JELAJAH ENERGI NUSANTARA FEA: Su Trada Lagi Makan dalam Gelap
Jam menunjukkan pukul 18.30 Waktu Indonesia Timur. Langit mulai gelap. Suara tonggeret bersaut-sautan. Satu per satu lampu pijar di sebagian rumah di Kampung Waisani, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua mulai menyala.
Anak-anak kecil pun masih berlarian saling mengejar. Di satu rumah, ada pula dua anak yang bermain di atas dipan bambu yang tersorot lampu. Bapak-bapak berkumpul sambil bercakap-cakap.
Nampak pula, Elda (34) yang tengah bersiap memasak untuk keluarganya. Menu hari ini papeda, ikan sako asap, dan sayur bening. Seluruh anggota keluarganya sudah bersiap untuk makan malam. Senyum dan tawa terlihat jelas. Sembari menunggu makanan siap, mereka saling berbincang satu sama lain.
Situasi ini jauh berbeda dari tahun lalu. Setelah matahari terbenam, tidak ada lagi aktivitas warga di kampung tersebut. Jika ingin memasak untuk makan malam, setiap ibu harus sudah bersiap di sore hari. Jam delapan malam, rumah warga senyap. Setiap orang sudah terlelap.
“Dulu menderita. Kalau sudah gelap belum masak berarti tidak ada makan malam. Menderita jika harus memasak hanya dengan pelita (lampu minyak). Apalagi makan dalam gelap,” kata Elda.
Perasaan serupa juga diungkapkan oleh Pesnalia Marunata (26). Sinar lampu sebenarnya sudah ia rasakan sejak 2015. Saat itu, pemda setempat memberikan bantuan lampu baterai dengan daya yang bisa diisi dengan AKI. Bentuknya seperti lampu darurat pada umumnya.
Namun, jarak penerangan dari lampu tersebut amat terbatas. Belum lagi jika AKI yang dimiliki sudah habis. Selain harganya yang cukup mahal, yakni sekitar Rp 300.000, jauh-jauh ia harus pergi ke kota untuk mengisi AKI tersebut. Paling dekat ia harus ke daerah Biak atau Serui. Tiga sampai lima jam kira-kira waktu tempuh yang dibutuhkan dengan kapal cepat. Itu pun tergantung pada kondisi ombak.
Nyala lampu benderang baru bisa dirasakan oleh sebagian masyarakat Kampung Waisani pada awal 2021. Melalui program tanggung jawab sosial perusahaan, PT PLN memberikan bantuan Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) untuk kampung tersebut bersama dengan 10 kampung lainnya, antara lain, Kampung Aryobu, Kampung Bareraif, Kampung Kaonda, Kampung Munggui, Kampung Karawi, dan Kampung Rosbori.
Baca juga Cahaya yang Menjaga Asa Kehidupan
Manajer PT PLN UP3 Biak Y Soedarmono menyatakan, bantuan SPEL ini diharapkan bisa menjadi sumber penerangan sementara bagi sejumlah kampung tersebut. SPEL ini sifatnya darurat sehingga pemanfaatannya juga terbatas. “Setidaknya wilayah tersebut tidak gelap gulita,” katanya.
SPEL dibangun dengan memanfaatkan sinar dengan sumber energi yang berasal dari panel surya. Untuk menyalurkan listrik ke setiap rumah dibutuhkan tabung listrik atau talis yang energi listriknya diisi dari SPEL. Talis inilah yang kemudian disambungkan ke instalasi listrik berupa panel DC house yang berada di setiap rumah. Standarnya, panel ini tersambung dengan tiga buah saklar untuk tiga buah lampu.
Tabung listrik ini dilengkapi dengan berbagai fitur yang bisa dimanfaatkan untuk menyalurkan arus listrik AC dan DC, serta port USB. Namun, semakin banyak energi listrik yang digunakan, daya listrik pada talis semakin cepat habis. Umumnya, untuk pemakaian tiga buah lampu pijar, daya talis akan habis setelah penggunaan selama 48 jam.
Jika digunakan untuk menyalakan televisi, daya talis bisa habis hanya dengan penggunaan tiga jam. Padahal untuk mengisi talis sampai penuh dibutuhkan waktu sekitar 4-6 jam di SPEL. Apabila cuaca sedang mendung, Talis harus diisi sampai setengah hari penuh.
Setiap SPEL hanya mampu menampung delapan talis untuk sekali pengisian bersamaan. Jika di satu kampung ada 60 warga yang memiliki talis, sementara hanya tersedia tiga SPEL, pengisian pun harus bergantian. Bagi warga yang tidak sempat mengisi, terpaksa harus bermalam dalam gelap atau kembali mengandalkan pelita sebagai penerangan.
Baca juga Geliat Ekonomi dari Pembakaran Biomassa untuk Listrik
Meski begitu, kehadiran SPEL tetap menjadi sumber kegembiraan bagi warga Waisani. “Ini berkat untuk kami. Meski belum semua warga kampung bisa merasakan listrik lewat tallis, akhirnya setelah berpuluh-puluh tahun menanti, Kampung Waisani bisa menikmati penerangan,” ujar Kepala Kampung Waisani Eneas Matu (61).
