Pengembangan Wisata Borobudur Perlu Perhatikan Habitat Kupu-kupu Langka
Kupu-kupu langka yang dilindungi, yaitu kupu-kupu jenis ”Troides helena”, ditemukan hidup di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Keberadaannya diharapkan turut diperhatikan dalam pembangunan pariwisata di Borobudur.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Salah satu jenis kupu-kupu langka, yaitu kupu-kupu raja (Troides helena), ditemukan hidup di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Penemuan kupu-kupu itu mengingatkan agar pembangunan pariwisata kawasan Borobudur mendatang lebih memperhatikan aspek lingkungan.
Kupu-kupu dari spesies Troides helena termasuk sebagai salah satu satwa yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Spesies ini juga terdaftar pada Appendix II dalam Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES).
Spesies Troides helena termasuk sebagai spesies yang terancam punah dan aktivitas perdagangannya harus diawasi secara ketat. Troides helena juga termasuk dalam red list atau daftar merah satwa terancam punah yang ditetapkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2018.
Kupu-kupu tersebut ditemukan di tengah maraknya pembangunan fisik, seperti hotel, kafe, dan restoran, sebagai pendukung pariwisata. Dosen Ekologi dan Ekologi Hewan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Semarang, Bambang Priyono, Minggu (19/9/2021), berharap warga atau investor pelaksana pembangunan tetap memperhatikan aspek konservasi. Mereka diharapkan tidak sembarangan memotong habis beragam tanaman yang menjadi pendukung kelangsungan hidup kupu-kupu, terutama kupu-kupu raja.
Juli hingga Agustus lalu, tim dari Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang terjun ke lapangan dan melakukan pendampingan. Dalam kegiatan tersebut, tim yang terdiri atas tiga mahasiswa tersebut sempat melakukan survei dan penelitian tentang populasi kupu-kupu di tiga desa di Kecamatan Borobudur. Dari penelitian tersebut, mereka menemukan 51 jenis kupu-kupu dari lima family, yaitu Pieridae, Papilionidae, Nymphalidae, Lycanidae, dan Hesperiidae.
Warih, pemilik Borobudur Butterfly Education, mengatakan, berawal dengan mengumpulkan ulat-ulat yang ditemukan di lingkungan sekitar, kini Warih dan timnya berhasil mengembangkan 18 jenis kupu-kupu.
Ia juga berhasil mengembangkan kupu-kupu raja. Namun, untuk mengembangkan jenis kupu-kupu ini diakuinya tidak mudah karena tanaman sirih hutan yang menjadi tanaman inang susah didapatkan.
”Selain tidak saya temukan di lingkungan sekitar, tanaman sirih hutan juga bukan jenis tanaman yang bibitnya mudah didapatkan di pusat-pusat penjualan bibit tanaman,” ujar warga Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, ini. Dia akhirnya berhasil mendapatkan sirih hutan dari salah seorang rekannya di luar kota.
Tidak hanya kupu-kupu jenis Troides helena, menurut Warih, banyak kupu-kupu jenis lain juga semakin jarang terlihat karena jenis tanaman inangnya juga makin langka. Hal tersebut terjadi karena banyak tanaman inang kupu-kupu adalah tanaman semacam perdu yang sering kali dibersihkan warga karena dianggap sebatas ilalang penganggu.
Kondisi itu juga makin diperparah oleh perilaku masyarakat di sekitar kawasan Borobudur yang kini banyak menjual tanah lahan pertanian kepada investor. Keberadaan area hijau dan beraneka tanaman pun kian terdesak karena di lahan yang dibeli investor dari luar kota tersebut banyak didirikan bangunan seperti penginapan, hotel, homestay, rumah makan, dan kafe.
Menurut Bambang, kehidupan kupu-kupu diketahui bergantung pada kelompok tanaman pendukung, yaitu host plant, tanaman inang yang menjadi tempat untuk meletakkan telur, serta food plant atau tanaman penyedia nektar, makanan bagi kupu-kupu dewasa.
Berbagai jenis kupu-kupu memiliki ragam tanaman inang dan food plant masing-masing. Adapun kupu-kupu raja, menurut Bambang, patut menjadi perhatian karena jenis tanaman inangnya hanya satu, yaitu sirih hutan (Aristolochia tagala), yang saat ini juga kian langka.
”Karena sementara ini dianggap tidak memiliki manfaat atau fungsi apa-apa, tanaman sirih hutan sering kali dianggap sebagai tanaman liar penganggu dan akhirnya banyak dipotong, dibersihkan oleh warga,” ujarnya.