Sepanjang 2018-2020 kekerasan terhadap perempuan terjadi sebanyak 2.283 kasus. Kasus yang menyangkut pemerkosaan sebanyak 63 kasus dan pelecehan seksual 53 kasus.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·2 menit baca
LANGSA, KOMPAS — AR (28), lelaki tersangka pemerkosa D (19), ditahan aparat Polresta Langsa, Aceh. Saat menjalankan aksinya, pelaku mengancam bakal membunuh korban.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Langsa Inspektur Satu Krisna Nanda Aufa, Rabu (15/12/2021), menuturkan, peristiwa itu berawal saat pelaku memergoki keberadaan D dan teman lelakinya, BG (21), di kebun sawit Desa Timbang Langsa, Kecamatan Langsa Baro, Kota Langsa, Minggu (12/12/2021) malam. Kala itu, D dan BG sempat kabur karena takut.
Usaha itu gagal. Keduanya ditangkap AR. BG lantas diikat di sebatang pohon. Sementara D diperkosa. AR mengancam akan membunuh D jika melawan.
Korban sempat dibiarkan di kegelapan kebun sawit setelah diperkosa. Saat hendak membawa korban dengan sepeda motor, petugas keamanan perkebunan sawit melihat keduanya.
Curiga, petugas itu lalu mendatangi mereka. Melihat itu, AR kabur. Sementara D menangis ketakutan. Setelah mengetahui duduk perkaranya, AR diburu petugas keamanan, ditangkap, lalu diserahkan ke polisi.
Pelaku kini ditahan di Polresta Langsa. Dia dijerat Pasal 48 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Ancamannya hukuman cambuk maksimal 175 kali atau paling banyak 14,5 tahun penjara.
Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Flower Aceh Ernawati menuturkan, Aceh dalam kondisi darurat kekerasan perempuan dan anak. Namun, perlindungan hukum yang ada masih saja lemah.
”Rumah aman, misalnya, baru ada di Banda Aceh. Walaupun Aceh daerah syariat Islam, kondisinya sudah darurat. Kekerasan terus berulang,” kata Erna.
Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh menyebutkan, terjadi 2.283 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2018-2021. Sebanyak 63 kasus di antaranya pemerkosaan dan 53 kasus lainnya pelecehan seksual.
Akan tetapi, Ernawati yakin, kasus yang terjadi lebih tinggi dari yang tercatat. Alasannya, banyak korban tidak berani melapor. ”Korban memilih diam karena takut menjadi sasaran perundungan. Ini adalah fenomena gunung es,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Aceh Nevi Ariani mengatakan, gerakan perlindungan perempuan dan anak perlu komitmen kuat kepala daerah dan para pihak berwenang. Dia berharap ada dukungan anggaran agar program pendampingan bagi korban dapat dilakukan dengan baik.