Selain menjadi sumber penerangan, kehadiran talis juga membantu meringankan pengeluaran rumah tangga bagi warga Waisani. Ketika masih menggunakan pelita, yang membutuhkan minyak tanah, setiap keluarga harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 180.000 per bulan untuk membeli minyak tanah. Setelah talis masuk, mulai 2021, biaya tersebut sudah tidak perlu dikeluarkan lagi.
Sebenarnya, talis dapat dimanfaatkan untuk menunjang penggunaan berbagai alat elektronik. Namun, Eneas meminta kepada seluruh warganya hanya menggunakan talis untuk lampu. Selain karena tidak ada jaringan seluler dan televisi yang bisa ditangkap di kampung tersebut, ia memang tidak menyarankan talis digunakan untuk alat elektronik dengan daya yang besar.
“Jangan sampai (talis) rusak. Kalau rusak kami tidak tahu kapan lagi akan mendapatkannya. Kami tidak mau kembali hidup di tengah gelap gulita,” ucapnya.
Akhirnya setelah berpuluh-puluh tahun menanti, Kampung Waisani bisa menikmati penerangan.
Hal ini berbeda dengan warga di Kampung Aryobu. Sebagian warga sudah memanfaatkan talis untuk alat elektronik lain, seperti untuk mengisi daya telepon genggam, laptop, serta alat pengeras suara (speaker). Ketika singgah, Kampung Aryobu memiliki nuansa yang berbeda dengan Kampung Waisani.
Jika di Kampung Waisani tidak ada satu pun rumah yang memiliki televisi, beberapa rumah warga di Kampung Aryobu sudah memiliki televisi lengkap dengan parabola. Maklum, akses Kampung Aryobu ke kota lebih dekat, bahkan sudah bisa menggunakan jalur darat. Jaringan seluler pun masih bisa didapatkan meskipun harus berjalan ke atas bukit.
Sekretaris Kampung Aryobu, Frengki Paai (36) menuturkan, pemanfaatan alat elektronik yang cukup masif baru terjadi pada awal Januari 2021 ketika talis diberikan di Kampung Aryobu. Sebelumnya, hanya ada satu atau dua warga yang memiliki televisi, yakni warga yang memiliki mesin diesel.
“Sebelum ada talis, satu-satunya sumber penerangan kami adalah pelita. Jarang orang keluar rumah di malam hari karena jalan sangat gelap. Di rumah pun kegiatan sangat terbatas,” tuturnya.
Alestina (7) putri dari Frengki menyeletuk, “sebelum ada lampu pedih sekali mata ini kalau harus belajar. Tidak bisa jika berlama-lama belajar.” Itu terjadi karena asap dari pelita mengenai matanya. Serba salah ketika itu. Jika terlalu dekat dengan pelita, mata akan pedih juga napas mudah sesak. Namun jika terlalu jauh, ia tidak bisa membaca dengan jelas.
Belum optimal
Masuknya listrik di sejumlah daerah di Distrik Windesi sejak setahun terakhir nyatanya tidak serta-merta berdampak pada munculnya kegiatan ekonomi masyarakat, sekalipun itu ekonomi skala kecil. Aktivitas di rumah-rumah penduduk yang sudah tersambung jaringan listrik tidak banyak mengalami perubahan, kecuali bergantinya penerangan dari lampu minyak ke lampu pijar.
Beberapa warga memang sudah mulai menggunakan telepon pintar dan televisi. Namun, pemanfaatannya tidak maksimal. Televisi paling tidak hanya bisa digunakan seminggu sekali selama satu jam. Daya listrik yang tersedia tidak memungkinkan untuk bisa menyalakan televisi dalam waktu yang lama.
Baca juga Mereka yang Berjibaku Menghalau Gelap
Begitu pula dengan telepon genggam. Jaringan internet belum bisa diakses sehingga untuk melihat video ataupun lagu, warga harus pergi ke kota untuk mengunduhnya. Barulah ketika sampai di rumah, hasil unduhan tersebut bisa ditonton berulang kali.
Namun, itu semua belum dapat menunjang mata pencaharian warga. Hampir seluruh warga di Kampung Waisani dan Aryobu bekerja sebagai nelayan dan petani. Listrik seharusnya bisa dimanfaatkan untuk lemari pendingin. Dengan daya yang terbatas, hal tersebut menjadi mustahil. Hasil tangkap hari itu harus segera terjual habis.
Kehadiran listrik yang berkelanjutan tetap diharapkan oleh warga di kampung-kampung tersebut. Listrik diharapkan tidak hanya sekadar memberi penerangan, namun juga mampu meningkatkan ekonomi masyarakat. Itu pun harus didukung dengan kebutuhan lainnya, seperti akses jalan, internet, juga pendidikan untuk masyarakat.