Indonesia Cabang Medan Syamsuddin. ”Pesawat kami yang berangkat menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, pukul 09.20, terpaksa kembali ke Bandara Polonia, Medan,” kata Syamsuddin.
Air laut surut. Kami pun sibuk mengumpulkan ikan-ikan di pantai ke dalam wadah apa saja. Ternyata, tak lama kemudian, air setinggi pohon kelapa kembali datang. Rumah kami hancur.
Petugas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang dihubungi Minggu pagi itu pun mengonfirmasi, ada gempa di pantai barat. Namun, dia belum mengetahui pasti apa yang terjadi di Banda Aceh.
Minggu siang itu pula, Kompas langsung tancap gas mobil menuju Aceh. Setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam dari Medan dan memasuki Kecamatan Idi, Kabupaten Aceh Timur, mulai tampak tenda-tenda darurat berdiri di tepi jalan lintas timur Sumatera. Ternyata, mereka merupakan pengungsi dari kawasan pesisir pantai timur Aceh yang kampungnya habis diterjang tsunami.
”Air laut surut. Kami pun sibuk mengumpulkan ikan-ikan di pantai ke dalam wadah apa saja. Ternyata, tak lama kemudian, air setinggi pohon kelapa kembali datang. Rumah kami hancur,” tutur seorang pria yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Dia masih resah karena sejumlah anggota keluarganya belum ditemukan setelah tsunami.
Dalam situasi konflik, Aceh masih berstatus Darurat Sipil, tidak mudah mewawancarai warga yang tengah berada di pengungsian di tepi jalan tersebut. Beberapa kali ketika Kompas mewawancarai pengungsi, tidak sampai semenit kemudian, sejumlah orang berbadan kekar sudah mengelilingi kami.
Beberapa di antara mereka kemudian menanyai identitas Kompas. Setelah menunjukkan kartu pers dan menjelaskan bahwa sedang meliput, baru mereka membiarkan Kompas bekerja.
Sepanjang perjalanan menuju Lhokseumawe, tenda-tenda darurat di tepi jalan semakin banyak. Ketika memasuki halaman Rumah Sakit Umum Daerah Cut Mutia, Lhokseumawe, Minggu malam, pemandangan yang tak biasa pun tampak. Ratusan orang, mulai dari luka ringan hingga berat, memadati rumah sakit tersebut hingga sebagian korban terpaksa dirawat di selasar antarruang perawatan.
Petugas medis bekerja tanpa henti. Sebagian bekerja sampai setengah berlari mengambil obat-obatan dan peralatan untuk merawat para korban. Mereka merupakan korban tsunami dari pesisir Lhokseumawe. Gelombang tsunami memang masuk hingga mencapai pasar dan pertokoan yang merupakan kawasan padat di Lhokseumawe.
Situasi keamanan yang belum kondusif itu pula membuat perjalanan malam adalah bukan pilihan bijaksana saat itu. Apalagi, jalan negara yang melintasi Kabupaten Bireuen dikabarkan tidak bisa dilalui karena retak parah akibat gempa. Tidak ada pilihan selain menginap di Lhokseumawe.
Gunungan pasir dan lumpur, papan-papan sisa rumah yang hancur diterjang tsunami, bangkai mobil dan sepeda motor, hingga berbagai macam puing menumpuk di tengah jalan.
Senin, 27 Desember 2004, pagi, perjalanan menuju Banda Aceh pun dimulai. Setelah dua jam mengantre untuk memenuhkan tangki bahan bakar minyak (BBM) mobil, kami pun berangkat.
Sekitar lima jam perjalanan, kami melintasi Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie, dan terus melaju mendaki Gunung Seulawah. Tidak banyak kendaraan yang melaju menuju Banda Aceh. Namun, kami banyak berpapasan dengan kendaraan sarat penumpang yang datang dari arah Banda Aceh.
Kami bertemu beberapa mobil bak terbuka yang sedang berhenti mengisi BBM di Saree, kota kecil persinggahan ternama di kawasan puncak Gunung Seulawah yang sejuk. Para penumpang duduk di belakang dengan wajah kuyu.
