Perlindungan terhadap anak harus diperkuat dan hukuman bagi pelaku harus diperberat. Jika tidak, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh akan terus berulang.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
LANGSA, KOMPAS — Tiga bocah di Kota Langsa, Provinsi Aceh, menjadi korban pemerkosaan oleh tiga laki-laki dewasa. Kasus kekerasan seksual kepada anak terus berulang karena lemahnya perlindungan dan ringannya hukuman terhadap pelaku.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Langsa Inspektur Satu Krisna Nanda Aufa pada Jumat (15/10/2021) mengatakan, tiga korban masing-masing berusia 16 tahun, 15 tahun, dan 11 tahun. Adapun tersangka adalah SS (20), MM (44), dan RA (41).
Kasus tersebut terjadi di tiga lokasi terpisah di Kota Langsa. Pelaku ditangkap pada Oktober 2021. Para pelaku ditahan di Polres Langsa, mereka dijerat dengan Qanun Hukum Jinayah dengan hukuman maksimal 200 kali cambuk atau 150 bulan penjara atau denda 200 gram emas.
Krisna menuturkan, kasus pertama dengan korban anak berusia 16 tahun terjadi pada 2 Oktober 2021. Pelaku SS berusia 20 tahun mengajak korban untuk jalan-jalan. Namun, saat berada di sebuah kebun sawit di Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, pelaku memerkosa korban. Pelaku bahkan menyuruh korban untuk pulang sendiri menggunakan angkutan umum.
Kasus kedua terjadi pada 22 Agustus 2021 dengan korban anak berusia 11 tahun. Pelaku, RA, masih memiliki hubungan saudara dan tinggal serumah dengan korban di Desa Paya Bujok Seulemak, Kecamatan Langsa Baro. Pelaku menjebak korban dengan memaksa makan makanan yang diduga telah dicampur obat penenang. Saat korban dalam pengaruh obat, pelaku memerkosa korban.
Adapun kasus ketiga terjadi pada 8 Mei 2021 dengan korban anak berusia 15 tahun, sedangkan pelaku, MN, adalah pamannya sendiri. Pelaku memerkosa korban di rumahnya di Desa Gampong Teungoh, Kecamatan Langsa Kota. Korban telah diperkosa oleh pelaku sebanyak empat kali dan pelaku selalu mengancam korban jika melawan.
Mendesak Pemprov Aceh agar merevisi Qanun Jinayah dengan menghapus Pasal 47 dan 50 agar kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali menggunakan UU Perlindungan Anak.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul menuturkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi karena pemerintah, warga, dan keluarga gagal melindungi anak. Di sisi lain, hukuman terhadap pelaku sangat lemah.
Syahrul mengatakan, proses hukum menggunakan Qanun Jinayah memberikan hukuman sangat ringan bagi pelaku. Hakim dapat menghukum pelaku dengan cambuk atau penjara atau denda, tidak ada pemberatan sama sekali.
”Padahal, dalam UU Perlindungan Anak, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak maksimal bisa hukuman mati atau penjara seumur hidup,” kata Syahrul.
Oleh karena itu, Syahrul mendesak Pemprov Aceh agar merevisi Qanun Jinayah dengan menghapus Pasal 47 dan 50 agar kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali menggunakan UU Perlindungan Anak.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Nevi Ariani menuturkan, kasus kekerasan terhadap anak di Aceh cukup tinggi sehingga perlu gerakan serius memperkuat perlindungan.
Pada 29 Juli 2021, Pemprov Aceh meluncurkan Gerakan Massal Perlindungan Anak (Gempa). Gerakan itu melibatkan para pihak, seperti aparat penegak hukum, pemerintah, elemen sipil. ”Kami mengajak semua pihak bergerak bersama melindungi anak sesuai dengan tugasnya masing-masing,” kata Nevi.
Berdasarkan data DP3A Aceh periode 2017-2020, ada 2.946 kasus kekerasan terhadap anak. Selama 4 tahun, kasus paling banyak terjadi adalah kekerasan psikis (837 kasus), pelecehan seksual (671), kekerasan fisik (405), dan pemerkosaan (289).