Dampak Perubahan Iklim, Batam di Ambang Kekeringan di Akhir Tahun
Jelang akhir tahun, Kota Batam di Kepulauan Riau justru berada di ambang kekeringan. Pergeseran musim dan penurunan curah hujan membuat cadangan air di sejumlah waduk buatan terus menurun.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
PT ADHYA TIRTA BATAM
Permukaan air di Waduk Duriangkang di Batam, Kepulauan Riau, berada 2,73 meter (m) di bawah spillway, Kamis (5/12/2019). Kondisi waduk terbesar yang memasok 75 persen kebutuhan air di Batam itu lebih buruk daripada saat El Nino melanda pada 2015. Saat itu permukaan air 2,5 m di bawah spillway.
BATAM, KOMPAS – Jelang akhir tahun, Kota Batam di Kepulauan Riau justru berada di ambang kekeringan. Pergeseran musim dan penurunan curah hujan membuat cadangan air di sejumlah waduk buatan terus menurun. Warga diminta bersiap menghadapi krisis air yang mungkin terjadi pada 2020.
Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Hang Nadim I Wayan Mustika, Kamis (5/12/2019) mengatakan, perubahan iklim membuat intensitas hujan meningkat tetapi terjadi dalam waktu yang lebih singkat. Hal itu berpotensi memicu banjir karena curah hujan berlebih maupun kekeringan akibat kemarau panjang.
Batam terletak di wilayah dengan pola hujan ekuatorial. Hujan bisa turun kapan saja tanpa mengenal musim. Namun, tetap ada masa-masa tertentu ketika curah hujan lebih tinggi dari biasanya, pada Maret sampai April dan November hingga Desember.
“Seharusnya begitu, tetapi sampai bulan ini ternyata hujan dengan intensitas tinggi baru turun di wilayah Kepri bagian selatan, yaitu Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Lingga,” kata Wayan.
Perubahan iklim sangat terasa dampaknya di Batam karena pulau itu tidak memiliki sumber air alami. Pemenuhan kebutuhan air baku 1,5 juta warga bergantung kepada lima waduk tadah hujan yang menghasilkan 3.190 liter air per detik.
Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Hang Nadim I Wayan Mustika (pojok kanan) dan Kepala Kantor Pengelolaan Air dan Limbah Badan Pengusahaan (BP) Batam Binsar Tambunan (ketiga dari kanan) saat menyampaikan kondisi terkini persediaan air baku sejumlah waduk di Batam, Kepulauan Riau (Kamis,5/12/2019).
Pada 2009, rata-rata curah hujan di lima waduk itu adalah 2.240 milimeter per tahun. Sementara pada 2019, rata-rata curah hujan hanya 1.660 milimeter per tahun atau turun sebanyak 24 persen. Hal itu membuat cadangan air baku di semua waduk turun drastis tahun ini.
“Awal tahun lalu semua waduk itu penuh, tetapi sekarang kita akan menghadapi tahun baru dengan kondisi waduk-waduk yang kritis,” ujar Direktur Teknik PT Adhya Tirta Batam Paul Raymond Bennett.
Yang paling dikhawatirkan adalah permukaan air di Waduk Duriangkang sekarang berada 2,73 meter di bawah spillway. Kondisi waduk terbesar yang memasok 75 persen kebutuhan air di Batam itu lebih buruk daripada saat El Nino melanda pada 2015. Saat itu permukaan air 2,5 m di bawah spillway.
Menurut Paul, jika permukaan air di Duriangkang menurun hingga 3,5 m di bawah spillway maka penggiliran air harus dilakukan. Pasokan air 250 liter per detik di Kecamatan Sei Beduk akan diputus dua hari dalam seminggu. Kemungkinan, lebih kurang 25.000 rumah tangga atau sekitar 100.000 jiwa akan terdampak.
Awal tahun lalu semua waduk itu penuh, tetapi sekarang kita akan menghadapi tahun baru dengan kondisi waduk-waduk yang kritis. (Paul Raymond Bennett)
PT ADHYA TIRTA BATAM
Cadangan air baku di Waduk Duriangkang, Batam, Kepulauan Riau, terus menurun, Kamis (5/12/2019). Hal itu disebabkan perubahan iklim yang membuat curah hujan menurun dan musim bergeser.
Langkah antisipasi
Kepala Kantor Pengelolaan Air dan Limbah Badan Pengusahaan (BP) Batam Binsar Tambunan menyatakan, pemerintah tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Sejumlah rencana antisipasi jangka pendek maupun jangka panjang sudah disiapkan untuk menghindarkan warga dari bencana kekeringan.
Rencana jangka pendek mencakup upaya pemulihan fungsi waduk dengan membersihkan eceng gondok dan mengeruk sedimentasi yang selama ini mengurangi daya tampung. Proses itu sudah dimulai di Waduk Duriangkang pada November dan diperkirakan memakan waktu sekitar 6 bulan.
“Sebagai rencana jangka panjang, pemerintah telah mulai membangun instalasi pengolahan air limbah yang bisa menghasilkan 230 liter air baku per detik. Proyek itu direncanakan rampung akhir 2020,” kata Binsar.
Ia memperkirakan kebutuhan air di Batam pada 2045 akan mencapai 7.000 liter per detik atau dua kali lipat dari saat ini. Pasokan air baku dari lima waduk yang ada sekarang tidak akan mencukupi lagi.
Oleh karena itu, proyek desalinasi untuk mengubah air laut menjadi air baku juga mulai dipertimbangkan. Namun, mengingat harga air hasil desalinasi yang tinggi, berkisar antara Rp 25.000 sampai Rp 30.000 per meter kubik, produk itu rencananya akan diperuntukkan bagi kalangan industri.