Belajar Ikhlas Saat Menyelami Keindahan Indonesia
Nama kami, yang tergabung dalam Tim Jelajah Terumbu Karang Harian Kompas, ternyata tidak ada dalam daftar calon tamu Vila Sabua Gaba di Jailolo, Halmahera Barat, di Maluku Utara. Nama kami hilang, padahal akomodasi begitu terbatas di kawasan ini. Perjalanan ini tampaknya takkan mudah.
”Orang itu tidak meneruskan informasi ke kami,” ujar Iman, petugas di Vila Sabua Gaba, Senin (24/7). Padahal, kami merasa sudah mendaftar melalui situs resmi vila itu. Iman bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyesalan.
Tentu saja kami sempat khawatir apabila tidak mendapat penginapan. Mengapa? Karena Jailolo ini bukan Lombok, apalagi Bali. Tegasnya, tidak mudah mendapatkan penginapan. Jumlah penginapan di Jailolo juga tidak melebihi jumlah jari tangan.
Kekhawatiran kami juga dipicu adanya peralatan kamera berukuran besar untuk mendukung liputan. Perangkat lenong, demikian kami menyebutnya, jelas membutuhkan kamar sebagai tempat penyimpanan yang aman.
Perangkat lenong, demikian kami menyebutnya, jelas membutuhkan kamar sebagai tempat penyimpanan yang aman.
Untungnya, setelah dicek, masih ada kamar kosong meski sedang berlangsung kegiatan sebuah lembaga internasional. Kebetulan, posisi kamar itu strategis menghadap ke pantai. Kabarnya, kamar-kamar yang relatif masih baru itu sebelumnya digunakan oleh penyanyi Andien dan kru.
Enam anggota tim langsung menata peralatan. Tim kami di Jailolo terdiri dari peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Abrar beserta lima wartawan dan peneliti Kompas. Lima orang dari Kompas adalah Ichwan Susanto, Ingki Rinaldi, Heru Sri Kumoro, Eren Marsyukrilla, dan Frans Pati Herin.
Dari enam orang anggota tim, hanya Frans yang pernah, bahkan berulang kali, menginjakkan kaki di Jailolo. Maklum, pria asal Adonara di Nusa tenggara Timur ini merupakan ujung tombak Kompas di wilayah Maluku. Frans sehari-hari berbasis di Maluku.
Di hari kedua itu, kami berencana langsung menyelam. Namun, ternyata kembali terjadi miskomunikasi. Dive center setempat, Nasi Jaha, pada Selasa itu ternyata jadwalnya penuh. Padahal, kami telah berkomunikasi dengan mereka jauh-jauh hari sebelumnya.
Bayangkan apabila kami hanya punya waktu tiga hari untuk menyelam? Bayangkan apabila kami memesan tiket pesawat pulang dalam waktu yang terlalu mepet? Rencana kami bisa rusak hanya karena miskomunikasi yang terjadi berulang kali. Persoalan administrasi ini sebaiknya menjadi catatan bagi banyak destinasi wisata bahari di Indonesia timur supaya kelak tidak mengecewakan wisatawan.
Persoalan administrasi ini sebaiknya menjadi catatan bagi banyak destinasi wisata bahari di Indonesia timur supaya kelak tidak mengecewakan wisatawan.
Karena gagal menyelam di hari kedua, kami menuju Desa Guaeria. Kampung itu unik karena menerapkan larangan merokok bagi siapa pun yang menginjakkan kaki di desa itu. Larangan itu juga berlaku bagi bupati, bahkan berlaku pula bagi Presiden—andai mau hadir di Desa Guaeria.
Menjelang sore hari, kami berencana memburu matahari senja di Pantai Marinbati. Bersama Dadan Hindayana, Ketua Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahaan Banau, Halmahera Barat, kami menuju Desa Gamtala menggunakan kendaraan roda empat dengan waktu tempuh 20 menit.
Setelah memarkir mobil di dekat sebuah kolam mata air, kami menumpang kapal kayu untuk menyusuri hutan mangrove Gamtala. Kemudian, tibalah kami di Pantai Marinbati demi sepotong senja.
Hari Rabu, baru kami berkesempatan menyelam. Kali ini, kami menyelam bersama Eko Supriyanto, seniman asal Solo yang membawa tari Jailolo di kancah internasional. Sebulan sebelumnya di Jakarta, kami berdiskusi dengan Eko, yang dulu pernah menjadi penari latar Madonna.
Baca laporan lengkap tim Jelajah Terumbu Karang dari Jailolo
Berbekal lisensi Advanced Adventurer Scuba School International (SSI) dan Diver and Stress Rescue SSI, tim penyelam Kompas mengikuti ajakan Eko untuk mengeksplorasi titik selam favoritnya di seputar Pulau Pastofiri. Eko tampak mengenal betul perairan Jailolo.
Di Pastofiri, di pulau terdepan cekungan Teluk Jailolo ini, kami juga didampingi instruktur selam Tommy Chandra untuk menyelam hingga kedalaman lebih dari 30 meter. Dalam penyelaman itu, kami bersua dengan hiu.
Perjalanan yang dilakukan oleh Tim Jelajah Terumbu Karang Harian Kompas jelas sangat menarik. Kapan lagi kami dapat menikmati kekayaan bawah laut Indonesia? Bahkan, boleh jadi, wisatawan asing, yang lebih ahli menyelam, yang lebih banyak menikmati kekayaan laut Indonesia. Meski demikian, tidak seluruh perjalanan ini berlangsung seindah yang dibayangkan.
Kamera bocor
Di hari pertama penyelaman di Jailolo, rumah atau pelindung bawah air kamera Canon G12 milik wartawan Kompas, Ingki Rinaldi, rembes. Dia menyadarinya setelah melihat munculnya titik-titik air, seperti embun, di dinding rumah kamera dari bahan akrilik yang transparan itu.
