Warga Rumah Liar Batam, Korban Bisnis Air di Tengah Krisis Iklim
Belasan ribu keluarga miskin di Batam harus membayar air bersih 12 kali lebih mahal dari ketentuan. Di tengah krisis iklim yang menjadikan cadangan air di waduk terus menurun, mereka semakin rentan dikorbankan.

Sesilia Sugo (54), warga Kampung Tangki Seribu, Kecamatan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Senin (13/12/2021).
Seperti biasa, Senin (13/12/2021) siang, air tak mengalir di rumah Sesilia Sugo (54). Tumpukan piring dan gelas kotor memenuhi dapur rumahnya. Di toilet, air kotor sisa mencuci tempo hari ditampung dalam beberapa ember untuk keperluan darurat buang air.
”Di sini air mengalir kalau malam saja. Kalau siang, ya, begini, tak ada air,” kata Sesilia.
Perempuan itu tinggal bersama anak semata wayangnya di Kampung Tangki Seribu, Kecamatan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau. Permukiman tempat Sesilia tinggal adalah satu dari sekian banyak lokasi yang sering disebut sebagai ”rumah liar” atau ruli.
Penyebutan ruli adalah istilah pemerintah untuk menyebut permukiman warga yang berdiri di atas lahan yang tidak dialokasikan Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai lokasi perumahan. Mayoritas ruli berada di pusat kota yang berdekatan dengan perkantoran, pusat perbelanjaan, dan permukiman mewah lainnya.

Sejumlah ember penampung air di rumah Sesilia Sugo (54) di Kampung Tangki Seribu, Kecamatan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Senin (13/12/2021).
Di Pulau Batam tidak ada sumber air alami, seperti sumur atau sungai. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga Batam yang jumlahnya sekitar 1,5 juta orang bergantung pada lima waduk tadah hujan dengan kapasitas produksi 3.190 liter air per detik.
Pemeliharaan waduk itu diurus oleh BP Batam. Sementara distribusi air kini dikelola untuk sementara oleh PT Moya Indonesia. Perusahaan itu ditunjuk mengelola air selama masa peralihan. Sebelumnya, pada 1996-2020, konsesi pengelolaan air di Batam dipegang oleh PT Adhya Tirta Batam (ATB).
Pihak swasta yang ditunjuk BP Batam untuk mengelola air bertanggung jawab menyalurkan air dari waduk ke rumah semua warga di Batam. Namun, ada satu pengecualian, distribusi air di ruli, seperti di rumah Sesilia, tidak diurus langsung oleh pihak swasta pemegang konsesi pengelolaan air.

Permukaan air di Waduk Duriangkang di Batam, Kepulauan Riau, berada 2,73 meter (m) di bawah spillway, Kamis (5/12/2019).
Akses air bersih ke ruli diurus oleh pihak ketiga yang umum disebut sebagai kios air (secara resmi, kini disebut hidran umum). Kios air itu adalah rumah biasa yang dijadikan tempat penampungan air dengan tandon-tandon besar untuk kemudian disalurkan ke rumah warga ruli di sekitarnya.
Saudagar kecil pemilik kios air ini mendapat air dari BP Batam dengan harga Rp 3.500 per meter kubik untuk selanjutnya dijual kembali kepada warga di ruli dengan harga Rp 12.000-Rp 20.000. Selain itu, warga ruli juga dipungut Rp 1,3 juta untuk biaya pasang instalasi perpipaan.
”Harga air di sini mahal sekali, Rp 12.000 per (meter) kubik. Paling sedikit, satu bulan kami habis Rp 200.000 untuk beli air,” ujar Sesilia.
Tagihan air sebesar itu sangat berat untuk janda seperti Sesilia. Penghasilan dia dari berjualan jajanan anak-anak tak sampai Rp 1 juta per bulan. Air dari kios air di kampungnya juga sering macet. Maka, kadang ia harus merogoh kocek lagi untuk membeli air galon yang harganya mencapai Rp 13.000 per buah.
Penghasilan Sesilia selalu ludes untuk membayar air dan memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Bahkan, ia tak punya sisa uang sedikit pun untuk memperbaiki rumahnya yang sudah lapuk. ”Kalau angin kuat, aku lari keluar karena takut rumah roboh,” ucap perempuan asal Maumere, Nusa Tenggara Timur, itu.