Mereka diam seribu bahasa. Saat ditanya, apa yang terjadi di Banda aceh, beberapa orang di antaranya menjawab. ”Air laut naik tinggi sekali. Habis semua,” ujar seorang ibu dengan suara tercekat.
Luluh lantak
Dua jam kemudian, kami pun tiba di Banda Aceh, yang sudah luluh lantak terkena gempa dan tsunami. Sedikitnya 160.000 jiwa meninggal dalam bencana tersebut. Hampir tidak ada kendaraan yang melintas di dalam Kota Banda Aceh.
Kami masuk Banda Aceh melalui Jalan Teungku Chik Di Tiro dari Simpang Surabaya dan belok ke kiri menuju Kampung Ateuk Pahlawan. Setelah beristirahat sebentar di rumah di kawasan Lamlagang, Kompas berangkat menuju kantor pusat Serambi Indonesia, koran harian terbesar di Aceh yang masuk jaringan koran daerah Kompas Gramedia.
Perjalanan dari Lamlagang melalui Neusu, kawasan yang praktis aman dari tsunami, membuat keadaan tidak tampak seperti baru saja terkena bencana alam dahsyat itu. Dampak tsunami baru tampak ketika memasuki bundaran di dekat Taman Pemandian Putri Pahang (Putroe Phang) dan Gunongan, antara Jalan Teuku Umar menuju jalan ke arah Taman Sari.
Gunungan pasir dan lumpur, papan-papan sisa rumah yang hancur diterjang tsunami, bangkai mobil dan sepeda motor, hingga berbagai macam puing menumpuk di tengah jalan. Akses jalan ke tengah kota di kawasan Masjid Raya Baiturrahman dan Pasar Atjeh pun terputus.
Akhirnya, Kompas memutar balik mengambil jalan di samping Pendopo Gubernur Aceh kembali ke Jalan Teungku Chik Di Tiro lalu belok kiri menuju perempatan Jambo Tape. Kawasan pertokoan yang biasanya ramai, pada hari itu sunyi sekali.
Sulit sekali menemukan orang di tepi jalan. Dari perempatan arah Beurawe tersebut, Kompas belok kanan di Jalan Teungku Daud Beuereueh menuju kantor Gubernur Aceh. Badan jalan sudah tertutup pasir dan lumpur, bangkai kendaraan, hingga kayu-kayu sisa bangunan yang terbawa arus tsunami.
Perjalanan menuju kantor Serambi Indonesia terhenti di depan kantor Gubernur Aceh karena akses jalan kembali terputus dengan gunungan puing dan bangkai kendaraan. Namun, masih ada jalan alternatif melalui Kampung Pineung yang berada di seberang kantor Gubernur Aceh.
Perjalanan sore itu pun berlanjut melalui Stadion Sepak Bola H Dimurthala, Lampinenung, masuk ke Kampung Pineung, Lamgdingin, hingga tembus ke kawasan Lamnyong.
Di kawasan Lamnyong, kami singgah ke rumah wartawan Kompas, Nadjamuddin Oemar. Ternyata, sejak pulang dari ibadah haji awal tahun 2004, dia sudah menempati rumah lamanya di dekat Jembatan Krueng (Sungai) Cut. Rumah tersebut hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari kantor Serambi Indonesia di sisi jalan menuju Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, tersebut.
Namun, setelah menyeberang Jembatan Krueng Cut, ternyata tidak ada satu pun lagi bangunan yang berdiri di sana. Jalan raya sudah tertutup pasir pantai dan puing papan sisa-sisa rumah yang dibawa tsunami. Jalan tersebut memang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari bibir pantai.
Sesampainya di kantor Serambi Indonesia, Kompas hanya menemukan satu petugas keamanan dan tiga warga. Suasananya sepi sekali. Ada dua mayat korban tsunami yang digulung gelombang laut terdampar di sana.
Hari menjelang malam. Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Mobil kami pun perlahan-lahan melaju meninggalkan Banda Aceh menuju Bireuen untuk mendapatkan sinyal telepon seluler yang memudahkan pengiriman data. Dari Bireuen, semua peristiwa dilaporkan untuk dimuat di harian Kompas.