Dilema Keterlibatan Swasta dalam Layanan Transportasi Publik
Kualitas angkutan umum yang dikelola menurun.Pemerintah menata ulang sistem transportasi dan membangun jaringan angkutan massal baru
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, MARGARETHA PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA
·5 menit baca
Tujuh dekade swasta ikut andil mengelola angkutan umum kota saat pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan transportasi warga. Namun ketiadaan standar pelayanan minimal (SPM) membuat kualitas angkutan umum terus menurun. Pemerintah membenahinya dengan menata ulang sistem transportasi yang ada serta membangun jaringan angkutan massal baru.
Awal kemerdekaan, angkutan umum kota terlebih dahulu dilayani oleh oplet. Angkutan kecil berkapasitas 6-8 orang ini mulai berkembang di Jakarta tahun 1930-an. Dari pemberitaan Kompas diketahui, oplet saat itu menjadi tulang punggung sistem transportasi kota karena dirasakan lebih nyaman dibandingkan trem yang selalu penuh. Meski ongkosnya sedikit lebih tinggi dari trem, tapi pelayanannya lebih cepat.
Oplet adalah mobil buatan Eropa atau kendaraan militer Jeep Willys Amerika yang dimodifikasi dengan tambahan ubin kayu di belakang sopir. Oplet berkembang juga di Bandung, Semarang, dan Surabaya. Oplet dimiliki pengusaha kecil dan dioperasikan masyarakat dengan sistem sewa.
Setelah kemerdekaan, angkutan kota juga dilayani bus berkapasitas 30-35 orang. Bus dikelola pemerintah melalui Djawatan Angkoetan Motor Republik Indonesia (DAMRI) yang terbentuk tahun 1946.
Namun bus DAMRI tak bisa sepenuhnya melayani kebutuhan mobilitas masyarakat kota. Akses ke jalan-jalan kolekter atau lingkungan hingga di kawasan pinggiran tak terjangkau oleh moda bus. Oplet mengisi kekosongan layanan tersebut.
Oplet dalam perkembangannya berevolusi menjadi angkot/mikrolet dengan kualitas kendaraan yang lebih baik. Kehadiran angkutan kecil ini menurut penelitian “Berebut Ruang Dinamika Politik Trayek Angkot di Jakarta (Panghegar, 2014)” merupakan intermediate public transport (IPT) atau layanan angkutan berbagai moda kendaraan yang tidak bisa dipenuhi sistem transportasi formal. Karakteristik IPT adalah informal, paratransit (tak terikat rute), biaya rendah, dan dikelola banyak orang. Angkutan intermediate ini selain angkot, ada juga omprengan.
“UU dan aturan kala itu memang memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk membuka usaha di bidang layanan angkutan, bisa juga menggunakan sarana angkutan dengan kendaraan tidak bermotor seperti andong/dokar dan becak,” ujar Peneliti Senior Instran Felix Iryantomo.
UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 13 Tahun 1965 menyebutkan, penguasaan dan penyelenggaraan angkutan diselenggarakan sepenuhnya oleh negara maupun swasta. Tujuannya supaya memperluas dan mengembangkan angkutan jalan raya. Angkot yang dimiliki pengusaha-pengusaha kecil ini tergabung dalam Organisasi Angkutan Darat (Organda).
Namun lambat laun minat masyarakat pada angkot terus menurun karena kualitas layanan yang memburuk. Angkot identik dengan ‘ngetem’, durasi perjalanan yang panjang, sopir ugal-ugalan, serta armada yang tidak nyaman. Bahkan beberapa kali juga terjadi kriminalitas di atas angkot.
Saat angkutan daring mulai beroperasi pada 2016-2018, angkot semakin ditinggalkan masyarakat. Yohanes Susilo (69), sopir angkot di Semarang mengatakan setelah ojek daring masuk Semarang tahun 2018, masyarakat sudah tak mau lagi naik angkot.
Di kota-kota besar lain pun serupa. “Kami bertarung dengan ojol setiap hari.Kami demo tapi gak ada hasilnya, gak ada gunanya. Sampai sekarang ojol tetap jalan,” kata Ketua Organda Surabaya Sonhaji.
Transjakarta
Menurunnya kualitas angkot ataupun bus yang dikelola swasta membuat pemerintah berbenah. Langkah awal dilakukan Pemprov DKI melalui Bus Transjakarta pada 2004. Pemprov DKI mengakomodir bus besar dan menengah, membentuk konsorsium dengan perusahaan-perusahaan lain dan menjadi operator Transjakarta. Hingga sekarang ada 10 perusahaan bus yang bergabung menjadi operator Transjakarta.
Tahun 2018, angkot di Jakarta mulai bergabung dengan sistem Transjakarta melalui program Jaklingko. Angkot yang tergabung dalam konsorsium Transjakarta harus mengikuti SPM yang telah ditetapkan Transjakarta seperti adanya tanda pengenal sopir dan seragam, kendaraan berdingin udara, serta teratur waktu kedatangannya.
Bus Rapid Transit
Sistem angkutan massal Transjakarta lalu diadopsi pemerintah pusat untuk membenahi sistem angkutan umum di kota lainnya, melalui program Bus Rapid Transit (BRT). Sistem BRT yang paling utama adalah memiliki jalur terpisah dari kendaraan lain. Bus juga berhenti di halte dan terminal yang telah disediakan.
Tahun 2006, Kementerian Perhubungan menawarkan proyek BRT ke 15 pemda, yakni Bandung, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Palembang, Medan, Lampung, Batam, dan Makassar. Namun, program BRT tak sepenuhnya berhasil di kota-kota tersebut. Tersisa ada beberapa kota yang masih mengoperasikan BRT yakni Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Solo.
Pemkot Semarang dan Surabaya di awal pengoperasian BRT mengajak operator-operator angkutan umum yang sudah ada seperti angkot dan bus untuk bergabung dalam sistem BRT. Menurut Kepala UPTD Trans Semarang Hendrix Setiawan, sebelum pengembangan BRT, pemerintah berkomunikasi informal dengan Organda Semarang. “Kami menggandeng operator bus dan sopir angkot untuk bergabung dalam Trans Semarang dan melayani transportasi,” jelasnya.
Menurut Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya Tundjung Iswandaru sopir angkot ditawari menjadi sopir BRT maupun pembantu sopir agar mereka terlibat dalam pembenahan angkutan massal ini.
Belajar dari kegagalan BRT, Kementerian Perhubungan, tahun 2020 mengembangkan program Buy The Service (BTS) di 11 kota, Medan, Palembang, Bandung, Bogor, Banyumas, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Denpasar dan Banjarmasin. Program ini tak sekadar memberikan insentif bus pada pemda tapi juga membeli layanan angkutan umum dari operator swasta setempat dengan SPM. Pembelian memperhitungkan formulasi biaya operasi kendaraan (BOK) yang menghasilkan nilai rupiah per kilometer.
BTS diapresiasi karena menerapkan SPM, sistem pelaporan, dan pengawasan ketat. Namun keberlanjutannya dipertanyakan. "Alokasi anggaran pemda untuk BTS tergantung ada atau tidaknya persetujuan legislatif," kata Felix.
Meski pemerintah telah hadir kembali dengan sistem transportasi dan jaringan angkutan massal yang baru, keberadaan angkot yang telah puluhan tahun berjasa melayani mobilitas warga kota juga jangan dilupakan. Angkot terbukti dapat turut dilibatkan dalam sistem BTS. (PUT/XNA/SPW)