Rumah Sesilia Sugo (54) di Kampung Tangki Seribu, Kecamatan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Senin (13/12/2021).
Sesuai dengan Peraturan Kepala (Perka) BP Batam No 24/2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum, seharusnya Sesilia yang rumahnya sebagian terbuat dari papan masuk dalam kategori klasifikasi pelanggan air ”rumah murah”. Artinya, dengan estimasi penggunaan normal sebanyak 11-20 meter kubik per hari, harga air untuk Sesilia seharusnya hanya Rp 940 per meter kubik. Namun, pada kenyataannya harga yang harus ia bayar 12 kali lipat lebih mahal.
BP Batam tidak memiliki data resmi jumlah warga ruli. Namun, berdasarkan data PT ATB tercatat, per 20 Oktober 2020, ada 85 kios air yang melayani sekitar 12.750 rumah. Dengan estimasi satu rumah di huni sekitar 4 orang, berarti di Batam ada 50.000 warga ruli yang bergantung pada kios air.
Baca juga: BP Batam Kembali Tunjuk Swasta untuk Kelola Air Bersih
Pelanggaran HAM
Anggota Komisi I DPRD Kepri, Uba Ingan Sigalingging, menyebutkan, BP Batam telah mengabaikan hak dasar warga atas air dengan alasan status lahan. Padahal, dalam Pasal 28H UUD 1945 Ayat (1) disebutkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
”Ini pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan sudah dilaporkan ke Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM oleh LSM Gerakan Bersama Rakyat. Hanya saja, kami belum mendapatkan informasi lebih lanjut apa tindak lanjut dari Komnas HAM,” kata Uba yang berasal dari daerah pemilihan yang mencakup Kecamatan Batu Ampar, Senin (20/12/2021).

Suasana permukiman di Kampung Tangki Seribu, Kecamatan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (16/12/2021).
Uba menambahkan, warga ruli sebenarnya adalah korban kebijakan pembangunan di Batam yang mengutamakan kepentingan pemodal. Warga ruli dulunya adalah orang-orang yang rumahnya digusur pemerintah agar lahannya bisa diberikan kepada pengusaha. Akibat ganti rugi yang rendah, para korban gusuran itu akhirnya mendirikan rumah di lahan-lahan tidur.
Ada potensi pelanggaran HAM dalam tata kelola air bersih di Batam yang mengabaikan kebutuhan warga ruli.
Dikonfirmasi secara terpisah, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Wali Kota Batam pada 20 Mei 2021 untuk meminta keterangan mengenai akses air di ruli. Namun, surat itu tidak ditanggapi.
”Selanjutnya, kami berencana meneruskan surat ini kepada Gubernur Kepri dan Kementerian Luar Negeri,” kata Choirul saat dihubungi dari Batam, Selasa (21/12/2021).
Menurut dia, ada potensi pelanggaran HAM dalam tata kelola air bersih di Batam yang mengabaikan kebutuhan warga ruli. Status lahan tidak boleh dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengabaikan pemenuhan hak dasar warga.

Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, Senin (24/5/2021).
”Tidak boleh pemimpin daerah menekan warga dengan cara menghambat pemenuhan kebutuhan dasar. Itu seperti yang dulu terjadi waktu Orde Baru saat permukiman orang yang dicap ’kiri’ tidak diberi akses jalan, listrik, serta air,” ujar Choirul.
Baca juga : Dampak Perubahan Iklim, Batam di Ambang Kekeringan di Akhir Tahun
Krisis iklim
Apalagi krisis air kini mendera Batam. Pada Desember 2019, BP Batam telah meminta warga bersiap menghadapi krisis air. Pergeseran musim dan penurunan curah hujan akibat perubahan iklim membuat cadangan air di waduk-waduk terus menurun.
Data Stasiun Meteorologi Kelas I Hang Nadim menunjukkan, pada 2009, rata-rata curah hujan di lima waduk di Batam adalah 2.240 milimeter per tahun. Sementara pada 2019, rata-rata curah hujan hanya 1.660 milimeter per tahun atau turun sebanyak 24 persen.

Seorang anak berjalan di tengah permukiman liar padat penduduk di Kampung Baloi Kolam, Kecamatan, Lubuk Baja, Batam, Kepulauan Riau, Senin (13/12/2021).
Ketua LSM Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak) Agung Widjaja mengatakan, krisis iklim akan memicu harga air melambung di Batam. Kelompok yang pertama kali terdampak dan paling menderita dalam situasi itu adalah warga ruli. Air bersih bakal menjadi komoditas mahal yang semakin sulit terjangkau.
”Warga ruli sebagai komunitas yang paling rentan seharusnya menjadi prioritas untuk dilayani. Namun, yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Mereka kesulitan mengakses air bersih karena pengelolaan air di Batam berorientasi pada laba," kata Agung yang aktif mengadvokasi pemenuhan hak dasar warga ruli.

Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam yang juga Wali Kota Batam Muhammad Rudi (kiri) dan Chief Executive Officer PT Moya Indonesia Mohammad Selim saat memberikan pernyataan kepada wartawan seusai penandatanganan kerja sama di Gedung BP Batam, Senin (14/9/2020).
Menanggapi hal itu, Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam Muhammad Rudi, melalui pernyataan tertulis, Selasa (21/12/2021), menyatakan, yang menjadi pelanggan sistem penyediaan air minum (SPAM) adalah pengelola kios air, bukan warga ruli. Oleh karena itu, tarif penjualan air kepada warga ruli ditetapkan secara mandiri berdasarkan kesepakatan dengan pengelola kios air.
Meski demikian, Rudi menyatakan, pemerintah nantinya akan mengontrol tarif penjualan air kepada warga ruli dengan metode harga eceran tertinggi (HET). Hal itu telah dimasukkan dalam rancangan Perka BP Batam tentang Penyelenggaraan SPAM. Rancangan Perka BP Batam itu tidak lama lagi akan disahkan.
Baca juga : Batam yang Abai Menjaga Sumber Air Bersih