Kebutuhan pasar properti terus bergeser. Rumah di pinggiran mulai diminati, dengan penyesuaian sejumlah fasilitas untuk hunian nyaman dan ramah lingkungan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencarian rumah di luar Jakarta kian diminati konsumen, sejalan dengan adopsi pola bekerja dari rumah. Pasar perumahan segmen menengah kian menggeliat dengan tren kebutuhan hunian yang ramah lingkungan.
Berdasarkan hasil survei dari Rumah.com Consumer Sentiment Study H2-2021 terhadap 1.031 responden di Indonesia, tren pencarian properti oleh konsumen semakin merata keluar Jakarta. Kebijakan perusahaan untuk menerapkan bekerja dari rumah (WFH) mendorong orang bekerja tidak harus di kantor, serta tidak harus tinggal di kota besar yang hiruk pikuk.
Country Manager Rumah.com Marine Novita mengemukakan, sekitar 55 persen responden mengaku akan mencari hunian di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) jika bisa terus menjalani sistem kerja WFH. Angka itu meningkat dibandingkan dengan semester sebelumnya, yakni 53 persen. Wilayah-wilayah yang dipertimbangkan untuk tempat tinggal di luar Jabodetabek, antara lain, Jawa Barat, Bali, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Selain itu, pola pencarian properti di situs Rumah.com juga kian menyebar ke luar DKI Jakarta. Persentase pencarian properti di Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Depok berkurang 3-5 persen jika dibandingkan pada triwulan I-2021. Sebaliknya, pencarian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bogor mengalami peningkatan 3-5 persen.
”Perubahan tren ini terkait situasi pandemi Covid-19 dengan adanya pola kerja dari rumah. Selain itu, pembangunan infrastruktur di wilayah penyokong Jakarta, serta penurunan dan stagnasi harga di kota/kabupaten tersebut,” kata Marine pada Webinar ”Tren Hunian Pasca Pandemi”, dalam rangkaian Rumah.com & REI Property Expo, Selasa (5/10/2021).
Marine menambahkan, konsumen juga mulai mempertimbangkan fitur ramah lingkungan pada rumah atau apartemen incaran mereka. Rumah dengan fitur ramah lingkungan dianggap berdampak langsung terhadap penghematan dan kenyamanan.
Sebanyak 91 persen responden survei menghendaki fitur-fitur ramah lingkungan pada rumah atau apartemen yang akan mereka beli. Sejumlah 48 persen responden berharap fitur ramah lingkungan dapat mengurangi penggunaan listrik, sedangkan 40 persen berharap rumah yang ramah lingkungan mudah dijangkau angkutan umum.
”Rumah ramah lingkungan bukan sekadar slogan dan wacana. Dari sisi konsumen, fitur ramah lingkungan dianggap hal penting dan mempunyai manfaat dalam kehidupan sehari-hari, serta menghemat biaya. Ini penting bagi developer untuk memperhatikan hal ini,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (DPP REI) Hari Ganie mengemukakan, sektor real estat yang berada di titik nadir akibat pandemi Covid-19 secara bertahap mulai bergerak. Pergerakan pasar itu terutama untuk harga rumah di kisaran Rp 500 juta-Rp 1 miliar, serta harga rumah di atas Rp 2 miliar.
Pergerakan pasar didorong oleh insentif berupa pajak pertambahan nilai yang ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar 100 persen untuk rumah dengan harga sampai Rp 2 miliar, serta sebesar 50 persen untuk rumah di kisaran Rp 2 miliar-Rp 5 miliar. Selain itu, sejumlah diskon yang diberikan pengembang.
Di sisi lain, terjadi perubahan sentimen konsumen properti pascapandemi Covid-19. Perubahan itu, antara lain, kesadaran kesehatan yang meningkat, pola bekerja dari rumah, serta preferensi lokasi yang tidak harus mencari rumah di pusat kota. Kebutuhan rumah tinggal di pinggiran Jakarta berkembang dengan pemenuhan fasilitas ruang terbuka hijau, serta fasilitas komunitas.
Perubahan gaya hidup masyarakat yang kembali ke alam juga berdampak pada properti. Muncul kecenderungan kebutuhan perumahan mengarah ke konsep bangunan hijau untuk penghematan energi. Rumah dengan pemanfaatan energi surya menjadi tren ke depan.
”Rumah menjadi pusat dari segala aktivitas, yakni tempat tinggal, tempat kerja, dan tempat belajar. Ini berdampak pada desain rumah yang menyesuaikan kebutuhan pasar. Semakin adaptif pengembang, maka penjualan semakin baik,” kata Hari.
Pembiayaan
Hari menambahkan, salah satu regulasi yang juga mendorong penjualan rumah adalah suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang rendah dalam jangka waktu 10 tahun, serta relaksasi angsuran selama masa pandemi. Pasar kaum milenial saat ini mendominasi pasar. Akan tetapi, sebagian konsumen berasal dari sektor informal sehingga tidak ada fasilitas perbankan untuk pembiayaan. Pihaknya berharap perbankan membuka akses pembiayaan KPR untuk sektor informal.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Kurniawan Agung mengemukakan, permintaan perumahan masih cukup kuat dan meningkat, terutama di segmen menengah, yakni pasar kaum milenial. Kisaran harga rumah yang paling dicari konsumen ialah Rp 750 juta-Rp 1,5 miliar.
Suku bunga acuan BI yang berada di level terendah 3,5 persen serta upaya mendorong perbankan menurunkan suku bunga KPR dan meningkatkan transparansi suku bunga telah membuat perbankan lebih kompetitif dalam memberikan suku bunga KPR.
Pada Juni 2021, suku bunga KPR rata-rata di level 7,84 persen dan pada Agustus 2021 menjadi 6,6 persen. Pihaknya meyakini penurunan suku bunga akan terus berlangsung sejalan dengan persepsi risiko yang semakin turun akibat pemulihan mobilitas masyarakat.
”Kami melihat masih ada ruang (suku bunga KPR) untuk lebih turun lagi,” ujar Agung.
Pejabat Sementara Kepala Divisi NLSD Bank Tabungan Negara Hanafi mengemukakan, kemudahan layanan perbankan terhadap konsumen menjadi salah satu kunci peningkatan KPR, di samping soal suku bunga. Saat ini, perubahan perilaku pascapandemi menjadikan rumah tapak (landed house) lebih favorit, sedangkan pasar apartemen belum begitu menggembirakan.