Rumah kamera untuk kegiatan bawah air ini biasanya mengandalkan seal untuk mencegah air bertekanan tinggi memasuki ruangan udara. Artinya, kotoran serambut ataupun serpihan kain yang menempel bisa menyebabkan kebocoran.
Kami juga menduga seal yang telah berusia sekitar enam tahun itu aus sehingga tak lagi solid menjaga kerapatan dinding rumah kamera. Ingki mengatakan, rumah kameranya disusupi air pada kedalaman 36 meter. Untungnya, kebocoran itu tak sampai membanjiri kameranya. Untungnya lagi, masih ada yang menjual karet pengaman rumah kamera itu meski usia kamera sudah lebih dari lima tahun. Akhirnya, dengan modal beberapa ratus ribu rupiah, kamera itu kembali dapat digunakan menyelam.
Namun, drama belum berakhir. Di hari kedua, saat Ingki menggunakan kamera Canon G16 inventaris kantor untuk menyelam, kebocoran serupa menimpanya di kedalaman 15 meter. Namun, kali ini, air masuk ke rumah kamera dari bagian atas rumah kamera, dekat bagian tombol pelepas rana.
Seharga kamera
Meski kebocoran tidak terjadi pada perairan sedalam di hari pertama, kerusakan akibat kebocoran pada Canon G16 ini lebih parah. Kamera itu mati total. Setelah kamera dibawa pegawai kantor ke pusat servis resmi Canon, ada dugaan air laut telah memasuki bagian dalam mesin kamera.
Biaya penggantian suku cadang yang berkarat karena air laut itu hampir sama dengan pembelian satu kamera Canon G16 baru—apabila masih ada yang jual.
Kejadian ini membuat Ingki hanya mengandalkan sebuah kamera aksi, action camera, di penyelaman-penyelaman selanjutnya di Jailolo. Selain itu, kerusakan Canon G16 membuat Ferganata Indra Riatmoko, fotografer Kompas di Yogyakarta, pada penyelaman di Teluk Cenderawasih, Selat Lembeh, dan Bali harus mengandalkan kamera Canon 30D milik kantor yang sudah berusia 10 tahun.
Kejadian ini membuat Ingki hanya mengandalkan sebuah kamera aksi, action camera, di penyelaman-penyelaman selanjutnya di Jailolo.
Kehilangan peralatan
Drama masih berlanjut di hari ketiga, hari terakhir penyelaman, di titik penyelaman terakhir. Tidak jauh dari penginapan, kami turun di titik selam yang dinamakan Red House.
Meski sangat dekat permukiman, kondisi karang masih sangat rapat. Karang yang rapat memukau peneliti LIPI, Abrar, yang langsung memutuskan untuk segera menyelam.
Begitu antusiasnya Abrar membuat dirinya mengabaikan dive computer saat mulai menyelam. Padahal, dive computer berfungsi sebagai penunjuk kedalaman, waktu, dan suhu. Alat itu biasanya digantungkan dengan tali dengan buoyancy control device (BCD).
Setelah menyelam cukup dalam, Abrar merogoh ke salah satu sisi BCD untuk melihat informasi dalam dive computer miliknya. Namun, alat itu tidak ditemukannya.
Didorong rasa ingin tahu dan karena dirinya telah terpesona keragaman dan kondisi terumbu karang di titik tersebut, Abrar memutuskan terus menyelam. Dive computer itu tidak ditemukannya, tetapi dia tidak peduli.
Terlebih lagi, karang di titik selam Red House relatif lebih bagus dibandingkan kondisi karang yang teramati dua hari sebelumnya. Kondisi bawah laut pada titik penyelaman Red House memang istimewa. Terdapat sekitar 80 persen tutupan karang hidup dengan keragaman yang tinggi.
Terseret arus
Hari Senin (11/9), di perairan Selat Lembeh, Sulawesi Utara, giliran Ichwan yang apes. Saat memulai hari pertama penyelaman di Tanjung Kusu-kusu, ia kehilangan satu lampu video, satu senter, satu set sistem arm-tray serta kamera aksi. Diduga, peralatan itu terjatuh saat pemindahan dari penyelam ke awak perahu.
Siang hari itu, laut cukup bergelora. Para penyelam pun kehilangan konsentrasi karena fisik sangat terkuras. Pencarian seperangkat peralatan itu pun tidak membuahkan hasil.
Padahal, Ichwan bersama dive master pendamping, Musa Meyer, telah mencari sampai kedalaman 30 meter. Diduga, peralatan itu terseret arus bawah yang sangat kencang. Arus bawah laut itu pun tidak mampu diimbangi oleh kayuhan sepatu katak.
Kejadian ini sangat menguras energi sehingga pada penyelaman selanjutnya di Nudi Falls, Ichwan harus absen untuk memulihkan kondisi.
Baca laporan tim Jelajah Terumbu Karang dari Lembeh, Sulawesi Utara, Jailolo
Meski kehilangan peralatan sangat menjengkelkan, Ichwan ingat betul masukan dari fotografer bawah air senior Kompas, Lasti Kurnia. Lasti pernah mendengar kata-kata seseorang, yang dia sendiri lupa siapa yang mengatakannya. ”Mengemas peralatan fotografi menyelam itu sama seperti memasukkannya ke peti mati. Jadi, harus siap kalau terjadi apa-apa,” ujar Lasti.
Sebelum menyelam, tentu saja persiapan telah kami lakukan sematang mungkin. Meski demikian, merujuk pada pernyataan Lasti, Tim Jelajah Terumbu Karang 2017 mengikhlaskan saja kehilangan-kehilangan itu. Yang penting, bukan kami yang ”hilang”….